Mohon tunggu...
Arifuddin
Arifuddin Mohon Tunggu... mahasiswa -

Pemahat ide: baginya menulis adalah menyingkap makna.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Militer dan Strategi Maritim

15 Mei 2016   02:59 Diperbarui: 15 Mei 2016   03:26 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: https://tandamatabdg.files.wordpress.com

Sebagai negara kepulauan, Indonesia senantiasa diancam bahaya. Peristiwa penjarahan ikan dan potensi laut oleh pihak asing, klaim wilayah oleh beberapa negara tetangga, sampai sulitnya menjaga keutuhan wilayah dalam kerangka NKRI seakan menjadi sesuatu yang wajar adanya. Tidak tampak adanya kekhawatiran akut atas rongrongan yang begitu sering terjadi. Dalam istilah penulis, fenomena rapuhnya rasa keindonesiaan menjadi sesuatu yang seakan tidak perlu diwacanakan di ruang publik. Faktanya, peristiwa terjadi tidaklah sekali, namun berlangsung berulang kali. Sungguh musykil kiranya menyatakan ada kepedulian atas kondisi negeri. Kalaupun ada, dilandasi oleh keyakinan buta akan dogma turunan, semisal dalam konflik Indonesia-Malaysia.

Skeptisisme ini tentunya menyisakan pertanyaan besar, mengingat semakin gencarnya berbagai negara mengagendakan kebijakan strategis pertahanan dan keamanannya. Apalagi di era “perang melawan teror” ini, sikap skeptis menjadi begitu ambigu. Yang aneh, para perumus kebijakan rupanya belum sadar betul akan mundurnya kemampuan pertahanan negara. Tidak saja dari segi anggaran, pengembangan sumber daya juga begitu minim dilakukan. Yang juga lebih memilukan, kondisi geografis tidak menjadi unsur penting dalam pembangunan militer. “Nenek moyangku orang pelaut”, lagu masa kecil yang melegitimasi kedigdayaan kekuatan militer nusantara masa lalu terlupakan dan menjadi sekadar lagu pengantar tidur. Dengan lain perkataan, diskursus internal dalam tubuh militer seakan duri dalam imaji pembangunan militer.

Militer dalam Diskursus

Dalam sejarahnya, militer Indonesia senantiasa menyajikan polemik tersendiri. Sejak awal perang kemerdekaan, dominasi dipegang oleh angkatan darat, kalau tidak mau dikatakan hegemoni. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) tentu tidak bisa dilepaskan dari doktrin perang darat yang dianut militer. Artinya, orientasi utama dalam pertahanan negara bertendensi pada pertahanan wilayah darat. Dalam struktural kepemimpinan militer, angkatan darat tampak memegang kendali mayoritas. Sewaktu masa demokrasi terpimpin, pertentangan internal nampak membuncah, Omar Dani selaku KSAU justru memihak gerakan komunis, sikap yang jauh dari mainstream angkatan lainnya.

Terlepas apapun motifnya, pecahnya kongsi koordinasi antar angkatan tidak terlepas dari pengaruh perebutan kepemimpinan dalam tubuh militer sendiri. Dominasi angkatan darat yang dengan klaim mendapat “warisan sejarah” ternyata tidaklah seideal yang dibayangkan. Ketegangan sampai keretakan hubungan menjadi sebentuk fakta empirik, bahwa militer tidaklah sesolid yang dikira. Sejarah memang telah berkata, jasa angkatan darat tidak dapat dinistakan. Namun pertanyaannya, seberapa relevankah konsep dominasi peran tersebut di abad ke-21 ini?

Menjawab pertanyaan tersebut, penjelasan akan fakta geografis dan kewilayahan NKRI tentu begitu urgent. Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang terbesar di dunia, dengan memiliki luas wilayah laut sebesar 5,8 juta km2. Dari laut segalanya berasal. Oleh karena itu, penetapan konvensi hukum laut Internasional 1982 yang mengakui archipelagic state, merupakan tantangan dan perubahan rezim maritim yang harus dijawab Indonesia (Archipelagic State: Tantangan dan Perubahan Maritim, 2007:VII). Persis dalam konteks inilah, wacana baru akan orientasi pembangunan militer perlu mendapat perhatian tersendiri. 

Dan transformasi paradigma akan “doktrin perang” dalam tubuh militer menemukan legitimasi empiriknya. Dengan bentuk negara kepulauan, niscaya Indonesia membutuhkan kepemimpinan angkatan perang berbasis penguasaan maritim. Dalam bahasa yang lebih sederhana, penguatan basis maritim harus menjadi orientasi. Apalagi didasari fakta bahwa negara di sekeliling selalu mencari peluang kelemahan Indonesia, urgensi dari penguatan basis maritim tidak perlu dipertimbangkan lagi.

Strategi Maritim

Suatu strategi adalah keseluruhan keputusan-keputusan kondisional yang menetapkan tindakan-tindakan yang akan harus dijalankan guna menghadapi setiap keadaan yang mungkin terjadi di masa depan. Perumusan strategi tidak hanya di dalam milieu “waktu”, namun juga memperhitungkan milieu “ruang”. (Daoed Joesoef, Pertahanan Keamanan dan strategi Nasional, 1973: 61). Sejalan dengan pengertian tersebut, realitas geografis membutuhkan suatu angkatan perang yang berorientasi pada pertahanan laut. Terutama dalam menjaga wilayah perbatasan dan sumber daya laut, strategi maritim perlu menjadi semacam wacana bersama. Tentunya dengan perumusan yang kompherensif, diharapkan dapat terbentuk konsep baru dalam agenda pertahanan negara.

Seperti apa yang disampaikan Connie Rahakundini Bakrie dalam bukunya pertahanan negara dan postur negara ideal (2007: 182), setidaknya terdapat tiga alasan mengapa penguatan angkatan laut perlu dilakukan. Pertama, mengingat wilayah laut Indonesia yang luas dan strategis sebagai perairan internasional, serta dilalui oleh berbagai kapal dari seluruh dunia dengan membawa serta kepentingannya, sangat berpotensi terjadi konflik. Kedua, mengingat strategisnya perairan laut di sekitar Indonesia, terutama Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, juga berpotensi memicu konflik inter-state.Dan ketiga,memahami serta melihat fakta pengembangan teknologi kapal selam dan perimbangan kekuatan di Asia-Pasifik.

Bukan berarti angkatan laut akan diistimewakan dibanding angkatan lainnnya, namun setiap kebijakan kiranya perlu merumuskan hal-hal yang strategis dan berjangka panjang, dengan pelibatan realitas objektif. Data dan fakta telah berkata, menjadi sebuah panggilan zaman untuk memperkuat pertahananan laut dan lebih memprioritaskan pembangunan kekuatan maritim. Terutama alutsista yang selama ini begitu minim, harus dijadikan patokan faktual dalam perumusan kebijakan strategis. Kita pun harus ingat, sumber daya laut kita adalah salah satu yang terkaya di dunia. Tentu akan menjadi sasaran empuk bagi negara-negara lain. Kelambanan angkatan laut dalam mengejar penjarah ikan (illegar fisher) menjadi bukti rapuhnya sistem pertahanan nasional kita. Konsep wawasan nusantara harus dipahami dalam konteks melindungi seluruh sumber daya negeri, yang memang kehendak alam dilingkari oleh lautan.

Strategi maritim (maritime strategic)yang penulis maksud adalah pemilahan prioritas pembangunan dalam agenda strategis angkatan perang. Sebagai angkatan yang paling awal menahan gempuran asing (baik perang maupun penjarahan sumber daya), wajar sekiranya pembangunan lebih diarahkan. Apalagi tantangan terbesar kita sekarang justru bukanlah perang konvensional, namun penjarahan sumber daya alam yang menjadi basis keuangan negara. Kalau kita kurang tanggap, fenomena negara gagal akan segera menjadi kenyataan.

 Sadar atau tidak, kekayaan alam kita dikeruk, dirampas pihak asing, tanpa kita bisa berbuat apa-apa. Selain itu, kedaulatan wilayah atas pulau-pulau terluar hanya mampu diawasi secara efektif oleh angkatan laut. Karena terletak jauh dari pusat peradaban dan hanya dihubungkan (semata) lewat transportasi laut, urgensi dari penerapan maritime strategictak perlu disangsikan lagi. Yurisdiksi nasional dan pemanfaatan sendiri sumber daya laut akan jauh lebih efektif jika angkatan laut sebagai garda terdepan dalam pertahanan negara diperkuat, senjata maupun keterampilan.

Kita semua berharap, kekayaan alam kita digunakan hanya dan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Sungguh, tiada jalan lain selain menjaga dan mempertahankannya. Pun kita harus menjaga keutuhan negeri, tanpa membiarkan pihak asing mengambil tanah kita. Terutama yang jauh dari pusat kota, harus dipertahankan dengan gigih. Dan akan jauh lebih efektif jika angkatan laut menjadi agen utama dalam pertahanan batas yurisdiksi nasional kita. Tiada lain, itulah yang paling bijak!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun