Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pelita Keadilan, Sebuah Sketsa

2 Februari 2021   20:24 Diperbarui: 2 Februari 2021   22:05 1514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Praktek hukum kita (Foto Sketsaunmu.co)

Mekarnya keadilan kita hanya berada di bawah genggaman kekuasaan. Selepas itu, keadilan menjadi barang mewah. Kadang menjadi serupa berhala. Kenapa keadilan direduksi?, tentu kepentingannya untuk berlaku dominan. Yang menganut nalar itu kebanyakannya para elit-elit pemerintah. Mereka selalu merasa punya nilai lebih, dan harus diberlakukan istimewa.

Bagi mereka keadilan itu subyektif. Keadilan bisa dijadikan alat untuk merepresif orang lain. Entah siapa itu. Di tengah pengamatan keseharian, tidak sedikit 'keadian' melahirkan ketidakadilan. Keadilan mewujudkan ketidaknyamanan. Untuk meraih keadilan, tak jarang orang-orang harus bersikap munafik.

Menuding dan merasa paling bersih. Itu juga watak penguasa yang selalu kadang-kadang mereka ini merasa sudah bersikap adil. Fakta membuktikan lain, mereka sebetulnya peletak dasar tindakan destruktif terhadap keadilan. Bagi mereka yang merasa 'kuat', keadilan dijadikannya jajanan. Sesuatu yang dikomersilkan.

Lantaran itu, keadilan dibuatnya menjadi relatif. Adil menurut mereka, belum tentu adil menurut rakyat kebanyakan. Seperti juga ketidakadilan. Mereka merasa ketidakadilan terhadap dirinya adalah bencana dahsyat. Ketika ketidakadilan menghantam rakyat, mereka menilainya itu keadilan. Sungguh berbahaya.

Tafsir terhadap keadilan bahkan mau dimonopolinya. Mereka bahkan berusaha harus ada tafsir tunggul terhadap keadilan. Jika keadilan tafsir rakyat yang bertabrakan dengan kepentingannya. Pasti ditudingnya hoax atau menyebar kebencian terhadap pemerintah.

Sebetulnya, kemauan pemerintah itu selalu mau benar. Walau telah nyata-nyata mereka tidak adil terhadap rakyat. Mereka akan mati-matian mengajukan dalil yang menjelaskan kalau mereka telah berlaku adil. Keadilan hanya bermain di zona perdebatan. Sebelebihnya menjadi redup.

Korupsi masih menjadi penyakit kronis. Para koruptor yang dianggapnya kuat, pemerintah cenderung takut menyentuhnya. Berbeda ketika 'tabrakan hukum' terjadi di tengah rakyat, lalu melibatkan rakyat kecil. Pemerintah akan bertindak tegas, cepat dan tuntas memberikan penanganan. Memberi hukuman yang seberat-beratnya.

Sedangkan, para pelaku korupsi yang merugikan rakyat Triliunan Rupiah. Pemerintah masih saja, beralasan semua butuh waktu untuk diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku. Semua alasan itu dapat dibuat-buat. Soal lambat atau cepat dalam mengusut kasus hukum, tergantung stelan penegak hukum (pemerintah).

Para penegak hukum itu juga adalah alat, kaki tangan dan senjata pemerintah. Sehingga apapun itu, mereka tetap berada dalam kendali pemerintah (Presiden). Keadilan seharusnya bukan untuk dipertentangkan atau didebatkan. Bukan pula tercermin atau keluar dari mulut penguasa.

Lebih dari itu yakni bermutasi dalam kenyataan. Dari kata-kata menjadi perbuatan. Disitulah esensi keadilan. Percuma pemerintah bicara telah berlaku adil, bila kenyataan di lapangan ketidakadilan masih bertengger. Masih ada praktek pilih kasih dalam distribusi program pemerintah, itu tandanya keadilan belum merata. Keadilan masih tebang pilih dijalankan pemerintah kita.

Padahal keadilan itu pelita. Tugasnya menerangi bilik dan serambi hati rakyat. Pemerintah yang berlaku adil, akan menuai ragam dukungan positif rakyat. Begitu juga sebaliknya. Ketika pemerintah belum adil, rakyat akan membangkang. Partisipasi publik, sulit rasanya didapatkan pemerintah.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun