Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pelita Keadilan, Sebuah Sketsa

2 Februari 2021   20:24 Diperbarui: 2 Februari 2021   22:05 1514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Praktek hukum kita (Foto Sketsaunmu.co)

Karena jika kesana, sudah pasti anda membutuhkan pendampingan hukum. Dan itu tidak gratis. Jadi begitu akhirnya, orang-orang lemah makin sulit rasanya mendapatkan keadilan di Indonesia. Dalam dipembagian bantuan pemerintah, juga begitu. Keadilan berpihak pada keluarga penguasa dan koneksi.

Rakyat yang layak mendapat bantuan sekalipun, ketika tak punya konseksi pada kekuasaan dan lingkarannya, akan terancam mendapatkan bantuan tersebut. Tidak semua memang, namun kasus ini sering kita temukan. Pemerintah jangan tutup mata, jangan menutup kuping.

Segera turun kroscek lapangan. Sesungguhnya rakyat sangat membutuhkan keadilan. Tulisan indah yang kadang-kadang 'disakralkan' dalam Pancasila itu telah terseleksi ditengah rakyat. Bahwa ternyata keadilan belum benar-benar tegak. Pemerintah masih melihat keadilan secara terbatas.

Keadilan holistik yang dinantikan rakyat belum juga terwujud. Sebetulnya membumikan keadilan sudah tugas dan tanggung jawabnya pemerintah. Sila-sila dalam Pancasila belum dicicil secara lugas dan tuntas. Tambahlah etos kerja pemerintah untuk menyentuh keadilan di tingkat paling bawah.  

Ruang-ruang interaksi kita masih gelap dari keadilan pemerintah. Pelita keadilan begitu diharapkan. Cahaya terangnya menjadi mimpin indah semua rakyat Indonesia. Jangan sampai pemerintah apatis, dalam mewujudkan keadilan. Kenyataan tentang kerinduan meminta keadilan perlu disikapi pemerintah.

Buya Hamka pernah berpesan, betapa pun tajam pedang keadilan. Ia tidak memenggal kepala orang-orang yang tidak bersalah. Orang yang pernah merasakan penjara. Buya hamka pernah dipenjara tanpa melalui pengadilan, beliau difitnah. Meski begitu sosok yang satu ini tetap tegar lapang dada menjalani semuanya.

Menurut Buya Hamka, hati nurani adalah suatu badan keadilan yang keputusannya tidak dapat dibanding. Artinya bahwa sekuat apapun penguasa membungkam suara-suara keadilan, tidak akan mampu dilakukannya. Sebab, keadilan itu bermula dan tumbuh mengakar di dalam nurani tiap manusia.

Mungkin kasat mata kita melihat keadilan versi kebijakan pemerintah masih samar-samar. Berada dibayang-bayang rakyat, belum tegas menunjukkan keberadaannya. Tapi yakinlah, kelak keadilan akan lahir menghiasi aktivitas sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan meliputi multidimensi di tengah rakyat.

 Kemewahan Keadilan, Direduksi

Dalam perspektif kebijakan publik. Keadilan yang bersandar pada nilai universal, di Indonesia malah kurang mendapat tempat. Jika ada, itu hanya merambah segelintir orang semata. Selebihnya, keadilan seperti mimpin indah. Bermainannya hanya pada konteks ilusi. Nyatanya, begitu berjarak dengan.

Keadilan itu kemewahan bagi setiap manusia. Mari kita bedah kasus di lapangan, tidak sedikit rakyat mendambakan keadilan. Mereka 'menuntut' agar diperlakukan adil oleh pemerintah. Rakyat mendesak agar pelaksanaan hukum benar-benar bersifat egaliter. Realitasnya, malah tidak begitu. Keadilan direduksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun