Penulis: Â Dytri Anintyas Putri dan Darwin H. Pangaribuan (Mahasiswa Pascasarjana dan Dosen Jurusan Agronomi Hortikultura) Fakultas Pertanian Universitas Lampung
"Buncis dikonsumsi dalam bentuk segar dan dapat dipanen dalam bentuk polong muda (baby buncis) dan polong tua (untuk dimanfaatkan bijinya). Buncis banyak menyediakan sumber nutrisi yang lengkap terdiri dari karbohidrat komplek, protein, serat, vitamin, dan mineral sehingga baik untuk tubuh"
Buncis (Phaseolus vulgaris L.) termasuk dalam keluarga Fabaceae dan merupakan salah satu tanaman sayuran yang masuk ke dalam kelompok kacang-kacangan atau leguminosa. Tanaman ini berasal dari Amerika Utara dan Amerika Selatan, kemudian meyebar ke negara-negara di kawasan Eropa, Afrika, hingga ke Asia.Â
Pada tipe pertumbuhannya, buncis dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe tegak dan tipe merambat. Pertumbuhannya dapat tumbuh optimal pada pada suhu 20-25C dengan kelembaban udara 55% dan tanah gembur dengan pH tanah 6,0 - 7,0 (Kementerian Pertanian. 2021).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi buncis di Indonesia sebanyak 305.049 ton pada tahun 2023 dan pertumbuhan produktivitas buncis sebesar 13,69 ton/ha. Buncis dikonsumsi dalam bentuk segar dan dapat dipanen dalam bentuk polong muda (baby buncis) dan polong tua (untuk dimanfaatkan bijinya). Buncis banyak menyediakan sumber nutrisi yang lengkap terdiri dari karbohidrat komplek, protein, serat, vitamin, dan mineral sehingga baik untuk tubuh (Rahmayati, K. 2021).
Buncis merupakan salah satu jenis sayuran yang dikelompokkan ke dalam sayuran non klimaterik. Setelah panen, sayuran buncis mudah rusak dan membusuk sehingga diperlukan penanganan pascapanen yang tepat dalam mengelola sayuran ini. Penanganan pascapanen yang tepat dapat mempertahankan mutu buncis dan memperpanjang masa simpannya. Oleh karena itu, dalam karya tulis ini akan dijelaskan penanganan pascapanen yang tepat pada buncis agar mutu dapat dipertahankan dan masa simpannya dapat diperpanjang.
Penanganan Pascapanen pada Buncis
Penanganan pascapanen yang sesuai diperlukan untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang masa simpan buncis yang dipanen. Pemanenan buncis bergantung pada kebutuhan konsumen dan idealnya dilakukan ketika polong masih empuk, renyah, dan bijinya belum terbentuk sempurna.Â
Pemanenan buncis yang dilakukan pada pagi hari yaitu jam 7 dan sore hari yaitu jam 4 mampu mempertahankan mutu yang lebih baik dibandingkan pada jam selain jam tersebut (Ogumo, et al. 2018). Setelah panen, dilakukan pendinginan (cooling) untuk menghilangkan panas lapang. Tujuan dari pendinginan ini untuk memperlambat respirasi, menurunkan kepekaan terhadap mikroba, dan mengurangi kehilangan kandungan air (Samad, 2006).
Pemanenan polong merupakan tahap penting, oleh karena itu terlambatnya waktu panen dan semakin lama pendinginan, maka mempercepat kerusakan buncis.Â
Mutu buncis dalam pengemasan dan pemasaran dapat ditingkatkan dengan dilakukannya sortasi dan grading. Sortasi digunakan untuk pemisahan hasil panen ke dalam kelompok-kelompok yang ditentukan dari kualitasnya (polong sehat, bersih, dan bebas dari serangan penyakit), sedangkan grading digunakan untuk mengkategorikan hasil panen berdasarkan warna, ukuran, dan tingkat kematangan (Arah, et al., 2015).Â
Buncis dengan grade 0 (diameter 4,8mm) dan grade 1 (diameter >4,8 -- 5,8) yang disimpan dengan suhu dingin 10oC memiliki karakteristik warna dan tekstur yang disukai. Grade buncis yang berukuran kecil mendapatkan hasil penyimpanan dingin terbaik (Samad, 2006).
Pengemasan merupakan salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam kerusakan pascapanen. Beberapa bahan kemasan yang umum digunakan terdiri dari peti kayu, kotak kardus, keranjang anyaman palem, peti plastik, karung nilon, karung goni, dan kantong plastik (Idah, 2007). Penyimpanan buncis biasanya dilakukan pada kondisi suhu penyimpanan (4,4 - 7,2oC) dan kelembaban (90 -- 95%) (Samad, 2006). Pada suhu ini, kerusakan dapat diminimalisir sehingga kerugian akibat penurunan mutu buncis dapat dihindarkan.