Pemilihan Kepala Daeah (Pilkada) Serentak 2020 tentu tak lepas dari riak-riak. Problem yang menyertainya juga pasti ada. Politik memang selalu akrab dengan konspirasi kepentingan. Ada pula pengabaian hak-hak demokrasi. Terjadi praktek ingkar janji, sampai bermunculan pertarungan faksi-faksi dalam politik.
MENAKAR berlangsungnyaSeperti itulah keindahan demokrasi. Segala dinamika itu harus dibingkai dalam interaksi yang rukun. Terdapat rivalitas, tapi bukan bermusuhan secara absolut. Karena tak ada sesuatu yang abadi dalam praktek politik praktis. Pilkada Serentak 2020 di tengah penularan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) penting dicatat dalam lembar sejarah kita.
Bahwa nuansa Pilkada Serentak di era pandemi mempunyai kelemahan dan kekurangan tersendiri. Banyak larangan dilakukan dalam Pilkada kali ini, diantaranya larangan berkerumun. Larangan terhadap pemilih yang datang tanpa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Meski begitu, larangan-larangan tersebut juga sering kali dilanggar. Hal tersebut jika diinvestigasi, maka ditemukan kesimpulan karena kurang tegas dan beraninya jajaran Penyelenggara Pemilu (Pilkada), menegakkan aturan Protokol Kesehatan (Prokes).
Ketika kita berupaya mencicil satu persatu kejanggalan Pilkada Serentak 2020, secara otomatis dapat diungkap. Praktisi politik, akademisi dan para ahli yang mahfum soal politik pun mulai membeberkan data, bacaan mereka terhadap realitas politik kita di tanah air, konklusinya money politik masih merajalela kencang. Penyakit akut demokrasi kita masih dimenangkan praktek politik uang.
Yang nyata-nyata merupakan bentuk kecurangan Pilkada. Dimana secara kontitusional politik uang dilarang, diharamkan dalam praktek demokrasi. Ironisnya, eksekusi kebijakan untuk mengamankan agar praktek politik uang diberikan sanksi masih sangat jauh dari harapan kita semua. Bawaslu seperti macan ompong. Kasus tangkap tangan terhadap pelaku politik uang dan politik barang (paket sembako), sangat jarang kita temukan ditangani serius Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Padahal, realitanya telanjang di depan mata kita para tim sukses dan kader-kader partai politik mempraktekkan politik uang. Menyuap, memberikan iming-iming, menjanjikan pemilih dan memberikan mereka materi agar kandidat Kepala Daerahnya dipilih terjadi. Tanpa malu-malu Timses memberikan nasi kotak dengan uang kepada pemilih dengan ajakan dan komitmen memilih calon Kepala Daerah tertentu, seperti dibiarkan Bawaslu.
Menyedihkan, demokrasi kita akan mengalami kematian secara sistematik. Ini bukan soal siapa yang harus menang dalam kompetisi Pilkada. Tapi menyangkut nasib kebenaran dan keadilan dalam penerapan demokrasi. Demokrasi tidak semata-mata bicara hasil, melainkan proses. Dari proses yang benar, hasil demokrasi juga akan berkualitas. Substansi dan prosedural demokrasi harus saling terkait.
Kompleksnya dugaan pelanggaran dan kejanggalan ditanggapi penyelengara Pemilu hanya dengan dalil standar. Bahwa semua proses tahapan Pilkada, jika hasil atau prosesnya dipolemikkan, bisa dilakukan sesuai tingkatan. Jika permasalahannya di TPS, maka diselesaikan di TPS. Jika masalahnya di PPK (Kecamatan), diselesaikan di Kecamatan. Inilah yang menjadi problem serius kita. Jangan disederhanakan, argumentasi yang apologi seperti itu membuat demokrasi kita kian carut-marut.
Masalahnya kemudian, ketika problem di Pleno KPU Kabupaten/Kota tidak terselesaikan untuk pengambilan keputusan pasangan calon Bupati dan Wali Kota. Apakah ditake over KPU Provinsi?, ataukah ada aspirasi, saran dan protes (keberatan) saksi calon tertentu yang harus dikorbankan?. Demokrasi sebetulnya bukan sistem yang mendiskriminasi hak-hak orang lain. Sekali lagi bukan soal voting, melainkan soal nilai (value).
Aspek keadilan dalam Pilkada Serentak 2020, sepertinya menjadi momok. Dugaan kecurangan massif masih ada. Keberpihakan politik penyelenggara Pilkada kelihatannya terpotret dan disinyalir ada. Belum lagi praktek politik uang telanjang di depan. Tapi Bawaslu dan jajarannya seperti menutup mata. Apakah kita masih memerlukan Bawaslu untuk pencegahan kecurangan Pilkada?. Berdasarkam pantauan, Bawaslu lebih garang dan cekatan disaat Pleno penghitungan suara di KPU. Pencegahan dan penindakannya masih tergolong lemah.
Sedih, lembaga yang masa tugasnya 5 tahun, tapi kinerjanya semasa tahapan kampanye masih mengecewakan publik. Terlebih para pendukung kandidat yang laporan dan keberatannya tidak ditindaklanjuti Bawaslu. Mereka digaji Negara, namun kerja pengawasan dan pencegahan dini seperti orang yang impoten. Miris rasanya. Pemerintah perlu mempertimbangkan ulang masa periode Bawaslu yang 5 tahun ini. Supaya tidak mubazir, dipersingkat saja. Begitu pula dengan KPU, harus dievaluasi total.
Bermacam indikasi selisih suara ditingkat TPS, dilewatkan sampai Pleno Kecamatan di PPK. Lalu, tidak dicarikan solusinya secara demokratif, bijak dan transparan. Hingga akhirnya, permasalahan itu menumpuk di Pleno KPU tingkat Kabupaten/Kota. Sedihnya lagi, mekanisme mencari solusi atau pendekatan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) malah hanya menggunakan 'merubah' angka-angka. Tanpa disertai bukti yang akurat dan valid.
Alhasil, kecurigaan kandidat Kepala Daerah yang kalah bahwa penyelenggara Pemilu tidak netral dapat dibenarkan. Semestinya, form keberatan, segala keluhan yang ditempuh, disampaikan secara konstitusional ditindaklanjuti KPU. Jangan memproduksi alasan-asalan yang bersifat kamuflase. Pleno KPU bukan panggung untuk KPU melegalkan kesalahan. Melainkan, bagaimana menyandingkan data keberatan, mencari solusi secara transparan. Â Â
Jangan lagi menggunakan pendekatan secara serampangan. Bagaimana nasib demokrasi kita kedepan, kalau lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu bersikap partisan, dikendalikan partai politik tertentu?. Ini sungguh berbahaya. Karena kecurangan akan dilegalkan. Kejatahan demokrasi seharunya dilawan, bukan dilestarikan. KPU bersama Bawaslu harus kembali ke khittahnya. Lembaga yang bertugas menjaga marwah demokrasi, membebaskan demokrasi dari jebakan ini perlu mereorientasi pikirannya.
Tentu pada tujuan awal yakni menerapkan demokrasi yang jujur adil (Jurdil) dan langsung umum bebas rahasia (Luber). Demokrasi harus dimurnikan dengan politisasi terhadap lembaga penyelenggara Pemilu. Harus berani dibebaskan dari intervensi penguasa. Kejahatan demokrasi akan tumbuh subur, bila penyelenggara Negara masih berada dibawah bayang-bayang penguasa. Jangan lagi KPU dan Bawaslu menciptakan oligarki.
Yang pada akhirnya membuat kekacauan terhadap demokrasi. Rekayasa dan perubahan suara rakyat dilakukan secara apik, ini kekhawatiran yang harus dijawab lembaga penyelenggara Pemilu. Ketika tidak, maka distrust terhadap lembaga KPU dan Bawaslu akan terus-menerus terjadi. Keadilan Pilkada harus ditegakkan. Jangan keadilan diinjak-injak karena penguasaan modal maupun dominasi kekuasaan.
Logikanya, demokrasi akan melahirkan kepemimpinan populis, moralis dan futuristik, jika Pilkada berjalan adil. Tidak ada mutilasi keadilan. Begitu juga sebaliknya, demokrasi akan kotor, rusak serta berantakan, jika kecurangan masih dibiarkan. Disitulah kejahatan demokrasi menumbuhkan benih-benihnya. Demokrasi bersih umumnya dilahirkan dari aktor-aktor yang niat, pikiran dan perbuatannya bersih pula.
Mereka, baik itu penyelenggara Pemilu, calon Kepala Daerah dan elit politik yang rusak cara berfikirnya, akan selalu mengganggu demokrasi. Jika mereka merayakan Pilkada, sudah pasti dijalankan dengan cara-cara menghalalkan segala cara. Dalam benak pikiran mereka, kemenangan adalah orientasi utama. Soal jalan, pendekatan dan upaya melahirkan kemenangan tidak menjadi hal penting. Etika, moralitas diabaikan. Yang penting menang Pilkada.
Padahal demokrasi telah kita gadang-gadang sebagai jalan tengah. Menjadi solusi, paket komplit dari ideologi kapitalis dan sosialis. Sesalnya, itu baru sebatas meriah diwacana. Wacana tentang isu demokrasi di dunia Islam misalnya, sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Ada pihak yang menuduh demokrasi sebagai bid'ah politik yang tidak dikenal di dunia Islam dan sepenuhnya merupakan produk Barat yang sekular.Â
Akibatnya segala turunan hasil politik melalui mekanisme demokrasi dianggap salah dan menyimpang. Namun adapula pihak yang menerima demokrasi sebagai alat perjuangan politik Islam yang harus diterima dan dikawal sebagai mekanisme politik yang terbaik dibanding system lainnya yang ada. Negara Indonesia yang Pancasilais malah mengapresiasi demokrasi. Meyakini demokrasi dapat melahirkan 'jalan keselamatan'.
Harapan kita agar Pilkada Serentak 2020 menghidupkan demokrasi, rupa-rupanya belum terlahir. Kejujuran, keadilan, keterbukaan, ketaatan terhadap regulasi belum memuaskan semua pihak. Malah yang ada, dugaan kecurangan meluas. Pemangkasan terhadap hak-hak demokrasi masih terjadi. Intimidasi dan bujukan atas nama kepentingan tertentu menjadi senjata andalan pihak yang merasa punya kekuatan sumber daya.
Sebagian rakyat berjuang menuntut keadilan, tapi dikalahkan dengan voting. Kondisi itu tercermin dalam pleno KPU. Manakala, sebagian pasangan calon Kepala Daerah bersepakat untuk tidak mengubris keluhan dan keberatan pihak saksi lain, maka atas alasan suara terbanyak keberatan itu dilewatkan. Cara ini sama saja dengan praktek merusak demokrasi. Aspirasi, saran maupun masukan tidak diakomodir. Demokrasi disetting seperti instrumen menjegal aspirasi atau kepentingan pihak tertentu. Begitu diskriminatif jadinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H