Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Bahkan cenderung PJJ merugikan bagi siswa atau mahasiswa. Untuk kelas Perguruan Tinggi saja, pelaksanaan kuliah virtual atau PJJ rasanya tidak menghasilkan manfaat yang berarti.
BEGITU tidak akomodatif prosesMenurutku generasi kita kedepannya akan menjadi penyembah teknologi. Bukan tanpa alasan, lihat saja aktivitas pendidikan kita sekarang yang berkiblat pada 'media baru'. Semuanya. Terlebih sistem perkuliahan di musim pandemi Covid-19.
Bagaimana dengan kasus siswa atau mahasiswa yang tak mampu membeli quota internet?. Apakah pemerintah memberikan kompensasi. Berapa lama kompensasi dan dispensasi itu diberikan. Regulasinya juga harus diatur.
Sebaiknya proses belajar langsung atau luar jaringan (Luring) dilaksanakan. Tinggal jadwal teknisnya diatur saja. Daripada melakukan PJJ yang menghabiskan anggaran. Kemudian kurang tepat sasaran. Seseorang menjadi tidak serius jika mengikuti PJJ. Berbeda dengan pembelajaran Luring.
Pelajaran yang ditransmisi pengajar (dosen) melalui teknologi dampak positifnya kurang dirasakan pelajar (mahasiswa). Bagiku sistem belajar offline sudah saatnya dilaksanakan. Apalagi kita belum tahu kapan wabah Covid-19 ini berarti.
Jangan sampai kita hanya memperkaya pemilik atau pencipta aplikasi Zoom. Yang tiap waktu kita memanfaatkan jasanya untuk pertemuan Dalam jaringan (Daring). Pertemuan online itu sedikitbanyaknya melahirkan kerugian. Dilain sisi, Uang Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) atau Uang Kuliah Tunggal (UKT) tetap dibayarkan normal.
Tidak ada potongan untuk urusan itu. Jadinya, tidak adil alias miring. Antara hak dan kewajiban mahasiswa tidak berbanding lurus. Disinilah pembodohan pendidikan berkembang. Dari aspek manfaat pula, PJJ membuat generasi kita menjadi generasi instan.
Mereka walau tidak semua, akan malas berusaha. Malas berkeringat mencari referensi buku, mereka malah tertarik mengakses internet. Mencari literature di google. Dunia pendidikan kita jadinya seperti itu akhirnya. Tak melahirkan generasi ulet, yang etos kerjanya tinggi.
Generasi online jadinya. Proposal, Skripsi juga diuji dengan cara online. Sangat tidak berbobot. Bagaimana pun itu, sistem kendali melalui instrument Zoom Video punya keterbatasan. Berbeda dengan pertemuan Luring yang memberi kebebasan, keleluasaan berinteraksi.
Jadi iklim belajar yang muncul adanya dialektik. Saling berinteraktif, tidak monoton satu arah. Itulah sebetulnya pembelajaran yang produktif dan tepat. Rasa-rasanya pendidikan kita akan dibunuh dengan ketakutan kita terhadap Covid-19. Pemerintah harus inovatif, kreaktif, juga berani.
Percaya saja, para Sarjana di era Covid-19 akan berbeda jauh kualitasnya dengan Sarjana-sarjana pra Covid-19. Mereka yang bukan Sarjana online, akan lebih punya spirit belajar tinggi. Karena disaat ujian Proposal maupun Skripsi, mereka bertatap muka langsung dengan dosennya.
Sehingga mendorong mereka harus benar-benar menyiapkan diri. Menguasai materi yang disampaikan. Seterusnya juga punya stok keberanian mempresentasikan apa yang mereka tuliskan itu secara lugas kepada para Pembimbing dan Pengujinya.
Kenikmatan itu juga aku tahu pasti mau dirasakan para mahasiswa Sarjana Covid-19. Tapi karena kebijakan Perguruan Tinggi, membuat mereka yang menunaikan semua tugas-tugas Akhir Studi itu secara daring.
Ada sejumlah kekhawatiran yang melintas. Jangan sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Idonesia, Nadiem Anwar Makarim (NAM) terlibat konspirasi menghancurkan pendidikan kita. Latar belakang NAM sebagai pengusaha, pendiri Gojek.
NAM membuat kita curiga bahwa strategi yang diterapkannya di Gojek akan diterapkannya pula di dalam sistem pendidikan kita. Ketika itu terjadi, ini tanda bahaya. Sungguh membahayakan dan akan meruntuhkan sistem pendidikan kita yang telah mapan.
Perusahaan teknologi yang merambah Indonesia itu sukses dikelola NAM. Sesuai kompetensi, mestinya Presiden Jokowi tidak menatuh NAM mengurusi pendidikan di Indonesia. Sekarang belajar online hanya memberi keuntungan kepada pemilik Zoom Video dan pihak operator Telkomsel, provider yang paling terpopuler .
Belajar secara online berbeda penyerapannya dengan tatap muka langsung. Soal setting waktu dan tempat memang bebas. Hanya saja, proses berlangsungnya pembelajaran rasanya sulit melahirkan penyerapan pengetahuan yang memadai.
Dari sisi bisnis PJJ memberi keuntungan untuk pendapatan pemilik (CEO) Zoom Video Communications Inc, Eric Yuan. Dimana pendapatan Eric Yuan meningkat pesat beberapa kali lipat. Tentu Menteri NAM yang juga pengusaha menaruh perhatian pada peluang tersebut.
Peningkatan keuntungan drastisnya diraih saat pandemi Covid-19. Saat dilakukannya work form home. PJJ, belajar virtual, online, daring, e-learning dan sejenisnya itu. Darisinilah asset atau model pemilik Zoom bertambah. Akibat pandemi pemilik Zoom masuk daftar 100 orang terkaya di dunia (baca, media Suara.com, 28 Desember 2020).
Dari berita Kontan.id juga membeberkan kekayaan pemilik Zoom bertambah Rp. 61,2 Triliun cuma dalam beberapa jam (baca, Kontan.id, 1 September 2020). Di perguruan tinggilah opsional pendidikan itu berakhir, disinilah ujungnya. Setelah perguruan tinggi, taka da lagi. Berarti apa?, perlu sistem itu dirapikan.
Apakah ada commitment fee antara Menteri pendidikan dengan CEO Zoom Video?. Dikalkulasi saja, begitu banyak mahasiswa di kampus Negeri dan Swasta ini yang mengakses, menggunakan Zoom. Memang ada subsidi pemerintah untuk mengratiskan paket internet bagi sekolah dan perguruan tinggi, ini pun perlu diusut.
Berapa banyak dana yang diplot pemerintah untuk itu?, apakah sudah dialokasikan semuanya?. Kita harus kawal bersama, jangan sampai hanya menetes ke bawah hanya sebagian kecil dari anggaran itu. Sebab sudah ada buktinya, kita mengoleksi Menteri korup. Atas hal itu, wajib kita berwaspada.
Kita perlu menaruh curiga atas semua gerak-gerik para Menteri. Sikap Menteri NAM yang menyederhanakan pendidikan ini problem sebetulnya. Mengelola pendidikan, terlebih perguruan tinggi tidaklah mudah. Berdasarkan data tahun 2020, Indonesia memiliki 2.136 perguruan tinggi.
Jangan sampai institusi pendidikan menjadi lapak komersialisasi. Menteri NAM sejauh ini belum mampu menata-majukan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Malah yang ada, berdatangan sejumlah masalah. Di tengah kekurangan ekonomi rakyat karena Covid-19, lembaga pendidikan malah mengabaikan persoalan tersebut.
Tantangan juga bagi guru yang gagap teknologi, jika PJJ dipaksa untuk dilaksanakan. Presiden Jokowi, jangan terlalu percaya dengan kemampuan NAM. Harus mengecek ke lapangan, plus-minus dari program di tengah pandemi yang diluncurkan NAM. Apakah produktif, atau malah destruktif?.
Jawabannya, yang dilakukan NAM mengecewakan. Jauh dari harapan rakyat. Orangtua murid atau orangtua mahasiswa juga berharap agar di musin pandemi ini pemerintah memberi kemudahan. Bukan menambah beban kepada mereka yang sulit bertahan hidup. Mencari nafka di tengah ancaman Covid-19.
Pembodohan pendidikan aromanya mulai berlangsung. Metode homeschooling dan kelas online tidak dilepas begitu saja. Melainkan diprotesi ketat. Pelatihan dilakukan, lalu ditunjang dengan fasilitas pendukung yang memadai. Pemerintah harus menyiapkan semua itu. Jangan semua dibebankan kepada rakyat.
Rakyat Indonesia telah memasuki era Revolusi Digital. Yang mau ataupun tidak, era globalisasi telah membawa kita kesana. Menghadapi situasi itu, pemerintah harus sabar hati mendampingi dan mengedukasi rakyat. Pandemi Covid-19 melipat aktivitas rakyat, yang difasilitasi melalui teknologi informasi.
Fasilitas untuk rapat video conference memang mencakup Zoom, Google Meet, Hangouts Meet, Cisco Webex, Umetmee, GoToMeeting, Skype, Microsoft Teams, CloudX, dan yang lainnya juga. Meski begitu, Zoom video semakin digunakan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H