Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dekolonisasi dan Ambisi Negara

14 Februari 2021   22:18 Diperbarui: 14 Februari 2021   22:30 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AMBISI Negara itu tertera pada tekstual Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Apakah kemanusiaan yang adil dan beradab telah diwujudkan pemerintahan Jokowi?. Persatuan yang dijadikan landasan, modal kita bernegara mengalami guncangan dan terkikis karena politik oligarki.

Begitu pula dengan konsep permusyawaratan perwakilan yang diperankan para wakil rakyat (DPR). Wakil rakyat kita seperti macan ompong. Jikalau ada yang berani, kritis melawan kebijakan pemerintah yang fals terhadap rakyat. Hanya segelintir saja. Kebanyakan mereka terbius atas kompromi politik.

Mengutip Wikipedia, dekolonisasi secara sederhana diartikan sebagai tercapainya kemerdekaan berbagai koloni. Indonesia telah mengalami kemerdekaan itu. Baik secara de facto dan de jure kita telah merdeka. Terlepas dari era imperialisme Barat. Tidak seperti jaman kolonial dahulu. Indonesia tidak terjajah lagi.

Dalam istilah lain dekelonisasi disebut fase pasca-kolonialisme. Kebahagiaan kita dengan menjemput kemerdekaan itu ternyata masih saja diganggu. Kita dibayang-bayangi penjajahan gara baru (neo-kolonialism). Dimana perbudakan masih dilakukan investor Asing dalam mengeruk kekayaan alam kita.

Jokowi dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) jangan tidur pulas. Rakyat sedang menderita karena polemik yang dilahirkan dari aktivitas pertambangan. Sumber Daya Alam (SDA) kita melimpah, tapi kenapa rakyat kita tetap saja miskin. Kekayaan kita dikeruk untuk kepentingan pemodal.

Pertambangan emas, nikel, logam, perak, tembaga,besi, timah, mangan, batu bara dan migas nasional kita masih hampir semuanya dikuasai Asing. Deretan perusahaan tambang juga elitnya begitu dihormati, diberi layanan istimewa 'karpet merah' oleh pemerintah. Sementara tambang rakyat, yang dilakoni pribumi di musuhi.

Selain PT Freeport, yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, di antaranya PT Chevron Pacific, PT Newmont. Ada PetroChina, ConocoPhilips, BP sebagai perusahaan minyak dan gas bumi, telah beroperasi lama di Indonesia. Dan terakhir adalah Nico Resources, perusahaan Indonesia dan Asia Tenggara.

Belum lagi yang namanya investor selalu greedy (rakus). Kepedulian mereka tehadap lingkungan alam, begitu tidak proporsional. Tetaplah bencana alam longsor dan banjir yang merasakan penderitaannya rakyat kita. Orang-orang Indonesia. Bukan para investor itu, kasihan pemerintah seperti buta.

Tidak memperketat atau melarang penebangan pohon dan pengerukan isi perut bumi yang massif. Kita telah merdeka, sekarang menuju 76 Tahun kemerdekaan. Tapi kekayaan alam kita masih di kuasai para panjajah gaya baru seperti investor Asing.

Tidak hanya pengrusakan alam. Bahkan, mentalitas dan pemikiran generasi kita pun mulai dirusak. Dengan berbagai pemikiran import dari Barat. Kalau dirunut, bukan hanya terorisme yang menjadi ancaman kita. Geliat kapitalisme dengan propaganda sektor ekonomi perlu dilawan.

Kaum pribumi dalam konteks politikpun dihantam. Mendapat intervensi dari pemodal. Rakyat kita dikepung, dengan politik uang saat Pemilu atau Pilkada. Sampailah kerukunan dan keamanan kita terabaikan karena pengaruh uang. Para politisi berkolaborasi dengan pengusaha, rusaklah demokrasi kita.

Para politisi yang berwawasan luas. Negarawan dan punya pengalaman banyak yang tergeser, jatuh dari perebutan panggung politik karena tidak punya uang untuk dibagi-bagikan ke rakyat. Mereka politisi yang mendapat donatur dari pemodallah yang menguasai pertarungan politik kita.

Aktivis demokrasi, mereka yang terbiasa mengadvokasi rakyat dan alumni aktivis kampus tidak sedikit yang tumbang. Hanya karena apa?, karena tidak memiliki uang membayar rakyat. Pemodal yang rata-rata adalah Taipan itu, membiayai politisi yang bertarung dengan kompensasi tentunya.

Siapa saja yang tidak disukai para pemilik modal, akan dihambat aksesnya dalam pertarungan politik. Dengan menghalalkan segala cara. Menyuap rakyat agar jagoannya atau dirinya dipilih. Memberikan paket bantuan, dan bujuk rayu agar hak politik rakyat didapatkan. Rusaklah demokrasi dibuat mereka.

Dekolonisasi sekedar simbolisasi semata. Di lapangan, rakyat masih dibodoh-bodohi dan diperbudak. Para pemilik modal begitu bebas mewarnai kompetisi demokrasi kita. Selain menjadi pengatur, mereka kini pun turun ke gelanggang pertarungan. Menjadi politisi, berlatar belakang pengusaha.

Makin jauh akhirnya ambisi Negara untuk kita capai. Pemerintah kita disibukkan, bahkan ikut sibuk dengan bargaining asset juga politik. Terkesan lebih mengutamakan, kekayaan dan mendapatkan kemewahan diri sendiri. Ketimbang memperjuangkan nasib rakyat yang makin terjepit.

Kapan keadilan di tegakkan secara sempurna. Seperti itupun dengan kesejahteraan rakyat, kapan ditunaikan. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan. Penggalan kalimat ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar UUD 1945. Faktanya apa?.

Kita masih terjajah. Baik dalam kehidupan ekonomi, sosial dan juga politik. Begitu pun cita-cita memajukan kesejahteraan umum yang tertera dalam Pembukaan UUD 145. Baru sebatas impian. Kemudian, alinea keempat UUD 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdamaian abadi dan keadilan sosial.

Juga rasa-rasanya masih belum menggembirakan dalam penerapannya. Indonesia merdeka karena kita bersatu, malah sekarang politik mencerai-beraikan persatuan itu. Pokok pikiran berdirinya Indonesia, sampai gagasan besar yang hendak direalisasikan rupanya masih terhambat.

Makna dan pokok pikiran dalam UUD 1945 begitu universal memuat bagaimana ambisi Negara yang harus diwujudkan pemerintah. Lagi pula isi dari teks UUD 1945 itu tak bisa kita anulir. Hanya saja pemerintah kita jarang mengayatinya untuk kemudian dibumikan. Tidak boleh sekedar dibaca.

Koloni atau tanah jajahan yang dikuasai Negara lain masih terjadi di Indonesia. Kekuatan di kancah politik juga sebagian besar masih di kendalikan pemodal. Ruang jejaring mereka kuat. Mereka malah bertumbuh-kembang, sehingga kekuatannya semakin membesar. Politik akhirnya mulai didominasi mereka.

Periode dekolonisasi rupanya masih tersandera. Indonesia belum benar-benar merdeka 100 persen seperti yang diharapkan Tan Malaka. Sampai kapan lagi ambisi Negara berhasil diejawantahkan?. Kalau hari ini pemerintah menjelma menjadi penyelamat bagi masuknya investasi Asing.

Alhasil kepentingan perusahaan Asing berada diurutan pertama, kesejahteraan rakyat menjadi nomor kesekian. Sumber daya alam kita masih dikelola secara serampangan. Pemerintah terlalu baik dan jinak pada pemodal Asing. Sementara rakyat kita tidak mendapat perhatian serius.

Tapal-batas kebudayaan kita pun mulai tergerogoti. Masuknya budaya Barat atau infiltrasi budaya membuat rakyat Indonesia termanjakan dengan rasana teknologi dan informasi. Internet menyodorkan sebuah 'tradisi baru' yang membuat ketahanan budaya kita mulai hilang berlahan.

Selain itu, menggurita pula agenda penyanjung pemikiran dan produk barat. Kita berbangga menggunakan sesuatu yang diproduksi Asing, ketimbang membanggakan hasil karya pribumi. Silahkan dicek situasi tersebut di tengah-tengah rakyat kita. Pola hidup modern serba instan membuat kualitas rakyat Indonesia terjungkal.

Negeri kita tidak merdeka lagi. Kita sudah menjadi negeri jajahan kembali, kata Taufik Ismail dalam puisinya yang berjudul 'Negeriku Sedang Dilahap Rayap'. Selamat datang zaman kolonialisme baru. Hampir paripurna kita menjadi bangsa porak-poranda, terbungkuk dibebani hutang, kata Taufik Ismail.

Ancaman kita sebetulnya adalah pada kapitalisme dan komunisme. Jangan dikaburkan. Yang kemudian merembet kepada memusuhi para tokoh-tokoh agama dengan tuduhan tertentu. Pemerintah tidak boleh mengacaukan cara pandang rakyat dalam bernegara.

Mari kita perkuat demokrasi dengan menerapkan kesetaraan, persaudaraan dan menghormati kebebasan. Jangan lagi ada penyumbatan hak-hak bicara dari rakyat. Pembubaran Ormas juga begitu, tidak perlu lagi dilakukan. Karena itu memperburuk citra demokrasi kita di era pemerintahan Jokowi.

Demokrasi harus dipandu pemerintah. Agar tidak lagi melahirkan tragedy. Sebetulnya, seperti yang disampaikan Rocky Gerung, bahwa demokrasi itu pemerintahan akal melalui orang. Berhentilah membuat logika publik dalam melaksanakan demorkasi makin tumpang-tindih. Cari solusi yang tepat, jangan buat demokrasi berhenti berjalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun