Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Krisis, Klaim, dan Dilema Pembangunan

14 Maret 2021   17:01 Diperbarui: 14 Maret 2021   17:24 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hantaman Covid-19 (Dok Capitalasset.co.id)

PEMERINTAHAN Joko Widodo dan KH. Ma'ruf Amin mengalami tantangan yang serius dalam pembangunan. Halangan yang ditemuinya, dapat berubah menjadi peluang berbuat alasan. Menyikapi hambatan pembangunan, pemerintah harusnya cekatan. Jangan pasif. Ancaman ini kita semua tahu, datang dari bencana non-alam.

Tidak mudah Jokowi, begitu Presiden Widodo akrab kita sapa mempercepat pembangunan di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Pilihannya, atasi Covid-19 barulah melanjutkan pembangunan. Atau sebaliknya, mengatasi penularan Covid-19 sembari memantapkan pembangunan. Karena peneliti dan para ahli kesehatan atau ahli virus juga belum mendapat kesimpulan kapan Covid-19 meredah.

Dalam kasat mata kita, Covid-19 memukul mundur kehidupan rakyat. Terlebih pada sektor ekonomi. Sejumlah mata pencaharian, pendapatan menurun drastis. Para pengusaha warung kopi, pengusaha hiburan malam, dan pelaku usaha kecil lainnya, jam operasionalnya dibatasi. Ya, alasannya Covid-19. Pemerintah menyuruh rakyat hidup berdampingan dengan yang nama Covid-19.

Krisis melanda Indonesia, tapi pemerintah tetap bersikukuh dengan kebijakannya refocusing dan relokasi anggaran. Artinya, anggaran proyek pembangunan infrastruktur harus diarahkan ke pencegahan penularan Covid-19. Untuk urusan yang dianggap tidak penting dipending. Lalu segala konsekuensi biaya untuk program tertentu, digunakan pada penyelesaian dan pemulihan pendemi Covid-19.

Sekarang sudah mulai muncul protes rakyat. Di daerah telah muncul indikasi penyalahgunaan anggaran Miliaran rupiah. Bila kita mendeskripsikan kembali secara sistematis, memang kita memerlukan data-data dari pemerintah atau data pembanding yang akurat dari lembaga kapabel. Agar kemudian, menginvestigasi praktek deviasi yang dilakukan terkait dana Covid-19 tersebut.

Berdasarkan laporan pembangunan manusia yang dirangkum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam mengungkap kepuasan global terhadap kehidupan. Membuat klaster Negara mana yang rakyatnya paling bahagia, paling sehat, dan paling stabil dibandingkan di tempat atau Negara lain, sayangnya yang terbaca dari 10 peringkat teratas untuk hidup sejahtera, Negara kita Indonesia tidak masuk.

Harus kompatibel dengan anggaran yang dialokasi Triliunan rupiah itu, tidak saja menuntaskan penularan Covid-19, tapi bagaimana pemerintah menyuplai dana segar dan bantuan sosial yang serius kepada rakyat. Di tengah pandemi, rakyat harus diberi modal berusaha. Mereka harus mandiri, jangan dibatasi jam kerja mereka seperti sekarang ini.

Bagaimana kesejahteraan rakyat terwujud, jikalau semangat mereka untuk membangun ekonomi tidak ditunjang pemerintah. Pemerintah kelihatannya tidak konsisten menjamin penyaluran bantuan sosial (Bansos) kepada rakyat yang terdampak Covid-19. Kenapa setelah Pilkada Serentak 2020 selesai, Bansos mulai tidak terdengar lagi?. Apakah Bansos itu yang karena musim politik, sehingga dimainkan untuk kepentingan politis waktu itu.

Pilkada Serentak 2020 sudah usai, tetapi Covid-19 masih saja mengancam kita. Kenapa pembangunan fisik dikurangi, dan anggarannya itu tidak diarahkan betul-betul untuk membantu rakyat yang terserang Covid-19. Publik tau dan akan memaklumi situasi sekarang. Ketika proyek pembangunan nasional sampai daerah mandek, pasti alasan pemerintah adalah kita sedang menghadapi Covid-19. Disinilah, Covid-19 menjadi 'kambing hitam' dan pemakluman.

Jadinya, ketika pemerintah dicurigai lawan politik dan rakyat akar rumput. Singkat kata, Covid-19 akan menjadi alasan andalan pemerintah. Ia menjadi benteng pertahanan yang mumpuni ketika pemerintah menjawab pertanyaan-pertanyaan cerdas dari rakyat. Potensi penyalahgunaan anggaran Covid-19 memang sangat besar dilakukan pemerintah. Kita berharap lembaga audit anggaran bersikap adil dan tegas melakukan kerjanya.

Kasihan rakyat miskin makin kesusahan disaat Covid-19 ini. Elit pemerintah malah sibuk terlibat konflik politik. Bahkan kompromi-kompromi kepentingan mereka lakukan. Rakyat dibiarkan teriak, juga menunggu bantuan Covid-19 disalurkan lagi. Ada kecurigaan bahwa dana Covid-19 dikorupsi secara berjamaah. Diduga pelakuknya tentu elit-elit pemerintah pusat, Satgas Gugus Tugas Covid-19 sampai ke pemerintah daerah, mereka harus diusut tuntas.     

Struktur bangunan Negara mestinya tidak sedang baik-baik saja. Sedihnya, elit pemerintah seperti KSP Moeldoko asik-asiknya terlibat konflik politik. Kongres Luar Biasa versi Moeldoko dilakukan. Kemudian, Agus Harimurti Yudhoyono bersama pengurusnya mendatangi kantor Menkum-HAM, kesemuanya adalah rangkaian pentas ramai-ramai menambrak prokes Covid-19. Mereka secara terang-terangan melakukan kerumunan. Kenapa tidak ditindak?, kok hanya Habib Riziqe Shihab yang dipenjarakan atas alasan kerumunan.

Sementara mereka diistimewakan. Dimana para penegak hukum kita?. Sebenarnya, Covid-19 ini pekerjaan politik atau kesehatan?, sepertinya nyali virus Covid-19 ciut pada sesuatu yang berbau politik. Lihat saja meski Covid-19 membara, saat agenda Pilkada Serentak 2020, tetap saja Pilkada jalan. Politik lebih 'garang' ketimbang Covid-19. Kita tengah menghadapi krisis, pemerintah jangan lepas tangan.

Pemerintah tetap gagah berani menyampaikan klaimnya. Mereka paling tidak mau disalahkan. Selalu saja ada klaim, ketika salah atau abai dalam bidang pembangunan. Pemerintah tanpa malu, bahkan begitu percaya diri mengemukakan alasan bahwa pemerintah tetap sukses dalam pembangunannya. Tidak mau disalahkan, pemerintah selalu memprouksi dalil-dalil agar dipercaya.

Intinya, pemerintah tidak mau dianggap gagal. Kelebihan pemerintah hanyalah karena merasa punya kuasa mengendalikan data. Juga pemerintah punya kemampuan merekayasa, menambah dan mengurangi apa saja capaian prestasi yang mereka akan lakukan. Itu sebabnya, aib pemerintah sukar terbongkar selama mereka masih berkuasa.

Kecuali setelahnya, aib-aib dan skandal yang dilakukannya dapat terungkap. Setelah ada pemerintahan yang baru, peluang mengobok-obok kesalahan pemerintah sebelumnya dapat efektif dilakukan. Kritik sepedas dan sekencang, seradikal apapun tak akan mempu membuat pemerintah kehilangan klaim sukses. Tetap saja, pemerintah mencari alibi untuk melahirkan klaim. Tujuannya, agar dipandang berhasil membangun pelayanan publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun