Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hari Pahlawan, Pilkada Serentak, dan Revolusi Akhlak

10 November 2020   12:55 Diperbarui: 21 November 2020   00:26 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Refleksi Hari Pahlawan (Foto Manado.tribunnews.com)

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya, begitu kata Soekarno, yang merupakan Bapak Bangsa Indonesia (The Founding Fathers of Indonesia).

Tepatnya 10 November 2020, dimana kita mengenang kembali perjuangan para Pahlawan. Para pejuang kemerdekaan, di mana hari ini kita menyambut momentum Hari Pahlawan. Di mana sejak 1945 kita memperingati Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Di sinilah awal mula Revolusi Nasional Indonesia terjadi.

Bermula dari ditetapkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 316 Tahun 1959, tanggal 16 November 1959, peringatan Hari Pahlawan menjadi acuan resmi di republik Indonesia tercinta. Kini dalam rentang waktu yang relatif panjang, setelah rangkaian acara seremonial Hari Pahlawan digelar, apa dampak positifnya untuk rakyat?. Rasa-rasanya, masih minim.

Spirit juang Hari Pahlawan, baru sebatas hura-hura dan bersifat upacara. Selebihnya, ada implikasi yang dimunculkan melalui kerja pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah, namun tidak fundamental. Tidak berlangsung radikal. Pemerintah dalam level retorika dan konseptual begitu 'menyerupai' gagasan Pahlawan, selebihnya dalam tataran implementasi masih minus.

Di saat ini, sebelum kita mendengar Revolusi Akhlak yang diprakarsai Habib Muhammad Rizieq Shihab, Presiden Jokowi juga telah mencanangkan tentang Revolusi Mental. Setidaknya, nilai dasar dan diksi revolusi itu pernah terlahir di Indonesia, terlebih pada Perjuangan Surabaya 10 November. Kata revolusi sendiri sangat digandrungi Soekarno.

Kata tersebut sering dilekatkan pada kaum 'kiri'. Kalau kita periksa sejarah, revolusi memang digembar-gemborkan kaum komunis. Namun bukan berarti tema revolusi merupakan karya, kepemilikan dan hanya berhak dimiliki kaum komunis. Apalagi, ketika kita menggunakan narasi revolusi lalu dituding komunis, terlalu sempit rasanya. Tidak begitu seharusnya.

Dalam percakapan sosial, kita juga mengenal revolusi sistemik. Sebagai proyek perubahan dalam merubah atau mencairkan kebuntuan perubahan di Indonesia. Artinya, dalam konteks wacana berkemajuan, tidak ada suatu istilah yang diklaim milik kelompok tertentu. Publik harus menangkan aspek manfaat dan substansinya.

Tidak bagian yang saling berkorelasi, yakni Hari Pahlawan, Pilkada Serentak 2020 dan Revolusi Ahlak. Semuanya hadir di tengah masyarakat diserang wabah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Bagaimana ketiga elemen ini memberi energy positif terhadap pembangunan Indonesia?, solusi sederhananya semua harus disandarkan pada prinsip humanisme (kemanusiaan). Semangat kolektif yang dibangun.

Teringat kita pada ungkapan Soekarno bahwa Negeri yang bernama Indonesia ini, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu. 

Tapi, milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. Itu sebabnya, silahkan aktivis sosial, tokoh agama, pegiat HAM dan demokrasi mengembangkan gagasan pembangunan. Tanpa mengabaikan eksistensi rakyat lainnya.

Dengan menjalankan prinsip-prinsip keadilan, kemajuan Indonesia akan kita raih. Yang membuat Negara terseret pada konflik dan pertentangan, karena keadilan belum didistribusikan secara merata.

Diskriminasi masih begitu telanjang kita saksikan. Modal sosial kita sebetulnya begitu banyak. Dimana rakyat Indonesia dikenal ramah-ramah, toleran, punya solidaritas tinggi dan berpegang teguh pada semboyan persatuan 'bhinneka tunggal ika'.

Dalam sebuah ramalan futuristik, Soekarno berucap bahwa perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Apa yang disapaikan Soekarno, kini mulai terjadi. Dimana upaya konsolidasi nasional dihadang dengan isu-isu primordial, sentiment kedaerahan. Ekspresi perlawanan rakyat yang merasa belum diperlakukan adil oleh pemerintah.

Serta beragam protes lainnya. Kemandirian nasional yang menjadi impian rakyat seperti baru terwujud dalam wacana. Kebijakan pemerintah yang pro rakyat termarginal juga belum kesampaian. Masih bersifat segmentatif, parsial. Pilih kasih, kecenderungan mendahulukan rakyat yang punya kesamaan haluan dan warna bendera politik masih terlihat di depan mata kita. Konsekuensinya, Negara menerima beban perlawanan rakyat.

Entahlah penghianatan dan pengingkaran terhadap spirit juang membangun Indonesia itu datang dari elit pemerintah ataukah rakyat, belum jelas juga kita deteksi. Sehingga sulit disimpulkan. Tak main-main, bahkan konstitusi pun dilawan, lihat saja praktek korupsi di negeri ini. 

Sudah tau korupsi merupakan perbuatan mencuri hak orang lain, masih ada saja elit pemerintah dan politisi kita yang korupsi. Sekiranya, Hari Pahlawan 2020 membuat rakyat semesta mengambil keteladanan, ghirah perjuangan para Pahlawan Indonesia.

Paling sederhana dari pelajaran yang perlu diambil pemerintah terhadap perjuangan para Pahlawan ialah dedikasi. Mereka reka berada di medan juang Indonesia kepentingan banyak orang. Demi kemerdekaan atau membebaskan rakyat dari penjajahan, perlawanan dilakukan. 

Mereka tidak memiliki sikap pengecut. Berani bertanggung jawab, bahkan memerangi mereka yang dinilai tidak adil (imperialis). Kemudian, para Pahlawan itu mempunyai rasa kasih, tulis dan adil.

Tidak gila, tertipu, dan tergiur atas tawaran jabatan. Ekspektasi itu perlu diwujud-nyatakan rakyat dalam Pilkada Serentak 2020 dengan memilih pemimpin daerah yang bertanggung jawab. Tidak hanya setia, tapi berani berkorban demi rakyatnya. Lalu tetesan nilai Revolusi Ahlak yang dikobarkan Habib Riziqe, dapat dijadikan pandangan hidup kita. Bukan sekedar pemanis bibir saat bicara, apalagi alas kaki.

Melainkan, bagaimana Revolusi Akhlak itu bermetamorfosa dalam kehidupan kita sehari-hari. Pemikiran besar dan terbaik ini harus tertular di tengah masyarakat, bukan sekedar menjadi konsumsi politik. sebetulnya, jantung perubahan itu berada pada akhlak.

Karakter, kepribadian, kesantunan dan etika kita sebagai manusia adalah inti dari perubahan itu sendiri. Bagaimana merubah hal-hal besar, kalau merubah akhlak saja kita belum mampu melakukannya.

Kita berharap di Pilkada Serentak 2020, Revolusi Akhlak bisa membumi. Dengan semangat itu, rakyat dapat teredukasi memilih pemimpin ideal, pemimpin yang mempunyai akhlak mulia. Bukan pemimpin munafik, atau pemimpin yang hanya mengejar kepentingan memperkaya diri sendiri. Kemudian, meninggalkan rakyat kelaparan.

Teriakan aspirasi rakyat diabaikan, rakyat berdemo dituduh melakukan melawan pemerintah atau menebar mosi tidak percaya terhadap pemerintah lalu ramai-ramai rakyat disalahkan. Bahkan sedihnya, rakyat yang berdemonstrasi menyampaikan hak-haknya direpresif pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun