Mohon tunggu...
Bunga Prihastuti
Bunga Prihastuti Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Memiliki hobi membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pulang

26 September 2022   09:43 Diperbarui: 30 September 2022   08:15 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ayah macam apa yang tidak mengenali anaknya." Ucap kak Janu yang langsung di balas kak Dewa.

"Anak kesayangan bunda, tidak bisa apa-apa dan hanya menyusahkan. Kapan bisa dewasa? Otak nya main terus." 

Iya, aku tau jika aku memang selalu di manja. Sejak kecil aku memang selalu di manja oleh bunda. Wajar jika aku masih belum bisa apa-apa, tapi yang membuatku sakit hati, masih saja ada dari keluarga ku yang belum mengenaliku. Bahkan ayah ku sendiri, ia percaya jika aku yang mengirim sms itu.

Pada akhirnya aku memilih angkat kaki dari rumah, aku bersumpah untuk tidak akan kembali lagi ke rumah ini, aku tidak peduli kedepannya ayah masih akan menganggap ku anak atau tidak. 

Setelah kejadian ini, aku selalu mendengar tentang keburukan diriku yang bahkan aku tidak pernah lakukan. Aku tau siapa yang menyebarkan hal buruk ini, seseorang yang ingin menyingkirkan ku dari keluarga. Semenjak saat itu, kak Janu selalu menyuruhku untuk seolah tak mendengar apa yang mereka katakan, itu membuat ku menjadi biasa saja ketika ada hal buruk yang orang katakan tentang ku.

Lebih tepatnya, aku sudah tak merasa kecewa atau sakit hati lagi, aku sudah berpasrah karena menurutku tak ada yang bisa ku bela, karena bahkan satu orang pun tidak ada di pihak ku. Bahkan kak Janu sendiri tidak bisa membantu, ia selalu memegang ucapan bunda untuk tidak membalas atau meladeni orang-orang yang membuat hidup kita susah.

Aku pun ikut menerapkannya, sampai aku sudah tak merasa apapun lagi untuk kehidupanku. Lalu ketika aku berusia 17 tahun. Aku sudah muak dengan semuanya, aku yang bahkan tidak tau lagi tujuan hidupku apa, entah alasan apa yang masih membuatku bertahan sejauh ini. Mungkin mengingat janji ku pada bunda untuk menjadi orang yang sukses di masa depan.

Tetapi bunda sudah tak ada, jadi untuk apa lagi aku masih di sini. Sudah menjadi sebuah kebiasaan setiap hari minggu aku mengunjungi makam bunda, bercerita tentang hari-hari ku dihadapan batu nisan yang tertera nama bunda ku. 

"Bunda, Kinan harus apa lagi? Kinan sudah tidak punya siapa-siapa. Boleh Kinan ikut bunda saja? Kinan mau pulang bunda." Lirih ku sembari mengusap nisan itu.

Tak lama, hujan deras membasahi tubuh ku. Aku tak peduli, sebuah kebetulan hujan deras di saat aku ingin menumpahkan semua air mata ku. Meluapkan semua rasa sakit yang selama ini tidak ku rasa. Sampai ada seseorang menghampiriku, melindungi ku di bawah payung yang ia bawa lalu mengusap bahu ku lembut. 

"Aku tidak tau apa masalah yang kamu hadapi. Kamu boleh pulang, tapi saat ini bukan waktunya. Jika kamu berkenan, aku bersedia menjadi tempat mu untuk pulang. Tempat untuk mu beristirahat sejenak dari semua rasa lelah mu." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun