"Politik memerlukan pemetaan, bacaan dan standar yang valid disaat mendeteksi peluang menang. Jangan membatasi diri pada satu variabel penopang kemenangan."
Sering elit partai politik berpegang pada referensi yang kurang akurat. Hasil capaian perolehan bakal calon Kepala Daerah saat menjadi calon Anggota Legislator (Caleg) menjadi acuannya.Â
Padahal berbeda tentunya antara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan Pemilihan Legislatif (Pileg). Hasil survey atau penelitian dalam konteks elektoral menyepakati itu. Bahwa terdapat pergeseran kecenderungan pemilih.
Dimana ada pemilih yang memilih dalam Pileg terhadap satu figur, berpotensi tidak memilih figur tersebut pada kontestasi Pilkada. Sudah tentu karena ada varian dan alasan-alasannya. Kalau ditracking akan ditemukan tidak ada sebab ketertarikan pemilih secara tunggal.Â
Ada bermacam jenis kepentingan yang mempengaruhi pemilih (konstituen) mengubah pilihannya. Terlebih bagi masa mengambang yang rata-rata lebih banyak dari akumulasi pemilih kita.
Seperti di Kota Manado, tarikan kepentingan yang kencang membuat masyarakat juga bisa mengubah-rubah pilihannya. Terdapat dua sisi memang, bagi pemilih militant, loyalis, mereka enggan mengubah pilihan dengan alasan teknis.Â
Berbeda dengan pilih mengambang yang tidak punya panutan dalam proses politik. Kebanyakan dari mereka ikut-ikutan calon Kepala Daerah atau tim dari calon Kepala Daerah yang punya modal materi (uang).
Berarti mereka memilih berdasarkan siapa kandidat Kepala Daerah yang memberikan uang, beras atau apalagi bentuk pemberian itu. Bukan soal modal sosial, kemampuan atau program. Pemilih yang masuk dalam kategori massa mengambang berpindah pilihannya karena pengaruh politik transaksional.Â
Mereka mengabaikan cita-cita dan janji pembangunan yang sifatnya retorika politik. Jika ada di Kota Manado elit partai politik yang menjadikan suara Pileg 2019 sebagai determinan, ini bertanda ancaman kekalahan akan mengintainya.
Artinya politik memerlukan pemetaan, bacaan dan standar yang valid disaat mendeteksi peluang menang. Jangan membatasi diri pada satu variabel penopang kemenangan. Perlu pendekatan yang luas, multi demensi. Lebih banyak alat pembanding (komparasi) malah lebih baik.Â
Data-data itu dipakai sebagai bahan menganalisa, bukan dijadikan sebagai satu-satunya alat ukur yang primer. Itu sebabnya, sebagian calon Kepala Daerah yang pernah menang di Pileg, tapi kalah saat menjadi kontestan Pilkada.
Di Pilwako Manado sebelum-sebelumnya sudah terbukti itu. Sejumlah politisi yang menjadi Anggota DPRD Kota Manado, dan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) rela di PAW, melepaskan jabatannya untuk ikut Pilkada/Pilwako dengan modal pernah meraih suara di Pileg 2014, ternyata kalah. Kenapa kalah?, karena medan perjuangannya berbeda.Â
Saat Pileg, sebagian besar pemilih tidak terkawal secara ketat. Berhubung pemilih juga disibukkan dengan banyaknya Caleg, membuat mereka memilih figur yang memberikan sentuhan (money politic).
Pilkada irisannya berbeda. Bagi pasangan Calon di Pilkada yang memberikan uang, bantuan dan pemberian jasa lainnya tidak menjadi garansi mereka dipilih masyarakat. Pengalaman GS Vicky Lumentut mengikuti Pilwako 2 periode di Manado kemudian menang, menjadi laboratorium demokrasi bagi pengamat, pemerhati demokrasi, konsultan politik dan politisi itu sendiri untuk mempelajarinya.Â
Bukan tidak tepat menjadikan hasil Pileg 2019 sebagai acuan, tapi pendekatan tersebut rasanya masih lemah. Dibutuhkan entitas pendukung lainnya yang memperkuat politisi itu untuk menang di Pilkada 2020.
Pertarungan kepentingan di Pilkada dan Pileg juga relatif berbeda. Apalagi munculnya realitas pisah-rujuk politisi dalam proses membangun koalisi. Hal itu juga menyumbangkan pengaruh terhadap kemenangan kandidat di Pilkada.Â
Penentuan mitra koalisi, pertimbangan figur yang diutus bertarung dalam Pilkada dan mengawinkan partai politik dalam 'rumah koalisi' diperlukan keceramatan. Rekam jejak, taget dan kekuatan harus benar-benar menjadi hitungan serius.
Jangan nantinya bermasalah setelah Surat Keputusan (SK) dukungan dikeluarkan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dari partai politik. Efektif dan tidaknya mesin partai bekerja perlu dikaji matang.Â
Bagaimana pengaruhnya figur secara personal dan partai politik di tengah masyarakat juga perlu menjadi renungan guna melahirkan keputusan yang matang. Karena semuanya punya plus-minusnya. Ada figur yang dinilai baik, tapi akhirnya berlabuh di partai politik yang tidak disukai kelompok pemilih tertentu.
Dan sebaliknya. Kesenjangan itulah yang perlu ditimbang matang-matang. Jika diamati, hampir seluruh data yang diajukan konsultan politik atau lembaga survey dengan tran yang dipakai meletakkan suara Pileg 2019 sebagai acuan.Â
Faktor ini bisa terjungkal, dapat dikalahkan kalau kemungkinan-kemungkinan lainnya bermain disana. Konsolidasi kepentingan menjadi jawabannya. Dimana elit partai politik perlu merebut momentum kemenangan sebelum bertanding di Hari H Pilkada, Rabu 9 Desember 2020.
Merebut kemenangan sebelum perang, berarti perlu keahlian dan rapi dalam menarik gerbong koalisi. Bagi elit yang lalai dan abai membaca secara detail pembentukan koalisi parpol, maka dipastikan akan jebol. Bisa juga penggemukan koalisi, tapi miskin fungsi dan kekuatan.Â
Memang 'koalisi besar' menjadi bagian penting dalam kerja-kerja meraih kemenangan di Pilkada. Bukan hanya hal itu membuat elit parpol gegabah, tereuforia lalu tidak selektif dalam menentukan kawan koalisi.
Hati-hati juga, jangan sampai ada penumpang gelap dalam satu bangunan koalisi. Tentu hanya akan membawa petaka, akan terjadi kekalahan yang tragis bila ada musuh dalam selimut.Â
Bagaimana pun itu, dalam politik kita sering menemukan spionase, pengintai dan peluncur. Yang bekerja professional untuk mengalahkan paslon tertentu dari dalam koalisi itu sendiri. Elit partai politik yang punya kewenangan menentukan SK harus membaca mutasi kepentingan tersebut.
Mutasi dari pemilih yang sejak di Pileg begitu loyal tehadap figur tertentu, tapi disaat Pilkada mereka berlawanan. Tidak semua suara yang didapat politisi saat Pileg akan mampu dikawalnya sampai Pilkada.Â
Belum lagi kalau hasil suara Pileg itu hanya suara-suara 'selundupan' dan bayaran. Inilah yang kita sebut swing voters. Kecenderungan mereka tidak konsisten ke salah satu figur, dan gampang digiring pilihannya ke figur lain. Rata-rata mereka bukan tipikal pemilih kritis.
Boleh berubah menjadi fatal, berbalik melemahkan kandidat tertentu jika hasil Pileg menjadi indikator satu-satunya. Perlu sumber daya pendukung, karena wilayah pertarungan Pilkada lebih memperkecil peta kekuatan pemilih.Â
Masyarakat akan diletakan seperti dalam 'akuarium' sehingga kandidat Kepala Daerah bersama timnya lebih mudah melakukan pengawasan dan pengawalan. Medan pertarungannya berbeda, ketika Caleg yang lebih diandalkan, maka Pilkada tim kerja yang akan lebih dominan bekerja. Kerja jejaring kolektif yang menjadi kekuatan. Pembentukan sel-sel aktif dan bekerja kepada paslon yang akan lebih digenjot.
Tidak bermaksud menyalahkan pendekatan tertentu. Tapi sekedar berupaya melahirkan alternatif, ada obsi dalam cara berfikir yang lain peril digarap.Â
Manakala keterbatasan metode yang jadi faktor yang membuat kalah paslon tertentu, itu bertanda kita melewatkan proses berfikir yang lengkap. Kita terburu-buru.Â
Sehingga demikian, dilahirkanlah pandangan yang lain dari pendekatan kebanyakan yang memposisikan, mengistimewakan suara Pileg 2019 sebagai alat ukur yang akurat. Jangan sampai elit-elit partai politik terjebak dalam ruang sempit tersebut. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H