Prof. Salim Said, Ahli Tata Negara menyebutkan 'maafkan Jokowi'. Apa alasan beliau? di antaranya karena Jokowi tidak belajar ilmu politik. Jokowi hanyalah korban saja. Jokowi rupanya terseret, disandera kepentingan para debt collector politik. Komentar Guru Besar tersebut menarik.
DALAM cuplikan dialog di TV One, lewat acara ILC.Mengantar saya untuk menulis. Sebetulnya sederhana kalau kita mentracking, dan menganalisa pengetahuan Presiden Jokowi. Dengan kemajuan Indonesia saat ini. Jokowi memang bukan aktivis parlemen jalanan (demonstran). Bukan aktivis mahasiswa Cipayung. Tidak terkenal seperti yang lain.
Tapi setelah berkarir di politik, bekas tukang mebel ini menjadi amat terkenal. Tentu Jokowi besar, tak lepas dari peranan media massa. Pria yang tidak dibesarkan secara matang dari organisasi perkaderan ini, tampil mula-mula dengan citra kesederhanaan. Jokowi ditampilkan dengan sosok merakyat.
Padahal merakyat, bukan soal penampilan semata. Publik pun mulai melahirkan simpati terhadap politisi kalem ini. Bukan alumnus peserta pelatihan berjenjang saat berstatus mahasiswa. Juga bukan lulusan Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Kini karir Jokowi mencapai puncak. Jadilah ia Presiden 2 periode. Â
Kiprah Joko Widodo, Presiden Indonesia ke-7 ini terbilang gemilang. Di pusaran panggung politik ia mendapat momentum tepat. Di luar dari kekurangannya, Jokowi tetaplah Presiden Indonesia. Presiden kita yang layak diapresiasi dan dikritik. Perkataan Prof. Salim Said terkait pikiran Jokowi menohok dan elegan.
Bagi saya, telah terkonfirmasi juga bahwa ragam kebijakan Jokowi sepertinya masih jauh dari perencanaan yang matang. Gagasan besar Jokowi yang harusnya menjadi cermin pembangunan, tidak nampak. Jokowi juga terlihat bagai Presiden yang kekurangan kosakata. Entahlah, apakah karena hanya doyan membaca komik.
Atau malas membaca sama sekali soal politik. Sering kita temui, sebagian politisi dibesarkan dari politik praktis. Jarang bersentuhan dan melewati kebiasaan literasi politik. Mereka menjadi politisi yang mengandalkan pengalaman lapangan. Lantas dari sisi konseptual, begitu minim. Jadilah mereka politisi robot yang mudah dikendalikan.
Kehadiran Jokowi mula-mula dari Wali Kota Solo. Kemudian Gubernur DKI Jakarta, di saat menjabat Gubernur tiba-tiba melompat maju menjadi kontestan Pilpres. Terpilihlah Jokowi periode pertama (2014-2019). Presiden yang murah senyum, berpenampilan standar. Lalu, kebijakannya merakyat?
Tidak semua. Tol di bangun, tetap untuk kepentingan komersialisasi. Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga tidak semuanya disubsidi pemerintah. Sebagian besar rakyat tidak tercover. Jikalau tercover subsidi, hanya peserta BPJS Kesehatan kelas III.
Bahan Bakar Minyak (BBM) juga tetap dinaikkan harganya. Melambung, tidak murah bagi rakyat ekonomi lemah. Bukan berlebihan, program gratisan dan berkualitas belum dirasakan menyenangkan rakyat. Semua indikator kegagalan pemerintah Jokowi, termasuk di periode ke-2 juga tak lepas dari pengetahuan politiknya.
Faktor kesadaran berpolitik juga menunjang Jokowi untuk berpikir mandiri. Berani mengambil resiko. Berani keluar dari dikte orang-orang di sekitarnya. Kelihatannya, di era Jokowi dominasi geng politik yang cukup kental. Di parlemen (DPR RI dan DPD RI), masih dikuasi faksi politik Jokowi. Mereka yang mendukung pemerintahan.
Apa jadinya?, apakah sekedar menang dukungan. Kemudian, rakyat dibiarkan tercekik karena kebijakan yang tidak menunjang pertumbuhan kehidupan rakyat.
Trah politik Jokowi juga sedang tumbuh subur. Anaknya, Gibran terpilih menjadi Wali Kota Solo. Menantunya, yakni Bobby Nasution unggul di Pilkada Kota Medan. Tidak main-main, itu kondisi faktual bahwa Jokowi sedang membangun politik dinasti.
Politisi yang dulunya dianggap lugu itu bagai primadona, ternyata juga dicurigai menjadi antek-antek kaum borjuis. Para cukong, penyandang dana besar diduga kuat mendukung, berada di belakang Jokowi. Atas kekuatan itulah, ia selalu menang dalam tiap pertarungan politik.
Hitungannya sekarang, kerabat dekat (anak-anak) yang bertarung menjadi Wali Kota, beruntung. Kenapa tidak, karena Jokowi masih menjadi Presiden Indonesia. Tentu sulit mereka menang jika posisi Jokowi bukan lagi Presiden. Bisa dikata ini ilmu aji mumpung, yang digunakan anak-anaknya.
Mereka lihai memanfaatkan kesempatan. Kalau menggunakan nalar politik Jokowi, anak-anak Presiden Soeharto di massa itu pasti menjadi Gubernur atau Bupati/Wali Kota. Berbeda taraf dan kelas berfikir ternyata. Jokowi haruslah banyak-banyak belajar dari para Presiden Indonesia terdahulu. Agar menjadi negarawan.
Tidak terproduksi menjadi politisi karbitan. Terhindarkan dari tudingan politisi boneka. Presiden Jokowi harus menjadi lebih mandiri dan punya prinsip dalam memajukan Indonesia. Kita sedih, jika Jokowi diteriaki petugas partai. Rakyat memerlukan Presiden yang tegas, punya kewibawaan.
Ketika diamati, pijakan Jokowi masih rapuh. Berbeda tentu dengan Bang Akbar Tanjung, Megawati, SBY, Jusuf Kallah, Amien Rais, Anies Baswedan, dan para Ketua Umum parpol lainnya. mereka mempunyai barisan pendukung (kader) yang mengakar.
Tokoh-tokoh politik lain punya backround, dan itu menjadi basis setidaknya. Seperti NU, Muhammadiyah, HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI, KNPI dan seterusnya. Jokowi pernah terdeteksi dibesarkan di ormas atau organisasi kemahasiswaan mana. Â
Pondasi kesadaran politiknya terbangun saat dirinya terjun ke politik praktis. Kemampuan Jokowi menjadi Presiden karena pengaruh oligarki, bisa jadi itu. Jadi lebih rakus lagi Jokowi bila bertemu dengan para makelar politik. Yang tampil bagai drakula.
Makelar memang tidak pernah ketinggalan dalam tiap musim politik. Mereka piyawai mengkapitalisasi potensi. Lanjut, Prof. Salim Said juga dalam kesempatan yang lain, tegas mengatakan bahwa Indonesia tidak maju, karena Tuhan pun tidak ditakuti.
Sekali lagi, kita desak Jokowi agar benar-benar menjadi Imam Besar rakyat Indonesia. Mampu menuntaskan segala permasalahan bangsa ini, tidak melakukan dikotomi terhadap rakyat. Jokowi perlu membaca lagi literature-literatur politik agar menjadi cahaya yang menerangi ruang politik kita di tanah iar Indonesia.
Akhirulkalam, maafkan Presiden Jokowi. Karena ketidaktahuannya soal belantara politik yang penuh dengan binatang-binatang buas. Kita doakan Jokowi segera sadar. Kembali mengabdi 100 persen untuk rakyat Indonesia. Jangan sedikitpun ruang yang ia sediakan untuk membangun bangsa-bangsa lain. Hanya untuk Indonesia, Jokowi berkhidmat.
Memaafkan ia, tapi bukan berarti kita biarkan Jokowi terus-menerus diambang kegagalan yang akut. Publik harus kagetkan beliau, agar mendengarkan keluhan juga kritik demi memajukan Indonesia. Masih ada waktu, Jokowi bisa menata ulang kewarasan pembantunya. Jangan beri ruang kepada orang-orang lama yang selalu monopoli dan buat sensasi.
Indonesia tak akan maju, jika orang-orang lama tersebut masih setia dipakai Jokowi. Kiranya Jokowi lebih percaya diri lagi sebagai Presiden. Tentu semua ada kekurangan dan kelebihannya dalam menata sistem. Peremajaan dan penyegaran aktor menjadi poin penting. Agar Jokowi mengakhiri jabatan dengan husnul khatimah, maka berbuatlah yang baik.
Maafkan Jokowi jika ia lebih mengutamakan anak-anaknya menjadi Kepala Daerah. Seperti itulah kemampuan memahami politik yang diketahui Jokowi. Jangan mengutuknya, kita memberi doa agar segera Jokowi menaruh skala prioritas sebagai Presiden. Dimana yang perlu ditamakannya ialah rakyat Indonesia. Karena dari rakyatlah ia digaji, dan diberi fasilitas super mewah.Â
Berilah maaf ketika Jokowi masih menerapkan nepotisme. Penyakit yang melingkarinya. Ini tidak perlu dicontoh publik. Jutaan alasan untuk menutupi sikap nepotisme itu tak akan mampu ditutupinya. Tetaplah itu praktek nepotisme yang telanjang. Saat anak-anaknya maju di Pilkada 2020. Sekali lagi, maafkan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H