Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Keadilan Pilkada dan Kejahatan Demokrasi

18 Desember 2020   15:47 Diperbarui: 19 Desember 2020   09:50 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, demokrasi jalan damai (Foto Tokopedia.com)

Bermacam indikasi selisih suara ditingkat TPS, dilewatkan sampai Pleno Kecamatan di PPK. Lalu, tidak dicarikan solusinya secara demokratif, bijak dan transparan. Hingga akhirnya, permasalahan itu menumpuk di Pleno KPU tingkat Kabupaten/Kota. Sedihnya lagi, mekanisme mencari solusi atau pendekatan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) malah hanya menggunakan 'merubah' angka-angka. Tanpa disertai bukti yang akurat dan valid.

Alhasil, kecurigaan kandidat Kepala Daerah yang kalah bahwa penyelenggara Pemilu tidak netral dapat dibenarkan. Semestinya, form keberatan, segala keluhan yang ditempuh, disampaikan secara konstitusional ditindaklanjuti KPU. Jangan memproduksi alasan-asalan yang bersifat kamuflase. Pleno KPU bukan panggung untuk KPU melegalkan kesalahan. Melainkan, bagaimana menyandingkan data keberatan, mencari solusi secara transparan.   

Jangan lagi menggunakan pendekatan secara serampangan. Bagaimana nasib demokrasi kita kedepan, kalau lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu bersikap partisan, dikendalikan partai politik tertentu?. Ini sungguh berbahaya. Karena kecurangan akan dilegalkan. Kejatahan demokrasi seharunya dilawan, bukan dilestarikan. KPU bersama Bawaslu harus kembali ke khittahnya. Lembaga yang bertugas menjaga marwah demokrasi, membebaskan demokrasi dari jebakan ini perlu mereorientasi pikirannya.

Tentu pada tujuan awal yakni menerapkan demokrasi yang jujur adil (Jurdil) dan langsung umum bebas rahasia (Luber). Demokrasi harus dimurnikan dengan politisasi terhadap lembaga penyelenggara Pemilu. Harus berani dibebaskan dari intervensi penguasa. Kejahatan demokrasi akan tumbuh subur, bila penyelenggara Negara masih berada dibawah bayang-bayang penguasa. Jangan lagi KPU dan Bawaslu menciptakan oligarki.

Yang pada akhirnya membuat kekacauan terhadap demokrasi. Rekayasa dan perubahan suara rakyat dilakukan secara apik, ini kekhawatiran yang harus dijawab lembaga penyelenggara Pemilu. Ketika tidak, maka distrust terhadap lembaga KPU dan Bawaslu akan terus-menerus terjadi. Keadilan Pilkada harus ditegakkan. Jangan keadilan diinjak-injak karena penguasaan modal maupun dominasi kekuasaan.

Logikanya, demokrasi akan melahirkan kepemimpinan populis, moralis dan futuristik, jika Pilkada berjalan adil. Tidak ada mutilasi keadilan. Begitu juga sebaliknya, demokrasi akan kotor, rusak serta berantakan, jika kecurangan masih dibiarkan. Disitulah kejahatan demokrasi menumbuhkan benih-benihnya. Demokrasi bersih umumnya dilahirkan dari aktor-aktor yang niat, pikiran dan perbuatannya bersih pula.

Mereka, baik itu penyelenggara Pemilu, calon Kepala Daerah dan elit politik yang rusak cara berfikirnya, akan selalu mengganggu demokrasi. Jika mereka merayakan Pilkada, sudah pasti dijalankan dengan cara-cara menghalalkan segala cara. Dalam benak pikiran mereka, kemenangan adalah orientasi utama. Soal jalan, pendekatan dan upaya melahirkan kemenangan tidak menjadi hal penting. Etika, moralitas diabaikan. Yang penting menang Pilkada.

Padahal demokrasi telah kita gadang-gadang sebagai jalan tengah. Menjadi solusi, paket komplit dari ideologi kapitalis dan sosialis. Sesalnya, itu baru sebatas meriah diwacana. Wacana tentang isu demokrasi di dunia Islam misalnya, sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Ada pihak yang menuduh demokrasi sebagai bid'ah politik yang tidak dikenal di dunia Islam dan sepenuhnya merupakan produk Barat yang sekular. 

Akibatnya segala turunan hasil politik melalui mekanisme demokrasi dianggap salah dan menyimpang. Namun adapula pihak yang menerima demokrasi sebagai alat perjuangan politik Islam yang harus diterima dan dikawal sebagai mekanisme politik yang terbaik dibanding system lainnya yang ada. Negara Indonesia yang Pancasilais malah mengapresiasi demokrasi. Meyakini demokrasi dapat melahirkan 'jalan keselamatan'.

Harapan kita agar Pilkada Serentak 2020 menghidupkan demokrasi, rupa-rupanya belum terlahir. Kejujuran, keadilan, keterbukaan, ketaatan terhadap regulasi belum memuaskan semua pihak. Malah yang ada, dugaan kecurangan meluas. Pemangkasan terhadap hak-hak demokrasi masih terjadi. Intimidasi dan bujukan atas nama kepentingan tertentu menjadi senjata andalan pihak yang merasa punya kekuatan sumber daya.

Sebagian rakyat berjuang menuntut keadilan, tapi dikalahkan dengan voting. Kondisi itu tercermin dalam pleno KPU. Manakala, sebagian pasangan calon Kepala Daerah bersepakat untuk tidak mengubris keluhan dan keberatan pihak saksi lain, maka atas alasan suara terbanyak keberatan itu dilewatkan. Cara ini sama saja dengan praktek merusak demokrasi. Aspirasi, saran maupun masukan tidak diakomodir. Demokrasi disetting seperti instrumen menjegal aspirasi atau kepentingan pihak tertentu. Begitu diskriminatif jadinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun