Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Geneologi HMI dan Risalah Pemikiran

4 Februari 2021   07:00 Diperbarui: 5 Februari 2021   08:27 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2012 selesai kuliah. Bulan mei 2021 genaplah 9 tahun aku menjadi alumni dari kampusku Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat). Masa kuliahku tidak begitu cepat. Studi diselesaikan kurang lebih 7 tahun. Beda dari mahasiswa berprestasi lainnya yang dapat menyelesaikan studi 3 tahun setengah.

Kebanyakan kawan-kawanku seangkatan, selesai studinya tepat 4 tahun. Tentu alasannya aku malas ikut kuliah di ruang kelas. Lebih bebas dan nyaman di kantin kampus. Waktu itu, prinsipku yang wajib itu belajar mencari ilmu. Bukan kuliah. Ini sepenggal ceritaku, ringkasnya saja. Jika diulas semua, pasti panjang.

Kuliah hanya sekedar menjalankan rutinitas, mirip 'ritual' untuk menjalankan perintah orangtua. Selebihnya, tempat untuk 'pamer', pikirku waktu itu. Yang paling utama bagiku, ialah bagaimana menjadi intelektual. Melatih diri agar ulet membaca buku, berdiskusi, lalu menulis.

Akhirnya aku memutuskan belajar di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI 'garis keras'). Aku terjebak di jalan yang benar. Kampus alternatif yang membesarkanku. Mengajariku banyak hal. Yang mendidik dan menggemblengku tentang aktivisme. Aku belajar bagaimana menjadi aktivis.

Terjun sebagai aktivis mahasiswa telah menjadi niat dan cita-citaku sejak dibangku SMA. Beberapa mimpi yang sejak di SMA, Alhamdulillah sudah kucapai saat menjadi mahasiswa. Aku bersedia berjuang, hemat makan. Abaikan penampilan, tidak hedon. Dapat uang pemberian orangtua, kubelikan buku.

Maklum, semenjak SMA aku pernah bandel. Akulah siswa yang bangga melanggar peraturan sekolah. Pakain seragam sekolahku compang-camping. Ke sekolah suka terlambat. Pendeknya, aku tidak disiplin. Targetku waktu itu, adalah mau menjadi yang berbeda.

Ketika ada perkelahian antar siswa, pasti aku tak pernah absen. Terbilang terdepan dalam urusan tawuran. Aku memang paling malas melihat orang-orang yang 'sok alim'. Sejak dulu. Penyuka hal-hal sederhana, menghindari dari yang rumit-rumit.

Sepertinya tradisi pemalas di SMA harus rela kulepas. Ketika mengemban status mahasiswa, banyak hal yang harus mampu kuadaptasikan. Menjadi disiplin, berbenah dan giat belajar. Harus cerdas, pandai bergaul, terampil bicara, dan juga menulis.

Sejak Semester 1 di ruang perkuliahan. Satu persatu komitmenku mulai dicicil, terwujud. Meski tertatih-tatih, aku harus kompromi dengan kebiasaanku yang baru. Semua itu demi pembaharuan dalan diri, motivasiku begitu.

Langkah kakiku mulai diayun. Lama-kelamaan aku terbiasa menjadi kaum pembelajar. Niatku kokoh, bahwa aku harus lebih baik. Berbagai cara dilakukan untuk menegosiasikan 'keras kepalaku'. Apapun itu, kini aku telah menjadi mahasiswa dan jadi kebanggan papa-mama di rumah.

2005 aku ingat betul saat mengikuti pengkaderan Basic Training (Bastra) atau Latihan Kader 1 (LK I) HMI. Bertempat di Masjid Ulil Albab kampus Unsrat Manado. Disanalah awal mula penggodokan dimulai. Luluh-lantahlah kesombonganku. Seperti praktik 'cuci otak', aku dimentoring seorang senior hebat. Disiplinnya minta ampun.

Pikiran apatisku dibabat habis. Aku tak boleh diam. Harus rajin belajar, karena punya tanggung jawab sosial sebagai kaum akademis. Kaum terdidik yang patut meletakkan semangat pada moral force.

Di fase inilah aku kenal ungkapan tak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Dari perubahan itulah, aku dikenalkan tentang konsekuensi-konsekuensi logis dari pilihan. Yang harus dengan senang hati diterima sebagai pilihan sadar.

Alasanku masuk HMI, juga masih membekas. Segar dalam ingatakanku. Ketika ditanya, pemateri saat LK I, apa alasanmu masuk HMI?. Aku singkat dan gugup menjawab, karena diajak senior untuk ikut. Disini ada makan-makan gratis. Begitu polos dan lugu kujawab.

Kenapa takut, dan harus membual dengan jawaban. Memang begitu ajakan seniorku di kampus FISIP agar ikut HMI hanya dengan iming-iming makan gratis. Keren juga.

Setelah aku resmi menjadi kader HMI. Mulai terada ada lompatan, alasan merekrut calon kader HMI kumantapkan. Agak sedikit kreatif, inovatif, intelektual dan kedengaran berkelas. Ahay, setidaknya supaya ada nilai plus.

Aku mengajak teman dan adik-adik mahasiswa untuk gabung HMI dengan menyodorkan alasan bahwa di HMI anda bisa mendapat ilmu. Tambahan pengetahuan. Banyak buku-buku referensi bagus yang dimiliki senior. Yang belum kita dapat di kampus (ruang kelas), dapat kita peroleh di HMI.

HMI menyediakan banyak hal. Anda boleh lihat banyak tokoh bangsa ini lahir dari rahim HMI. Kita digodok menjadi orator ulung. Singa podium, analis handal. Bisa menjadi konseptor, menjadi arsitek, ekonom. Menjadi penulis hebat, insiator, menjadi filosof. Banyak hal yang anda temukan jika berHMI.

Menjadi politisi matang, cendekiawan, juga bisa menjadi 'broker' sesuai pilihan masing-masing. HMI menyiapkan semua itu. Dari HMI tumbuh para budayawan, seniman, pendidik. Pemikir liberal, moderat, fundamental ekstrimis, ada di HMI. Disinilah rimbah kaum intelektual muda berkiprah. 

Bahkan banyak istilah, satire sampai gimik kita koleksi di HMI. Begitulah kaum kreatif minority. Kami menjadikan himpunan sebagai wadah kekeluargaan yang menyatukan. HMI memang begitu mengakar, mendarah daging dalam denyut darah kadernya.

Kader-kadernya militan. Independen, hanya takut pada Tuhan, bukan pada manusia. Loyal juga berdedikasi, HMI mengajarkan itu. Terlebih mereka yang idologisasinya dimantapkan melalui Intermediate Training (LK II), Senior Course (SC) dan Advance Training (LK III). Sekolah-sekolah kader berjenjang juga ada di HMI.

Kurikulum HMI begitu ketat, tapi relevan. Itu sebabnya, tidak mudah menjadi Ketua Umum Komisariat, Ketua Koordinator Komisariat (KORKOM), Ketua Umum Cabang, Ketua Badan Koordinasi (BADKO) dan Ketua Umum PB. Semua diatur kriterianya. Kadernya kompetitif, bicara kosong tapi selalu berlandaskan teori. Tidak asal-asalan.

Di lautan HMI kita diberi bekal tentang keislaman dan keindonesiaan. Secara komprehensif, HMI tidak anti dialog. Pergerakan kemahasiswaan, sejarah pemikiran, gerakan intelektual dan model-perlawanan diajarkan disini.

HMI terus eksis karena pikiran-pikiran luhurnya. Bagi kader HMI, gagasan dan kesadaran intelektual merupakan modal besar bagi manusia. Bukan kekayaan atau jabatan. Kita lebih mendahulukan orang-orang berilmu. Bukan orang kaya raya.

Dari gemblengan menjadi peserta saat pelatihan sampai menjadi pemandu (moderator). Lalu menjadi pemateri (instruktur), semua diajarkan. Kader-kader diasah pikirannya untuk berfikir kritis dan radikal. Tidak tumpul menganalisis kondisi sosial.

Panggung sejarah HMI yang adalah organisasi mahasiswa Islam tertua ini menorehkan peranan penting untuk pembangunan Indonesia. Kader-kader dan Alumninya (KAHMI) terlibat aktif berkontribusi memberi warna terhadap bergeraknya peradaban manusia di Indonesia. Bahkan dunia. HMI yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947 itu diprakarsai Lafran Pane.

 Bersama 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam, sekarang Universitas Islam Indonesia, organisasi yang telah mencetak begitu banyak kader bangsa ini berkembang pesat. Di berbagai sektor pembangunan kader HMI terdistribusi. Mereka mengabdi untuk Islam dan Indonesia tercinta.

Tak terasa kini usia HMI telah menginjak 74 Tahun. Tepatnya, Jumat 5 Februari 2021 besok HMI akan merayakan milad. Pada usia yang tidak mudah itu, kita harapkan HMI makin mandiri dan mapan. Menjadi organisasi pemersatu, menjadi rumah besar kaum aktivis Islam dan aktivis Indonesia. HMI dapat keluar dari konflik-konflik yang tidak produktif.

Polarisasi HMI dan dualisme biarlah terjadi di Padang tanggal 24-31 Meret 1986. Itulah patahan sejarah HMI. Kongres HMI XVI di Padang, Sumatera Barat itu melahirkan kontradiksi yang luar biasa. Menolak dan menerima asas tunggal, menjadi tema krusial dalam Kongres.

Dalam sejarahnya, bahkan PKI di tahun 1965 melalui DN Aidit memprovokasi agar HMI dibubarkan. Kata DN Aidit, jika tidak bisa membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung saja. Bahkan tekanan pemerintah untuk penerapan asas tuggal dilakukan, HMI tetap kuat dan solid. HMI begitu mengakar, dan punya gagasan besar. Itu sebabnya, sangat sulit dibubarkan.

Tegas dalam sejarah HMI bahwa ada dua tujuan dasar dibentuknya HMI, yaitu (1) untuk mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; (2) untuk menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.

Sebagai upaya mencapai tujuan itu, HMI membentuk struktur organisasi terutama untuk menghadapi dan mengatasai hambatan organisasi. Organisasi HMI terdiri dari atas lima struktur, yaitu: (1) struktur kekuasaan; (2) struktur pimpinan; (3) lembaga-lembaga khusus; (4) lembaga kekaryaan.

 Ada pula majelis pertimbangan organisasi. Struktur kekuasaan dipegang oleh Forum Kongres, Konferensi Cabang (Konfercab) serta Rapat Anggota Komisariat (RAK). Sedangkan struktur pimpinan terdiri atas Pengurus Besar (PB), Pengurus Cabang (PC), serta Pengurus Komisariat (PK).

Bersyukurlah aku, sempat terwujud beberapa impianku ketika menjadi mahasiswa. Pernah dipercayakan menjadi Ketua Umum memimpin organisasi Intra kampus. Juga di organisasi eksternal kampus, aku mendapat kesempatan menjadi Ketua Umum di HMI 'garis keras'. Semua itu Insya Allah menjadi amal ibadah.

Kini aku mulai dapat kesimpulan soal HMI. Bahwa ternyata, HMI menjadi tempat melatih diri. HMI kita diajarkan saling merangkul, juga bertarung. Daya juang dan dedikasi kita dilatih. Tak ada sesuatu yang instan di HMI. Untuk memulai proses kecil saja kita harus berani. Harus punya kemauan dan mental juang yang membaja.

Tak boleh malu-malu menjadi kader HMI. Apalagi malu-maluin. Di HMI kita dibiasakan menghormati proses. Kemudian kita juga dibina agar melakukan hal-hal secara baik dan benar. Tak boleh menghalalkan segala cara demi tujuan tertentu. Walau sering kali kita temukan anomali dalam praktek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun