Tokoh-tokoh Melayu yang berada di jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif belum memiliki apreasiasi yang baik terhadap tanggungjawab sejarahnya, sehingga perilakunya menjadi kontraproduktif bagi kebudayaan Melayu itu sendiri. Kondisi seperti ini akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat. Kebudayaan Melayu akan terpukul manakala elit pemimpin dan elit politiknya tenggelam dalam kultur pragmatisme sempit, partikularistik, politik dinasti, demi memburu kekuasaan dan kepentingan jangka pendek. Kita mendambakan kepemimpinan Melayu yang mencerahkan, kepemimpinan yang transformasional, bukan semata transaksional. Hanya kepemimpinan seperti itulah yang akan bisa menegakkan marwah Melayu itu sampai ke ujung zaman. Dalam perspektif itu, eksistensi kebudayaan Melayu itu bergantung kepada Melayu itu sendiri.
Tantangan Ke Depan
Ada kondisi diametrical dalam perilaku masyarakat kita dewasa ini. Kita berupaya keras mempertahankan nilai-nilai kebudayaan Melayu sebagai sesuatu yang sudah lama eksis dan dianggap sebagai jati diri, namun vis-Ã -vis sadar atau tidak kita membangun sebuah entitas baru. Entitas itu tidak hanya tidak dikenal, tetapi bahkan aneh. Sesuatu yang berbeda dengan ide, cita-cita dan gagasan tentang masyarakat Melayu berbudaya tinggi penuh dengan keterhormatan yang selama ini selalu didengung-dengungkan.
Tidak bisa dipungkiri, kebudayaan Melayu hari ini dan di masa depan berada dalam pusaran konsekuensi dialektika sebagaimana disebut Hegel. Apa yang dianggap sebagai ciri-ciri yang melekat pada unsur-unsur budaya tertentu sangat mungkin akan hilang pada masa-masa selanjutnya, karena setiap kebudayaan selalu mengalami perubahan-perubahan. Apa yang mungkin dikatakan sebagai kemelayuan atau kekhasan Melayu saat ini, barangkali tidak akan lagi demikian di masa-masa yang akan datang, karena kebudayaan dan masyarakat Melayu akan selalu mengalami perubahan. Komunikasi dialogis antara kebudayaan Melayu dengan kebudayaan lain dalam suatu masyarakat yang heterogen seperti dewasa ini tidak bisa dihindari.
Dilihat dari perspektif ini, maka menetapkan jatidiri Melayu atau ciri-ciri budaya tertentu sebagai budaya Melayu tidak berbeda halnya dengan membakukan kemelayuan, dan itu berarti juga mencoba mencegah terjadinya perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada budaya Melayu. Realistiskah langkah semacam itu? Bermanfaatkah? Bagi siapa manfaat tersebut? Itulah beberapa masalah yang muncul. Sebab perbancuhan kebudayaan itu selalu emultif, menghasilkan sebuah sintesa, yang tak lagi zat aslinya. Pada sisi lain ada mimpi besar untuk mempertahankan sebuah jati diri, sesuatu yang sebenarnya lebih banyak dalam wilayah romantika masa lalu.
Setiap kebudayaan selalu bersifat luwes dalam menerima pengaruh kebudayaan lain, sehingga ciri-ciri budaya yang berasal dari luar sangat mungkin diambil-alih oleh suatu kebudayaan, dan kemudian disatukan dengan ciri-ciri yang sudah ada sebelumnya, sedemikian rupa sehingga tidak terlihat lagi ciri-ciri yang berasal dari dalam maupun dari luar kebudayaan. Proses semacam ini biasa disebut akulturasi. Bagaimanapun juga ciri-ciri Melayu yang dianggap ada pada unsur-unsur budaya di atas merupakan ciri-ciri yang sulit untuk dapat dijaga eksklusifitasnya oleh orang Melayu sendiri. Artinya, orang Melayu tidak dapat melarang suku-sukubangsa lain, baik secara sengaja maupun tidak, untuk mengambil bagian-bagian tertentu dari budaya Melayu untuk memperkaya budaya mereka sendiri, sebagaimana halnya orang Melayu juga tidak dapat menahan diri dari mengambil unsur budaya dari sukubangsa atau masyarakat lain untuk memperkaya budayanya sendiri. Oleh karena itu, berbagai ciri-ciri unsur budaya yang dikatakan sebagai ciri Melayu tersebut bukan tidak mungkin telah ditiru oleh sukubangsa lain juga atau sebenarnya merupakan hasil tiruan orang Melayu dari unsur budaya suku yang lain.
Dilihat dari perspektif akulturasi kebudayaan, menetapkan ciri-ciri kemelayuan lantas dapat diartikan sebagai upaya mencegah terjadinya proses akulturasi. Namun sekaligus berarti juga mencegah terjadinya proses pengayaan budaya Melayu dengan memanfaatkan unsur-unsur budaya dari luar. Jika ini yang terjadi, hal itu tidak berbeda dengan membuat budaya Melayu menjadi sebuah budaya yang kaku dan tertutup, serta kehilangan kemampuan untuk menyesuaikan diri lagi dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial-budaya yang terus-menerus mengalami perubahan, yang akhirnya malah akan dapat membuat budaya Melayu itu menjadi kerdil atau bahkan secara ekstrim dapat disebut bisa sendiri mati perlahan-lahan.
Pandau, 10 Juni 2012
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H