Melalui PDF, PKPU 5 Tahun 2020 telah beredar. Kementerian Hukum dan HAM, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Widodo Ekatjahjana pun belum menandatangi. Namun, interpretasi publik kebanyakan PKPU tersebut sudah legal. Dimana nurani anda saat melihat rakyat kita terpapar Covid-19?.
Kampanye dengan fasilitas digital (virtual) dan menerapkan sistem social distancing dalam Pilkada adalah praktek mendistorsi demokrasi. Menerapkan anjuran Gugus Tugas Covid-19 agar menghindari kerumunan, membuat tahapan Pilkada tidak maksimal. Malah mengorbankan esensi demokrasi. Mirisnya lagi, melalui adaptasi Pilkada pandemi, KPU akhirnya meminta anggaran tambahan sebesar Rp 4,6 Triliaun.
Konsekuensi penambahan anggaran ini karena KPU harus menyediakan segala macam APD (Alat Pelindung Diri). Begitu tidak punya empati pada situasi Indonesia saat ini. Dimana rakyat tengah menderita, cemas bahkan panik karena situasi Covid-19, tapi KPU bersekukuh menyelenggarakan Pilkada dengan biaya tinggi (high cost).
Tidak mudah memang. Pak Ketua KPU jangan hanya berfikir menyelamatkan diri sendiri. Melainkan bagaimana jajaran ditingkat bawah. Bagaimana reputasi lembaga ini di mata rakyat. Kita rakyat kecil tidak ambil pusing dengan anda, yang kita sayangkan adalah lembaga KPU. Rakyat pasti menjadi kecewa, merosot kepercayaan mereka terhadap KPU. Padahal ini hanya ulah, dan kemanuan segelintir orang untuk melaksanakan Pilkada di masa pandemi.
Begitu tidak bijaknya anda. Kalau pun nanti yang terancam dan meninggal dunia itu anda selaku Ketua KPU RI, tak mengapa. Tapi jangan rakyat selaku konsitituen. Mereka tak pernah anda minta untuk bersepakat agar Pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020. Pilkada dilaksanakan di saat gelombang pandemi masih ada, merupakan manifestasi dari kemauan anda selaku Ketua KPU RI.
Tentu buah dan getaknya meluas. Lalu menjadi problem umum rakyat Indonesia. Karena Pilkada ini dilaksanakan dengan duit rakyat. Semua rakyat berhak bicara soal ini. Nama anda Arief, tapi dalam tindakan anda tidak arif ternyata. Kita yang merasa pikirannya masih terawat akal sehat, mengingatkan anda agar urungkan niat untuk memaksakan agar Pilkada dilaksanakan 2020.
Klaster Pilkada Boleh Terjadi
Ikhtiar harus terus dilakukan kita semua. Apalagi disaat menghadapi wabah. Rakyat juga sudah diajak untuk mempersiapkan diri menghadapi new normal (normalitas baru atau kenormalan baru). Hidup tidak lagi dengan prinsip social distancing, kerumunan tak lagi dikhawatirkan. Tapi apakah, hal itu dapat memberi garansi rakyat bebas dari Covid-19?. Atau jangan sampai ada klaster baru ketika tahapan Pilkada dilaksanakan.
Klaster Pilkada bisa saja terjadi. Selanjutnya, kunci Pilkada berhasil di era pandemi itu adalah tentang efesiensi anggaran. Bukan meminta tambahan anggaran saat rakyat membutuhkan bantuan. Yang perioritas yaitu kemanusiaan, bukan politik. Ancaman nyawa juga mengintai penyelenggara Pilkada sampai pada level adhoc. Rakyat selaku subyek demokrasi, pemegang kedaulatan harus dipastikan aman.Â
Selain itu, usaha memutus mata rantai penularan Covid-19 juga perlu didukung KPU. Dengan penghematan anggaran Tuan Arief Budiman. Jangan terkesan boros. Pemberdayaan resource menjadi penting, ingat situasinya darurat. Pikirkan rakyat yang sedang kesulitan ekonomi. Memang sukar diinterupsi, karena Pilkada yang identik dengan kerumunan, keramaian (mobilitas massa). Itulah sejatinya demokrasi, harus dinamis dan meningkat partisipasi publik.
Tak mungkin Komisioner KPU dan jajarannya rela makan gaji buta. Tak kerja maksimal. Itu sangat tidak manusiawi. Biar pun begitu, mereka tentu masih punya malu dan nurani, memikirkan keluarga terutama. Jangan sampai ada bencana datang kalau cara-cara maling mereka terapkan. Klaster Pilkada akan muncul, kalau KPU tidak memaksimalkan kampanye virtual secara baik. Disinilah dilemanya, karena KPU harus mewujudkan Pilkada berkualitas.