Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ancaman Revolusi Konstitusi dan Nasib Demokrasi

3 Januari 2021   17:06 Diperbarui: 3 Januari 2021   19:45 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali ke topik Pemilu. Revolusi konstitusi yang sedang digarap ini memuat kurang lebih 3 opsi untuk waktu (tahun) pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Opsi (A), Pemilu Nasional dimulai Juni 2024 dan Pemilu Lokal dimulai Juni tahun 2022. Opsi (B), Pemilu Nasional dimulai Juni tahun 2024, kemudian Pemilu Lokal dimulai Juni 2026. Opsi (C), yakni Pemilu Nasional dimulai Juni tahun 2024, dan Pemilu Lokal dimulai Juni tahun 2024. 

Semua alternatif itu diajukan dengan catatan, pemerintah (DPR RI), akan mengambil model Pemilu Serentak berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVI/2019 yaitu Pemilu Serentak untuk Pemilihan Gubernur, serta Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.

Secara teknis Pemilu masih menggunakan 5 Kotak Suara (Memilih Partai politik, memilih Presiden/Wakil Presiden, memilih Anggota DPR RI, DPD RI, memilih Gubernur/Wakil Gubernur. Seterusnya memilih Bupati/Wakil Bupati, dan memilih Wali Kota/Wakil Wali Kota.

Skema Pemilu yang ditawarkan itu dapat dikalkulasi akan melahirkan pemborosan uang Negara yang cukup banyak. Belum lagi kontribusi konflik kepentingan yang menyebabkan dilakukannya sengketa Pemilu.

Saling gugat menggugat, penyelenggara Pemilu seperti KPU, Bawaslu dan DKPP tentu akan meminta anggaran tambahan untuk urusan tersebut. Pokoknya, demokrasi harusnya menjadi mesin yang produktif melahirkan kesejahteraan pada rakyat. Bukan membawa musibah.

Sistem demokrasi dicita-citakan membawa perbaikan nasib rakyat. Tidak membuat rakyat jelata menjadi gundah gulana. Begitu terkutuklah pemerintah (DPR dan Presiden), jika memaksakan formulasi Pemilu yang ternyata ini menjadi tameng, dan pintu masuk untuk mengamankan kepentingan kelompoknya. Lantas teriakan protes yang dilayangkan rakyat diabaikan.

Saya belum paham betul detailnya. Alangkah lebih efektifnya, mata rantai sistem Pemilu yang sudah diterapkan selama ini dimantapkan. Cara memantapkan dan mematangkannya ialah dengan  melakukan evaluasi besar-besaran. 

Evaluasi total, jujur dan professional atas nama Negara. Lalu, plus-minusnya diperbaiki. Diisi pemerintah. Kelemahan dibuatkan menjadi kekuatan. Aspek aktualisasinya perlu diawasi ketat.

Agar Presiden, sampai Menter-Menteri dan jajarannya dibawah, Wakil Rakyat dan Kepala Daerah bersama jajarannya tidak lagi terlibat korupsi. Tidak lagi menjadi tukang nyolong. Itu sederhananya. Disitu pula esensinya kita menggelar momentum Pemilu.

Bukan terfokus pada merubah siklusi Pemilu. Sistem saja diperkuat, sanksi dijalankan. Hal itu akan lebih produktif, ketimbang Pemilu dibuatkan menjadi dua segmen. Bahkan lebih telanjang lagi, jangankan diubah menjadi dua segmen Pemilu.

Lima atau tuju segmen sekalipun, jika pelaksana Pemilu dan stakeholdernya masih punya pemikiran curang, tetap saja kualitas Pemilu hancur berantakan. Rancangan Undang-Undang Pemilu yang disodorkan atau sementara dirumuskan itu bernuansa politis. Aromanya bukan lagi menyelamatkan demokrasi dari serbuan kaum kapitalis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun