Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Surat Terbuka untuk Ketua KPU RI

13 Juni 2020   22:02 Diperbarui: 14 Juni 2020   22:35 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arief Budiman (Dok, Koranjakarta.com)

Tuan Arief Yang Budiman...

Selaku Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Arief Budiman harus punya kontrol dan pengendalian diri yang kuat. Anda menjadi teladan. Tidak mudah menjadi role model Tuan, tapi anda sepertinya tidak memikirkan efeknya. Ya, tentu ketika anda diperhadapkan dengan pilihan kemanusiaan. Apa yang harusnya anda bela, antara politik dan kemanusiaan?.

Kini terbukti, yang anda pilih ternyata kepentingan politik. Ancaman Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang massif tak anda hiraukan. Malah anda sibuk dengan persiapan pelaksanaan Pilkada Serentak, Rabu 9 Desember 2020. Berikhtiarlah, jangan sampai anda terjangkit Covid-19, lalu terpapar. Rakyat mengharapkan agar anda rasional, dan menolak pelaksanaan Pilkada Serentak di tengah pandemi.

Pikirkan kondisi dan kebutuhan rakyat Indonesia saat ini. Bukan apatis, kemudian memilih agenda politik. Rakyat Indonesia yang kurang lebih berjumlah 269,6 juta jiwa menanti kearifan anda. Malah kedunguan yang anda tampilkan. Begitu melukai hati rakyat saat Pilkada anda paksakan dilakukan saat Covid-19. Birahi politik anda, harusnya dikanalisasi.

Nama anda Arief Budiman, sayangnya perilaku anda kali ini tidak mencerminkan nama anda. Anda seperti orang yang kecanduan racun politik, menjadi budak politisi tertentu. Ataukah karena anda tersandera dengan status Peringatan Keras Terakhir?. Sial benar nasib kalau begitu Tuan Ketua. Pilihan itu ada ditangan anda. Jika anda menolak Pilkada di era pandemi, pasti Pilkada tak dapat dilaksanakan.

Kalau kita membaca data terbaru, per tanggal 15 April 2020, terdapat 38,8 juta orang sudah ikuti Sensus penduduk online 2020. Belajarlah memandang ke bawah Tuan Arief. Jangan memikirkan obsesi politik dan sahwat mencari kekayaan, sehingga anda memaksakan kemauan. Jangan hanya memikirkan ketika Pilkada, anda akan kebagian banyak faedah.

Rakyat Indonesia sedang was-was karena penyebaran Covid-19 belum pasti kapan benar-benar berakhir. Jangan KPU memperkeruh suasana. Bahkan rakyat pertaruhkan hidupnya untuk mengindari Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Bukan lelucon dan main-main. Kita melihat pemerintah kita sejak awal memerangi Covid-19 dengan mengarahkan anggaran Triliunan Rupiah. Targetnya apa?, tentu agar rakyatnya terbebas dari ancaman virus menular Covid-19.

Tapi apakah semua instrument dan atribut Negara mendukung Presiden Jokowi untuk melawan pandemik Covid-19?. Sepertinya tidak. Bencana non-alam ini seolah hanya menjadi domain tugas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kementerian Kesehatan pun nyaris redup dari pemberitaan media masa. Pemerintah kita agak lemah dalam konsolidasi sektoral.

Pincang dan belum benar-benar rapi sinergi yang diciptakan. Buktinya, koordinasi lintas Kementerian masih saling mis. Kini KPU malah membuat ulah. Tak punya niat sedikitpun menghentikan proses pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. KPU menjadi pioneer dalam mengobral janji, optimisme dan retorikanya kepada pemerintah bahwa Pilkada di musim pandemi akan berjalan maksimal.

Dengan dalil menjalankan protap kesehatan. KPU bahkan telah mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas PKPU Nomor 15 Tahun 2019, tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020.

KPU mengurai dalam PKPU terbarunya, seluruh tahapan program dan jadwal pemilihan serentak lanjutan harus dilaksanakan sesuai dengan protocol kesehatan penanganan Covid-19 (Pasal 8C Ayat 1). Meski dalam PKPU yang ditetapkan, Jumat 12 Juni 2020 telah ditandatangani Sekretaris Jenderal KPU RI, Sigit Joyowardono, dan anda selaku Ketua KPU RI belum menandatanganinya. Rakyat memahami itu sah.

Melalui PDF, PKPU 5 Tahun 2020 telah beredar. Kementerian Hukum dan HAM, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Widodo Ekatjahjana pun belum menandatangi. Namun, interpretasi publik kebanyakan PKPU tersebut sudah legal. Dimana nurani anda saat melihat rakyat kita terpapar Covid-19?.

Kampanye dengan fasilitas digital (virtual) dan menerapkan sistem social distancing dalam Pilkada adalah praktek mendistorsi demokrasi. Menerapkan anjuran Gugus Tugas Covid-19 agar menghindari kerumunan, membuat tahapan Pilkada tidak maksimal. Malah mengorbankan esensi demokrasi. Mirisnya lagi, melalui adaptasi Pilkada pandemi, KPU akhirnya meminta anggaran tambahan sebesar Rp 4,6 Triliaun.

Konsekuensi penambahan anggaran ini karena KPU harus menyediakan segala macam APD (Alat Pelindung Diri). Begitu tidak punya empati pada situasi Indonesia saat ini. Dimana rakyat tengah menderita, cemas bahkan panik karena situasi Covid-19, tapi KPU bersekukuh menyelenggarakan Pilkada dengan biaya tinggi (high cost).

Tidak mudah memang. Pak Ketua KPU jangan hanya berfikir menyelamatkan diri sendiri. Melainkan bagaimana jajaran ditingkat bawah. Bagaimana reputasi lembaga ini di mata rakyat. Kita rakyat kecil tidak ambil pusing dengan anda, yang kita sayangkan adalah lembaga KPU. Rakyat pasti menjadi kecewa, merosot kepercayaan mereka terhadap KPU. Padahal ini hanya ulah, dan kemanuan segelintir orang untuk melaksanakan Pilkada di masa pandemi.

Begitu tidak bijaknya anda. Kalau pun nanti yang terancam dan meninggal dunia itu anda selaku Ketua KPU RI, tak mengapa. Tapi jangan rakyat selaku konsitituen. Mereka tak pernah anda minta untuk bersepakat agar Pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020. Pilkada dilaksanakan di saat gelombang pandemi masih ada, merupakan manifestasi dari kemauan anda selaku Ketua KPU RI.

Tentu buah dan getaknya meluas. Lalu menjadi problem umum rakyat Indonesia. Karena Pilkada ini dilaksanakan dengan duit rakyat. Semua rakyat berhak bicara soal ini. Nama anda Arief, tapi dalam tindakan anda tidak arif ternyata. Kita yang merasa pikirannya masih terawat akal sehat, mengingatkan anda agar urungkan niat untuk memaksakan agar Pilkada dilaksanakan 2020.

Klaster Pilkada Boleh Terjadi

Ikhtiar harus terus dilakukan kita semua. Apalagi disaat menghadapi wabah. Rakyat juga sudah diajak untuk mempersiapkan diri menghadapi new normal (normalitas baru atau kenormalan baru). Hidup tidak lagi dengan prinsip social distancing, kerumunan tak lagi dikhawatirkan. Tapi apakah, hal itu dapat memberi garansi rakyat bebas dari Covid-19?. Atau jangan sampai ada klaster baru ketika tahapan Pilkada dilaksanakan.

Klaster Pilkada bisa saja terjadi. Selanjutnya, kunci Pilkada berhasil di era pandemi itu adalah tentang efesiensi anggaran. Bukan meminta tambahan anggaran saat rakyat membutuhkan bantuan. Yang perioritas yaitu kemanusiaan, bukan politik. Ancaman nyawa juga mengintai penyelenggara Pilkada sampai pada level adhoc. Rakyat selaku subyek demokrasi, pemegang kedaulatan harus dipastikan aman. 

Selain itu, usaha memutus mata rantai penularan Covid-19 juga perlu didukung KPU. Dengan penghematan anggaran Tuan Arief Budiman. Jangan terkesan boros. Pemberdayaan resource menjadi penting, ingat situasinya darurat. Pikirkan rakyat yang sedang kesulitan ekonomi. Memang sukar diinterupsi, karena Pilkada yang identik dengan kerumunan, keramaian (mobilitas massa). Itulah sejatinya demokrasi, harus dinamis dan meningkat partisipasi publik.

Tak mungkin Komisioner KPU dan jajarannya rela makan gaji buta. Tak kerja maksimal. Itu sangat tidak manusiawi. Biar pun begitu, mereka tentu masih punya malu dan nurani, memikirkan keluarga terutama. Jangan sampai ada bencana datang kalau cara-cara maling mereka terapkan. Klaster Pilkada akan muncul, kalau KPU tidak memaksimalkan kampanye virtual secara baik. Disinilah dilemanya, karena KPU harus mewujudkan Pilkada berkualitas.

Bukan sekedar mengejar hasil, melainkan memaksimalkan proses (tahapan). Rakyat juga tak mau Pilkada abal-abal dan asal-asalan. Mereka menghendaki edukasi dan sosialisasi optimal. Ketika Pilkada tidak demokratis, jauh dari kualitas yang dicita-citakan, lalu KPU lepas tangan, dan mengajukan alasan karena situasi Covid-19, ini apologi akut. Hal itu tak dapat diterima. Wajib ditolak publik. Sebab, alasan tersebut telah terlambat. Sejak awal seharusnya Pilkada di musim pandemi ditunda KPU. Bukan dipaksakan.

Ketika penyelenggara Pilkada ada yang positif Covid-19, maka ini menjadi catatan bahwa para penyelenggara Pilkada lainnya layak diawasi ekstra. Mereka idealnya dirapid test massal, sebelum Pilkada dilaksanakan. Selaku rakyat kita juga berharap tenaga medis dan Gugus Tugas adil dalam menerapkan aturannya terhadap penyelenggara Pilakda. Tidak ada yang nama aturan diterapkan standar ganda.

Para penyelenggara Pilkada ini harus diawasi kesehatannya tiap waktu. Hal ini membantu agar mobilitas mereka dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab terkontrol dengan baik. Kita tak mau mereka yang digaji dengan uang rakyat ini hanya ongkang-ongkang kaki, lalu terima gaji, namun kerjanya tidak dilaksanakan dengan baik dan benar.

Potensi KPU menjadi klaser Pilkada begitu terbuka. Tapi seperti itulah implikasi dari pilihan yang mereka pilih sendiri. Bagaimana pun kemauan melaksanakan Pilkada Serentak di musim Covid-19 ini karena tekanan dan dorongan KPU sendiri. Biarkan mereka menanggung resikonya. Jangan kait-kaitkan rakyat jika ada klaster Pilkada yang disebabkan aktivitas publik untuk terlibat dalam agenda Pilkada.  

Padahal lebih etisnya, anda mundur saja dari Ketua KPU RI dan mundur sebagai Komisioner. DKPP telah memberikan teguran keras, tapi kelihatannya anda sudah mati rasa. Malah memaksakan Pilkada 2020. Kalau menyanyi demokrasi di Indonesia tak seperti ini keterdesakan anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun