Beberapa pemikiran strategis mencatat, pembangunan kebudayaan merupakan aspek penting dalam pembangunan sebuah peradaban. Pembangunan kebudayaan bagi kehidupan kemanusiaan, adalah sesuatu yang diperbincangkan secara hangat, khususnya ketika dunia memasuki abad 21. Menghangatnya perbincangan tentang kebudayaan dan hubungan kebudayaan tersebut dengan upaya pembangunan sebuah peradaban manusia modern, berhubungan pula dengan ketakutan manusia terhadap fakta-fakta yang muncul akibat kemajuan zaman yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Berhadapan dengan fakta yang merisaukan itulah, maka dewasa ini, banyak negara di berbagai belahan dunia, khususnya negara-negara maju, berlomba-lomba memperkuat jati diri dengan memperdalam pembangunan kebudayaan atau melakukan restorasi kebudayaan, menggali kembali harta karun nilai-nilai luhur masyarakatnya yang telah tergusur oleh semangat materialisme. Jati diri dalam bingkai sebuah kebudayaan yang kokoh kelak diharapkan dapat menjadi benteng untuk menghadang akibat buruk dunia yang diciptakannya sendiri.
Dalam Megatrend 2000, misalnya, kita menemukan informasi, bagaimana negara-negara maju bersedia mengeluarkan belanja yang besar untuk memberikan subsidi kepada setiap anggota masyarakat untuk ikut dalam kegiatan kebudayaan, membangun gedung-gedung kesenian, dan membuat kebijakan-kebijakan yang pada intinya agar masyarakat mempunyai kekuatan spiritual yang tangguh. Dan dengan kekuatan spiritual yang tumbuh dari ranah kebudayaan itu, kemajuan bidang lain diharapkan tidak akan menggoyahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Mengapa kebudayaan? Karena dalam kebudayaan terdapat seperangkat sistem nilai yang mengarah pada proses menemukan diri. Kebudayaan adalah suatu hal yang penting ketika kita berpikir tentang keseimbangan hidup. Sejumlah negara besar atau negara maju dewasa ini, semisal Amerika, Jepang, China, dan sejumlah negara-negara Eropa, saat ini mulai "pulang" ke rumah kebudayaan mereka masing-masing. Orang China membolak-balik ajaran Kong Fu Tse, Amerika Serikat mewajibkan pelajarnya membaca buku kebudayaan, Jepang memperkukuh semangat Bushido. Hal ini terjadi setelah di depan mereka terbentang padang luas kehidupan yang liar dengan "ribuan serigala" hawa nafsu berkeliaran di dalamnya. Sebuah kenyataan tak terhindarkan, kemajuan yang dicapai dengan mengedepankan prinsip pasar ternyata memangsa anak-anak negeri yang lemah. Seperti apa yang disebut filsuf Thomas Hobbes sebagai homo homini lupus, manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya. Sementara dalam sebuah Negara kesejahteraan (welfare state), harusnya homo homini sosius, manusia yang satu menjadi teman bagi manusia lainnya. Oleh karena itulah tumbuh suatu kesadaran untuk percaya pada ungkapan Matthew Arnold, bahwa kebudayaan merupakan media yang mampu menetralisir, atau paling tidak meredakan eksistensi kehidupan manusia modern yang sangat agresif, kejam dan sangat berbau dagang itu.
Sebuah negeri yang tidak berupaya menumbuhkan kesadaran kebudayaan, akan menjadi sebuah negeri yang malang, meski semaju apapun capaian yang telah dibuat. Keseimbangan antara material dan spiritual adalah jalan yang mutlak yang harus dilalui, khususnya jika tidak ingin semua hal yang sudah dibangun dengan bersusah payah, menjadi sesuatu yang kehilangan makna. Sebuah negeri yang ideal, kata William Butler Yeats, sastrawan pemenang Nobel sastra dari Irlandia, adalah sebuah negeri yang di dalamnya terdapat nyanyian, puisi, dan balada pada satu sisi, dan sistem pemerintahan yang baik pada sisi yang lain.
Kenapa sebuah negeri maju yang lainnya tidak, atau kenapa sebuah negeri maju dengan identitas yang jelas, yang lain masih mencari-cari identitas? Ada negeri maju yang disebut memiliki marwah, ada negeri maju yang dianggap tidak memiliki marwah. Sebaliknya, banyak negeri yang terpuruk karena mereka tidak memiliki suatu jati diri yang kokoh.
Penggambaran itu dapat dilihat pada wajah kehidupan sebuah negeri, lihatlah Amerika Serikat, Inggeris, atau Jerman. Lihat pula Jepang, China, Korea atau Thailand, atau lihat pula Singapura dan Malaysia. Dan jangan lupa, lihat pula Ethiopia, Uganda atau Ghana, atau Myanmar. Atau lihat wajah negeri kita di depan cermin. Banyak pengamat menyimpulkan bahwa alasan utama mengapa sebahagian negeri atau kelompok etnis lebih berhasil daripada yang lainnya terletak pada nilai-nilai kebudayaan yang secara kuat membentuk kinerja politik, ekonomi dan sosial.
Samuel P. Huntington mencatat data menarik dalam buku Kebangkitan Peran Budaya Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia (LP3ES, 2006), Ghana dan Korea Selatan pada awal 1960-an memiliki kemiripan ekonomi. Huntington mencatat, kedua negara, memiliki tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang setara, porsi ekonomi mereka serupa dalam hal manufakturing, jasa primer serta berlimpahnya ekspor produk primer. Mereka juga menerima bantuan ekonomi dari lembaga internasional dalam jumlah yang berimbang. Tiga puluh tahun kemudian, Korea Selatan menjadi raksasa industri dengan pendapatan perkapita yang tinggi. Tidak ada perubahan dengan Ghana, PDB per kapitanya sekarang seperlimabelas dari Korea Selatan. Bagaimana menjelaskan perbedaan yang luar biasa dalam perkembangan ini? Tidak diragukan lagi banyak faktor yang perberan, tetapi kebudayaan memainkan peran besar, demikian ditulis Huntington.
Korea Selatan memang menjadi sebuah contoh yang menarik. Dalam buku Biografi Jenderal Douglas MacArthur, Korea Selatan disebutkan pada waktu itu (1950-1953) sangat feodal, korup dan bukan bangsa pekerja. Karena itu disimpulkan negeri itu akan sulit maju. Namun kita melihat kenyataan, di bawah kepemimpinan Presiden Park Chung Hee yang kuat, Korea Selatan mampu bangkit dan mengubah diri menjadi masyarakat yang egaliter, memiliki budaya disiplin dan kerja keras. Korea Selatan tumbuh menjadi bangsa yang kuat. Budaya hidup mereka yang semula keropos berubah menjadi budaya hidup produktif dan efisien.
Singapura, yang ketika menjadi jajahan Inggeris dikenal sebagai "An Old China Town", sebuah kampong Cina tua, setelah merdeka dalam waktu yang singkat mampu berkembang menjadi Negara yang sejahtera. Pemimpinnya Lee Kwan Yew, melalui keteladanan yang kuat sebagai pemimpin yang sederhana dan pekerja keras, berhasil membangun budaya disiplin, hemat, efisien, bersih dan tertib. Lee Kwan Yew telah menjalankan dua fungsi kepemimpinan dalam kearifan Melayu secara terang benderang: 1) memakmurkan rakyatnya; dan, 2) memberikan keteladanan; walaupun dia tidak menyebut itu sebagai konsep kepemimpinan Melayu.
Jepang adalah sebuah contoh lain yang tidak kalah menariknya, di samping Korea Selatan dan Singapura, bagaimana kebudayaan memberikan kekuatan yang demikian mengagumkan bagi kemajuan sebuah bangsa. Kita tahu, bahwa Jepang moderen pernah melewati masa kelam, khususnya sesudah Perang Dunia II. Tapi dengan kekuatan yang luar biasa, Jepang kembali tumbuh menjadi kekuatan dunia yang demikian diperhitungkan. Kekuatan Jepang ini tidaklah tumbuh dengan sendirinya, tapi ia muncul karena Jepang secara teguh memainkan hasrat kemajuan dalam keluhuran nilai-nilai kebudayaan yang dianutnya. Kedisiplinan Jepang dalam menjalankan budaya samurai (Bushi), yang berisi tujuh nilai utama yaitu : Kebaikan Hati, Keberanian, Kejujuran, Kehormatan, Keadilan, Kesetiaan, dan Kepedulian atau Rasa Hormat, membuat mereka tidak hanya tumbuh sebagai bangsa yang kuat, dan makmur, juga memiliki kehormatan. Kuatnya pengaruh budaya itu terlihat dalam kinerja politik dan ekonomi masyarakatnya.
Dimana peran kebudayaan?