Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pilkada Bukan Pileg, Eskalasinya Berbeda

25 Juli 2020   16:58 Diperbarui: 26 Juli 2020   21:17 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Data-data itu dipakai sebagai bahan menganalisa, bukan dijadikan sebagai satu-satunya alat ukur yang primer. Itu sebabnya, sebagian calon Kepala Daerah yang pernah menang di Pileg, tapi kalah saat menjadi kontestan Pilkada.

Di Pilwako Manado sebelum-sebelumnya sudah terbukti itu. Sejumlah politisi yang menjadi Anggota DPRD Kota Manado, dan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) rela di PAW, melepaskan jabatannya untuk ikut Pilkada/Pilwako dengan modal pernah meraih suara di Pileg 2014, ternyata kalah. Kenapa kalah?, karena medan perjuangannya berbeda. 

Bung Amas (Dokpri)
Bung Amas (Dokpri)

Saat Pileg, sebagian besar pemilih tidak terkawal secara ketat. Berhubung pemilih juga disibukkan dengan banyaknya Caleg, membuat mereka memilih figur yang memberikan sentuhan (money politic).

Pilkada irisannya berbeda. Bagi pasangan Calon di Pilkada yang memberikan uang, bantuan dan pemberian jasa lainnya tidak menjadi garansi mereka dipilih masyarakat. Pengalaman GS Vicky Lumentut mengikuti Pilwako 2 periode di Manado kemudian menang, menjadi laboratorium demokrasi bagi pengamat, pemerhati demokrasi, konsultan politik dan politisi itu sendiri untuk mempelajarinya. 

Bukan tidak tepat menjadikan hasil Pileg 2019 sebagai acuan, tapi pendekatan tersebut rasanya masih lemah. Dibutuhkan entitas pendukung lainnya yang memperkuat politisi itu untuk menang di Pilkada 2020.

Pertarungan kepentingan di Pilkada dan Pileg juga relatif berbeda. Apalagi munculnya realitas pisah-rujuk politisi dalam proses membangun koalisi. Hal itu juga menyumbangkan pengaruh terhadap kemenangan kandidat di Pilkada. 

Penentuan mitra koalisi, pertimbangan figur yang diutus bertarung dalam Pilkada dan mengawinkan partai politik dalam 'rumah koalisi' diperlukan keceramatan. Rekam jejak, taget dan kekuatan harus benar-benar menjadi hitungan serius.

Jangan nantinya bermasalah setelah Surat Keputusan (SK) dukungan dikeluarkan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dari partai politik. Efektif dan tidaknya mesin partai bekerja perlu dikaji matang. 

Bagaimana pengaruhnya figur secara personal dan partai politik di tengah masyarakat juga perlu menjadi renungan guna melahirkan keputusan yang matang. Karena semuanya punya plus-minusnya. Ada figur yang dinilai baik, tapi akhirnya berlabuh di partai politik yang tidak disukai kelompok pemilih tertentu.

Dan sebaliknya. Kesenjangan itulah yang perlu ditimbang matang-matang. Jika diamati, hampir seluruh data yang diajukan konsultan politik atau lembaga survey dengan tran yang dipakai meletakkan suara Pileg 2019 sebagai acuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun