Apa jadinya?, apakah sekedar menang dukungan. Kemudian, rakyat dibiarkan tercekik karena kebijakan yang tidak menunjang pertumbuhan kehidupan rakyat.
Trah politik Jokowi juga sedang tumbuh subur. Anaknya, Gibran terpilih menjadi Wali Kota Solo. Menantunya, yakni Bobby Nasution unggul di Pilkada Kota Medan. Tidak main-main, itu kondisi faktual bahwa Jokowi sedang membangun politik dinasti.
Politisi yang dulunya dianggap lugu itu bagai primadona, ternyata juga dicurigai menjadi antek-antek kaum borjuis. Para cukong, penyandang dana besar diduga kuat mendukung, berada di belakang Jokowi. Atas kekuatan itulah, ia selalu menang dalam tiap pertarungan politik.
Hitungannya sekarang, kerabat dekat (anak-anak) yang bertarung menjadi Wali Kota, beruntung. Kenapa tidak, karena Jokowi masih menjadi Presiden Indonesia. Tentu sulit mereka menang jika posisi Jokowi bukan lagi Presiden. Bisa dikata ini ilmu aji mumpung, yang digunakan anak-anaknya.
Mereka lihai memanfaatkan kesempatan. Kalau menggunakan nalar politik Jokowi, anak-anak Presiden Soeharto di massa itu pasti menjadi Gubernur atau Bupati/Wali Kota. Berbeda taraf dan kelas berfikir ternyata. Jokowi haruslah banyak-banyak belajar dari para Presiden Indonesia terdahulu. Agar menjadi negarawan.
Tidak terproduksi menjadi politisi karbitan. Terhindarkan dari tudingan politisi boneka. Presiden Jokowi harus menjadi lebih mandiri dan punya prinsip dalam memajukan Indonesia. Kita sedih, jika Jokowi diteriaki petugas partai. Rakyat memerlukan Presiden yang tegas, punya kewibawaan.
Ketika diamati, pijakan Jokowi masih rapuh. Berbeda tentu dengan Bang Akbar Tanjung, Megawati, SBY, Jusuf Kallah, Amien Rais, Anies Baswedan, dan para Ketua Umum parpol lainnya. mereka mempunyai barisan pendukung (kader) yang mengakar.
Tokoh-tokoh politik lain punya backround, dan itu menjadi basis setidaknya. Seperti NU, Muhammadiyah, HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI, KNPI dan seterusnya. Jokowi pernah terdeteksi dibesarkan di ormas atau organisasi kemahasiswaan mana. Â
Pondasi kesadaran politiknya terbangun saat dirinya terjun ke politik praktis. Kemampuan Jokowi menjadi Presiden karena pengaruh oligarki, bisa jadi itu. Jadi lebih rakus lagi Jokowi bila bertemu dengan para makelar politik. Yang tampil bagai drakula.
Makelar memang tidak pernah ketinggalan dalam tiap musim politik. Mereka piyawai mengkapitalisasi potensi. Lanjut, Prof. Salim Said juga dalam kesempatan yang lain, tegas mengatakan bahwa Indonesia tidak maju, karena Tuhan pun tidak ditakuti.
Sekali lagi, kita desak Jokowi agar benar-benar menjadi Imam Besar rakyat Indonesia. Mampu menuntaskan segala permasalahan bangsa ini, tidak melakukan dikotomi terhadap rakyat. Jokowi perlu membaca lagi literature-literatur politik agar menjadi cahaya yang menerangi ruang politik kita di tanah iar Indonesia.