Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dan Kegelapan Demokrasi, Sebuah Koreksi Sistem

26 Maret 2021   07:36 Diperbarui: 26 Maret 2021   11:34 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skema kegelapan demokrasi (Dok cendekiapos.com)

PERALIHAN kekuasaan tanpa pertumpahan darah, itulah model sistem demokrasi. Meski terkadang dalam skala organisasi dan partai politik, dinamika marah-marah, banting kursi, saling adu otot sering dilakukan demi memperoleh kekuasaan. Yang pasti demokrasi lebih unggul dibanding sistem pemerintahan lainnya.

Begitulah, transfer kekuasaan yang demokratis itu mengacu dan patuh pada konstitusional bernegara. Apa jadinya kalau semua jalan kebaikan itu dimanipulasi. Demokrasi sekedar menjadi dekorasi. Menjadi alat kontrol kaum kuat terhadap kaum lemah. Maka yang terjadi bisa menyebabkan pertentangan kelas, seperti yang disebutkan Karl Marx.

Kita tentu tidak menginginkan demokrasi keluar dari jalurnya. Demokrasi itu menghormati dan menaruh posisi rakyat begitu istimewa. Rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi. Itu sebabnya, praktek transaksional politik dalam demokrasi kita di Indonesia adalah sesuatu yang diharamkan dalam konstitusi. Janganlah menggoda kegelapan yang kemudian datang menyelimuti demokrasi kita.

Untuk Indonesia yang kita cintai, rasanya perlu tiap tahun dengan sabar rakyat melakukan koreksi sistem. Karena kelihatannya pemerintah sudah keasyikan hidup mewah, berkelimpahan harta dan fasilitas. Alhasil, ketimpangan di tengah-tenggah rakyat selalu diabaikannya. Fakta kesenjangan antara si kaya dan miskin masih mengangah.

Kritik konstruktif dihidupkan disertai praktek-praktek yang benar. Jangan lagi membegali aturan. Rakyat harus punya kesadaran menjalankan aturan sepatuh-patuhnya. Kita berharap pemerintah di depan memberi contoh dalam soal ini. Dengan begitu, kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan akan terwujud.

Tak ada lagi perilaku bernegara seperti yang diperagakan dalam pasar gelap. Dan praktek bantai-membantai kepentingan akan ditinggal dengan sendirinya. Elit pemerintah, pimpinan partai politik, dan mereka yang punya kuasa terhadap kekuasaan publik harus memiliki komitmen memajukan Indonesia. Hilangkat sekat, perasaan sentimen diskriminatif. Sebab itulah embrio rusaknya Indonesia.

Hati-hati jangan sampai kegelapan demokrasi menghantui kita. Kelabunya mulai mendekat, kalau tidak dinetralisir dan diatur ulang. Maka kegelapan demokrasi akan datang. Rakyat kita boleh jadi akan barbar. Tidak lagi mematuhi hukum-hukum positif, karena kepercayaan mereka terhadap pemerintah telah pudar.

Kalau terjadi gaduh demokrasi, kecemasan rakyat akan meningkat. Lalu mereka akan menyebrak dari hidup taat terhadap aturan, menjadi liberal. Tidak mau tau, apatis terhadap program pemerintah. Kemarahan akan membuat rakyat lupa jalan pulang. Mereka akan menjadi alergi juga tidak suka terhadap semua kebijakan Negara. Disinilah kegelapan demokrasi menuai konsekuensi.

Alternatif lain yang perlu diupayakan rakyat ialah dengan melahirkan kecemerlangan intelektual. Para akademisi, dosen dan mahasiswa diberi ruang mengembangkan pengetahuan. Proses kompetisi pemilihan Rektor mesti dikembalikan ke kampus pure. Dinamika kemahasiswaan tidak dibatasi, apalagi aktivis mahasiswanya ditekan. 

Anggaran 20% untuk sektor pendidikan harus ditambah. Benar-benar dialokasikan untuk melahirkan kualitas pendidikan. Bukan dana itu untuk dikorupsi lagi. Kampus menjadi laboratorium mencerahkan, sekaligus benteng untuk menangkis seragan globalisasi yang maha dahsyat.

Edisi Khusus Demokrasi

Keterbukaan politik, restrukturisasi dan demokratisasi atau demokratizatsiya, dalam istilah yang digunakan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Mikhail Gorbachev harus dipraktekkan. Politik kita masih begitu gelap. Juga seperti hutan belantara yang binatang buasnya banyak disana. Harusnya politik kita lebih terbuka, dan dibuktikan dengan praktek pengelolaan partai politik yang transparan.

Kemudian, restrukturisasi sistem atau aktor-aktor yang terlibat di pemerintahan. Langkah ini begitu penting agar tidak terjadi otoritarianisme. Pelanggengan kekuasaan hanya akan melahirkan korupsi kolusi dan nepotisme. Harus ada pertukaran dan penyegaran dari aktor-aktor pemerintah, jangan hanya 'orang-orang lama' yang dipakai.

Demokrasi harusnya lebih mewadahi aspirasi rakyat. Menghidupkan pikiran-pikiran segar. Edisi khusus demokrasi dimaksudkan agar pemerintah tidak lagi responsif berlebihan terhadap lahirnya Ormas dan partai politik yang berbeda haluan kepentingan dengan pemerintah. Kemajuan demokrasi bukan sekedar diukur dalam ucapan Presiden Jokowi, melainkan dalam tindakan perbuatannya.

Kondisi realitas bernegara yang akan ditakar sebagai jawaban bahwa pemerintahan Jokowi demokratis, tidak demokratis, atau melampaui demokrasi. Melalui kebijakan pemerintah, pembiaran atas kasus-kasus tertentu dan respon kepanikan terhadap golongan, kelompok tertentu dengan cara-cara yang dipaksakan. Itu pula yang dievaluasi. Demokrasi itu bukan pencitraan, tapi holistik ruang. Membumi dalam gerak hidup rakyat.

Kasus dibelahnya Partai Demokrat oleh orang luar Partai Demokrat. Yang turut disitu adalah orang lingkar Istana yakni KSP Moeldoko. Ada kubu KLB versi Moeldoko vs Partai Demokrat yang sah dipimpin AHY. Bahkan terakhir yang ramai, konferensi pers Demokrat KLB abal-abal digelar di Wisma Atlet. Sebagai langkah mengingatkan kasus yang diduga akan menyeret AHY dan anaknya Ibas.

Pencaplokan partai politik, sebutlah begitu yang dimotori Moeldoko sebagai 'orang dekat' Jokowi, tentu akan menyeret-nyeret nama Jokowi. Seharusnya, kisruh ini dapat diakhiri dengan Presiden Jokowi memberhentikan Meoldoko dari jabatannya KSP. Agar tidak adal klaim dan pelibatan Negara yang kasat mata dalam polarisasi Partai Demokrat.

Politik saling sandera kepentingan, patut diakhiri. Publik juga membaca bahwa cara mengacaukan Demokrat agar SBY melemah, legowo dan merapat pada kubu Jokowi. Kekuatan SBY makin dikecilkan. Lihat saja di kubu KLB Moeldoko ada Muhammad Nazarudin, mantan Bendum DPP Partai Demokrat. Dan eksponen pengurus Partai Demokrat lainnya. Tidak mudah SBY menghadapi badai ini.

Publik juga berharap agar tidak ada kompromi. SBY harus berani sebagai negarawan dan mantan Presiden Indonesia 2 periode mesti menegakkan yang benar itu benar. Aturan wajib ditegakkan, jangan sampai berhenti melalui bargaining kepentingan. 

Publik pun mulai tau muaranya, kalau bukan Jokowi Presiden 3 periode, berarti Puan Maharani, Gibran Rakabuming dan Prabowo. Karena hanya 3 kutub politik yang kuat sekarang, diantaranya kubu Jokowi-Megawati, Prabowo Subianto, dan SBY.

Akan berkutat pada politik keluarga. Anaknya Megawati, Puan Maharani. Anaknya Jokowi, Gibran Rakabuming, anaknya SBY adalah AHY yang masing-masing disiapkan untuk maju dalam kontestasi Pilpres 2024. Sedang Prabowo sendiri terdeteksi akan memperjuangkan Sandiaga Uno.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun