Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Panggung Politik, Gagasan Vs Modal

15 Juli 2020   15:42 Diperbarui: 16 Juli 2020   07:13 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertarungan modal dan narasi (Foto Google)

Tidak boleh dipungkiri bahwa praktek politik di Indonesia penuh hiruk-pikuk. Pertarungan gagasan (narasi) vs kekuatan modal (kapital) selalu terjadi dalam perhelatan politik. Pemilu maupun Pilkada Serentak adu kuat gagasan dan modal ini terlihat. Terhadap mereka yang bertarung di Pilkada ada liput dengan pentingnya gagasan dibangun.

Bayangkan saja kalau tak punya gagasan pemersatu yang matang, maka Soekarno tentu tidak menjadi Presiden Indonesia pertama. Para politisi yang dikenal tegas, vokal umumnya ada gagasan progressif yang mereka memperjuangkan dalam jalan berpolitik. Gagasan yang sudah pasti mengabdi pada kepentingan masyarakat umum. Mereka menjadikan gagasan kerakyatan sebagai nafas pergerakan.

Memperkuat gagasan adalah kekuatan mereka. Politisi seperti ini tidak mudah tergiur dengan bargaining kepentingan sesaat. Tidak mau menjadi budak, lalu menjilat kepada para pemilik modal. Idealisme dijadikan sebagai senjatanya, idealisme merupakan barang mewah yang berharga bagi mereka.

Lahir dengan proses panjang, politisi yang punya identitas atau tabiat berjuang. Pekerja keras, tidak cengeng. Lahir dari kebisingan, berisik, gaduh, gelumat, heboh dan penuh hingar bingar, tapi berisi pengalaman dan gagasan bermutu. Bukan sensasi seremonial yang mereka lewati. Politisi model ini biasanya menghormati pengkaderan dan regenerasi dalam politik.

Secara mayoritas, politisi yang mengandalkan gagasan dikalahkan oleh pragmatisme. Tapi jangan senang dulu, membunuh politisi yang berakar pada 'penghambaan' pada gagasan dan ide, perlu berkali-kali dilakukan. Karena mereka tak gampang mati. Tidak gampang pasrah dengan perlakukan kekerasan atau tidak adil. Bagi mereka, mati berulang-ulang dalam politik merupakan tradisi yang biasa, wajar itu terjadi dalam berdemokrasi.

Tekad berjuang, terjatuh lalu bangkit lagi ialah kemampuan luar biasa yang mereka pegang teguh. Berkali-kali mati bagi politisi yang mengedepankan gagasan (rasional) membuat mereka untuk berkali-kali bangkit, dan melompat lebih jauh lagi. Kejatuhan, musibah politik menurut mereka hanyalah seni dalam jalan berpolitik. Tidak mudah membunuh mereka. Kadang mereka bisa dihabisi, tapi tidak mati.

Semangat mereka untuk bangkit lagi dan hidup kembali dalam membangun karir politik itulah yang menjadi semacam 'nyawa' bagi mereka. Menariklah ketika mereka berhadapan dengan politisi penyembah modal. Politisi yang meyakini bahwa modal (materi) adalah satu-satunya jalan meraih kemengan dalam berpolitik. Kecenderungan politisi seperti ini mengabaikan gagasan.

Bagi mereka bereslah semua strategi politik dan membangun gagasan positif, bila dana atau modal telah berada di tangannya. Alhasil politik dipandangnya sebagai praktek untung rugi. Ladang bagi proses jual beli gagasan guna memperoleh kemenangan dalam tiap pertarungan politik. Tipikal mereka juga relatif dinamis, bagi mereka tak ada lawan abadi.

Yang abadi hanya kepentingan. Terutama soal kepentingan bagi dirinya sendiri dan kelompoknya. Mereka tak ambil pusing dengan dialektika yang dibagun sebagian politisi merangkak dari bawah. Jalan panjang politisi yang 'berdarah-darah', keringat bercucuran untuk kerja-kerja kepartaian tidak dilewatinya. Mereka nyaman menjemput di ujung perjuangan, atau dikala pertarungan sudah dimulai. Barulah mereka politisi pemodal ini hadir belakangan. Dalam kalkulasinya, uang dapat menjadi solusi atas semua urusan di dunia. Lebih khusus dalam kompetisi politik.

Harapan kita ketika head to head antara politik gagasan dan kekuatan modal, politik gagasan yang menang. Itu artinya, masyarakat harus ikut mendorong kekuatan itu. Perlu kesadaran kolektif masyarakat. Belajarlah untuk tidak terjebak berulang dalam skenario politik bagi para pemodal. Memilih politisi yang hanya memberikan uang banyak mudharatnya. Setelah mereka membeli suara masyarakat, kemudian menang, setelahnya mereka mengabaikan kepentingan masyarakat.

Mereka merasa tidak punya ikatan janji maupun beban secara moral dan selanjutnya mereka tidak tanggung jawab terhadap masyarakat. Konstalasi politik hari ini di Indonesia memberi peluang kepada politisi penguasaha (kapitalis) besar untuk berada dalam posisi strategis. Hal itu didukung dengan kecenderungan masyarakat kita yang memilih politisi harus dengan iming-iming uang.

Bagi politisi yang berpengetahuan, berpengalaman kerja dan punya gagasan positif membangun daerah, tapi tidak punya modal atau kekurangan modal umumnya tidak mendapat simpati masyarakat. Yang terjadi, masyarakat kita malah menghindari memilih politisi yang punya gagasan, mereka bermutasi dan lari. Akhirnya pilihan mereka jatuh ke politisi pemilik modal yang sudah tentu juga materialistik.

Pilkada Serentak 2020 membuahkan pertarungan sengit antara pemegang modal dan politisi yang mengedepankan politik gagasan. Gadai-menggadai kepentingan akan dipamerkan. Tentu selaku masyarakat kecil kita berkeinginan kepentingan masyarakat diperhatikan. Politik tukar tambah kepetingan membuat masyarakat dirugikan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun