Padahal, meski sudah 75 tahun merdeka, kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini karena didorong oleh budaya patriarki, kebijakan dan peraturan yang tidak adil bagi perempuan dan politik, serta undang-undang yang tidak berperspektif perempuan. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020 (CATAHU), menunjukkan bahwa ada 31. 71 insiden kekerasan terhadap perempuan (KTP) sepanjang tahun 2019, meningkat 6% dibandingkan tahun sebelumnya. (06.178). Dari 3.602 kekerasan publik dan komunitas terhadap perempuan, sekitar 58 adalah kekerasan seksual, yaitu percabulan (531 kasus), pemerkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus). Pada saat yang sama ada 176 tindakan seksual, sisanya adalah upaya pemerkosaan dan persetubuhan. Komnas Perempuan mencatat dalam pernyataannya apa yang terjadi pada perempuan selama 75 tahun kemerdekaan Indonesia:
1. Rendahnya sistem perlindungan perempuan
Tingginya angka tkp di ruang publik menunjukkan lemahnya sistem perlindungan terhadap kekerasan terhadap perempuan di masyarakat, lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya payung hukum atas berbagai jenis kekerasan terhadap perempuan yang terjadi. Dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, perempuan semakin rentan mengalami kekerasan berbasis siber (KGBO).
2. Isu SARA yang berdampak pada kekerasan perempuan
Dalam sebuah pernyataan sikapnya, Komnas Perempuan juga mencatat penggunaan isu suku, beragam Ras, serta Agama (SARA) dalam politik praktis terjadi perebutan kekuasaan di tingkat nasional maupun daerah dengan memobilisasi dukungan massa termasuk perempuan dan anak-anak secara langsung maupun tidak langsung telah berdampak pada kekerasan terhadap perempuan.
Kerusuhan yang terjadi pada 21-23 Mei 2019 di sejumlah titik wilayah DKI Jakarta paska pengumuman hasil pemilihan Presiden RI periode 2020 -- 2024, telah memakan banyak korban di kalangan masyarakat. Peristiwa tersebut dapat dilihat sebagai akumulasi dari pembiaran politisasi identitas, pelaziman anarkisme dan kekerasan, serta tidak adanya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di mana sebagian besar korban adalah perempuan.
3.Kekerasan pada Perempuan dalam Konflik sumber daya alam yang mengorbankan perempuan
Kekerasan terhadap perempuan juga terjadi dalam konflik Sumber Daya Alam dan tata ruang, antara lain disebabkan prioritas pembangunan dan politik infrastruktur yang masif, impunitas dan supremasi korporasi mengakibatkan pengabaian hak-hak masyarakat adat. Padahal sejatinya, masyarakat adat merupakan elemen bangsa ini sebagai perawat dan pelestari lingkungan. Inkonsistensi hukum dan diskoneksi kebijakan pusat dan daerah berdampak pada tercerabutnya hak masyarakat adat dalam mempertahankan ruang hidup dan kebudayaannya. Termasuk didalamnya hak spiritualitas dalam meyakini agama leluhurnya.
Perempuan yang lekat dengan lahan, rumah, kearifan lokal maupun sumber daya alam lainnya menjadi kelompok yang paling rentan dirugikan di ranah domestik maupun publik.
4.Kondisi perempuan pekerja yang mengalami diskrimininasi
Menurut, CATAHU 2020 juga mencatat kondisi perempuan pekerja yang masih mengalami tindakan diskriminasi karena peran reproduksinya. Pelanggaran hak reproduksi buruh perempuan yang masih terjadi menunjukkan bahwa UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum dilaksanakan dengan baik. Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya kemandirian ekonomi perempuan dan juga berpotensi terjadinya tkp di ranah domestik.