Kata "kebudayaan" berasal dari kata Sanskerta buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal". Maka kebudayaan itu dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Sebagai konsep, kebudayaan antara lain berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu (Koentjaraningrat, 1974: Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan). Koentjaraningrat membagi kebudayaan itu sekurang-kurangnya dalam tiga wujud: Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks akivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Ketiga wujud tersebut dalam kehidupan masyarakat tidak terpisahkan. Dalam perspektif idiil dan adat istiadat, kebudayaan mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Koentjaraningrat menyebut hakikat kebudayaan adalah menerapkan nilai-nilai yang baik, nilai-nilai yang luhur dalam kehidupan, menjunjung tinggi etika, berakhlak mulia, kemudian mewariskannya melalui keteladanan.
Senada dengan Koentjaraningrat, budayawan dan penulis Melayu, UU Hamidy (1986) dalam bukunya Membaca Kehidupan Orang Melayu, menyebutkan harkat kemanusiaan dalam tradisi Melayu masih tetap condong kepada martabat yang tinggi, dalam arti hidup jujur dan mempunyai pribadi yang baik – seperti digariskan agama dan adatnya. Masyarakat Melayu dalam alur bingkai budayanya, cukup mempunyai tradisi yang baik sebagai rakyat. Pantangan bagi mereka berbuat durhaka kepada para pemimpin. Tetapi dalam pada itu juga pantangan bagi mereka pemimpin yang berbuat hina.
Jelas tidak semua pemimpin bermental munafik dan pembohong, namun harus diakui, tidak sedikit yang bermental seperti itu. Asrori S Karni (2008, dalam buku Di Balik Buku Terlaris Dalam Sejarah Indonesia Laskar Pelangi The Phenomenon), menulis, efek buruk mental busuk itu tak selalu memerlukan populasi besar. Meskipun populasinya kecil, kalau mentalitas macam itu menghinggapi segelintir elit pejabat yang menduduki pos-pos strategis, maka dampak buruknya jauh lebih serius. Meskipun mereka berada di tengah mayoritas rakyat yang saleh dan berkarakter baik. Ungkapan Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi, sebagaimana dikutip Asrori, agaknya benar, "hubungan kaya, miskin, dan sukses adalah semata persoalan integritas, sikap, dan mentalitas."
Masalah integritas inilah yang menjadi benang merah pendapat Francis Fukuyama (1996) sebagaimana ditulis dalam bukunya Trust: The social Virtues and the Creation of Prosperity. Fukuyama mengatakan, bahwa dalam persaingan global , modal yang paling penting bukanlah teknologi atau pun kapital, melainkan trust, percaya. Tentulah kepercayaan tidak akan tumbuh dengan sendirinya kalau tak ada kejujuran (integritas). Modal sosial dalam bentuk kepercayaan sama pentingnya dengan modal fisik. Hanya masyarakat dengan kepercayaan sosial yang tinggi yang akan mampu menciptakan organisasi bisnis skala besar yang fleksibel dan diperlukan untuk berhasil dalam kompetisi perekonomian global yang berkembang. Kejayaan Amerika pada kenyataannya bukan oleh etos individualisme yang banyak dibayangkan orang, tetapi pada keeratan (cohesiveness) ikatan kewargaan (civil association) dan kekuatan komunitasnya. Ada rasa saling percaya. (Riant Nugroho Dwijowijoto, 2003: Reinventing Pembangunan Menata Ulang Paradgima Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global).
Fukuyama membagi tingkat kepercayaan sosial masyarakat dalam dua kelompok. Pertama, masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial yang tinggi (high trust society); dan kedua, masyarakat dengan tingkat kepercayaan social yang rendah (low trust society). Masyarakat maju dan modern termasuk dalam kelompok pertama, sedangkan masyarakat terbelakang masuk dalam kelompok kelompok kedua. Masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial yang rendah inilah yang memberikan hukuman mati bagi Copernicus, ketika ilmuwan itu mengatakan sebuah kebenaran, bukan matahari yang mengelilingi bumi tapi bumi yang mengelilingi matahari.
Masyarakat kita tentulah tidak termasuk dalam kelompok low trust society. Masyarakat kita telah memiliki peradaban, tetapi untuk masuk dalam kelompok high trust society agaknya juga masih jauh. Para pemimpinnya saja belum memberikan keteladanan dalam perilaku. Hal-hal yang buruk masih menjadi budaya dalam masyarakat kita, seperti tidak bisa dipercaya, pembohongan, kemunafikan, korupsi, penyelewenangan, tingkat disiplin yang rendah dan sebagainya. Berpuluh pakta integritas ditandatangani, tapi dokumen tinggal dokumen.
Budaya integritas kita agaknya belum sebagaimana disebut Oprah Winfrey, integritas sejati adalah melakukan hal yang benar, padahal tahu bahwa tidak akan ada seorang pun yang tahu apakah kita melakukannya atau tidak. Orang yang penuh integritas adalah adalah orang yang ucapannya sesuai dengan perbuatannya, dan perilakunya mencerminkan nilai-nilai luhur yang dianutnya. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang melakukan hal-hal yang benar, dengan alasan yang benar, pada waktu yang tepat.
Pusat Kebudayaan Melayu
Undang-Undang Dasar 45 antara lain menyatakan bahwa salah satu tugas pemerintah di bidang kebudayaan adalah mengembangkan budaya nasional Indonesia, yang didefinisikan sebagai "puncak-puncak kebudayaan" daerah atau kebudayaan etnis di Indonesia. Setiap budaya etnis di Indonesia diasumsikan memiliki unsur-unsur budaya yang mungkin akan dapat diangkat dan dikembangkan menjadi unsur kebudayaan nasional, yang kemudian akan memperkokoh sosok kebudayaan nasional Indonesia. Sementara itu, puncak-puncak kebudayaan etnis ini belum seluruhnya terungkap, padahal setiap budaya etnis merupakan khasanah budaya yang sangat kaya. Kebutuhan akan informasi mengenai "puncak-puncak kebudayaan daerah" ini menjadi terasa semakin mendesak ketika kebudayaan nasional diyakini tengah menghadapi arus masuknya budaya asing yang begitu deras dirasakan.
Riau adalah sebuah negeri yang patut bersyukur karena mampu membaca tanda-tanda zaman tersebut dan menyongsong abad ke-21 dengan semangat menciptakan keseimbangan antara pencapaian bidang ekonomi dengan pembangunan spiritual dan kebudayaan. Bukti dari semangat itu adalah, timbulnya kesatuan tekad untuk menjadikan Provinsi Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu pada tahun 2020 dalam lingkungan masyarakat yang agamis di Asia Tenggara, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 36 tahun 2001, tentang Pola Dasar Pembangunan daerah Riau. Upaya-upaya pembangunan kebudayaan yang telah dilakukan sejak lama mengalami kristalisasi dalam visi tersebut.
Setiap pemimpin yang memegang teraju negeri, sesuai dengan kapasitas pemikirannya tentang kebudayaan selalu menjadikan kebudayaan Melayu sebagai alas pembangunan. Pembangunan kebudayaan Melayu terkait satu sama lain dengan pembangunan spiritual karena adat dan kebudayaan Melayu bersumber dari keluhuran agama Islam, yaitu adat yang bersendi syarak, dan syarak yang bersendikan kitabullah.
Kita menyadari, kebudayaan Melayu merupakan sebuah kekuatan utama yang mengukuhkan negeri serantau menjadi sebuah negeri yang bermartabat. Kesadaran ini muncul dengan berangkat dari pemahaman sejarah yang kuat, bahwa sejak masa lampau, kebudayaan telah menjadi kekuatan tersendiri, di luar politik dan ekonomi. Di tengah masyarakat Riau yang berbilang kaum kita memerlukan kebudayaan Melayu sebagai identitas nilai dan kewilayahan untuk mempersatukan masyarakat.
Kemelayuan Dalam Perangkat Simbol