Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menakar Kerancuan Penanganan Covid-19

2 Juni 2020   22:32 Diperbarui: 3 Juni 2020   08:06 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stay at home (Foto Google)

Mulai melahirkan penolakan di tengah masyarakat terkait penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia. Hal tersebut terjadi letupan di daerah-daeah. 

Ada penolakan masyarakat terhadap proses penguburan jenazah yang positif Covid-19. Mereka yang ditetapkan positif Covid-19 massif melakukan penolakan. Ada pula terjadi insiden dimana masyarakat ramai-ramai mendatangi salah satu Rumah Sakit (RS) di Kota Manado karena merasa pihak RS tidak transparan terkait rekaman medis.

Masyarakat, terutama keluarga pasien yang divonis terpapar Covid-19 memberi protes karena merasa keluarga yang dituduh terindikasi Covid-19 punya penyakit bawaan. RS juga dinilai kekurangan argumen dan pasif melakukan persuasif pada keluarga pasien. Akhirnya banyak masyarakat menolak saat ditetapkan positif Covid-19. Ini problem serius yang harus diatasi pemerintah. Kasus seperti itu mengambarkan kalau para petugas kesehatan, gugus tugas Covid-19 dan pemerintah masih lemah dalam edukasi penanganan.

Dapat juga dikatakan stakeholder terkait gagal dalam menyampaikan literasi atau sosialisasi kepada masyarakat tentang cara penanganan Covid-19. Jika saja pihak berkompeten telah melaksanakan tugasnya dengan baik, tentu penolakan masyarakat dapat terminimalisir. Bukan malah makin banyak warga yang protes dengan alasan yang nyaris sama yakni ketidakterbukaan pihak RS.

Petugas medis harus juga berbenah. Menggunakan perspektif masyarakat (korban), sebagian mereka merasa hak-haknya seperti dicabut. Ada kasus ditemukan pasien yang diisolasi di RS karena PDP (Pasien Dalam Pengawasan), dianggap memiliki gejala, sayangnya saat pasien merasa telah sehat dan meminta keluar dari RS. Pihak RS malah tidak memperdulikan dan tetap mengisolasi pasien tersebut.

Situasi itu malah melahirkan persoalan baru. Dimana si pasien yang tidak sembuh, akhirnya kekurangan imun karena drop, frustasi dan beban pikiran karena lingkungan RS. Sehingga kemudian, memunculkan penyakit. Pasien tersebut menjadi depresi. Inilah sekelumit kejanggalan dalam kasus-kasus penanganan Covid-19 yang sering diceritakan masyarakat.

Bila tidak direspon secara baik oleh pihak berkompeten, maka implikasinya, pihak RS tidak lagi dipercaya masyarakat. Masyarakat curiga dan melawan upaya-upaya positif yang dilakukan pihak RS, meski hal itu bertujuan baik untuk keselamatan pasien. Faktor tersebut terdorong, lalu mewujud melalui sikap antipati. Kalau tidak mendapat penanganan serius akan menjadi bom waktu kelak.  

Seperti itu pula penanganan soal ODP (Orang Dalam Pemantauan). Tanpa terlihat prosedur yang transparan dan bersifat memberi edukasi, masyarakat seolah ditakut-takuti. 

Kadang kala kita menemui kasus yang kini ramai menjadi pembicaraan, dimana penjemputan paksa terhadap pasien yang dianggap terindikasi positif Covid-19. Petugas medis yang turun melakukan penjemputan pun dengan ''seragam Astronot'' lengkap. Hal ini melahirkan ketakutan dan kepanikan bagi masyarakat.

Bahkan kasus aktual dan viral terjadi di Kota Manado, dimana pihak keluarga korban meninggal dunia membawa pulang mayat dari RS ke rumah duka. Petugas medis disebut tak mampu memberikan penjelasan terkait riwayat penyakit pasien. 

Gagalnya penyampaian penjelasan pihak RS itu jangan dianggap remeh. Sebetulnya hal itu menjadi bagian dari pemicu sehingga masyarakat sering melakukan penolakan atas penanganan pasien Covid-19.

Sebagian masyarakat akhirnya berpandangan RS tidak transparan. Dominan mengkomersialkan infeksi Virus Corona. Begitu mudahnya masyarakat dituding telah terpapar Covid-19. Ada kasus yang memiriskan, dimana pasien yang meninggal di RS, dikuburkan secara protap kesehatan Covid-19, namun setelah hasil tes swab, yang bersangkutan dinyatakan negative Covid-19.

Apakah di Indonesia kita tidak punya alat yang lebih cepat mendeteksi seseorang terpapar Covid-19 atau tidak?. Bagaimana jika masyarakat yang meninggal dunia, sementara disaat sakit yang masih diindikasikan Covid-19, dan sampai meninggal dunia hasil tes swab belum keluar. 

Layaknya pasien tersebut dikuburkan dengan protokol Covid-19?. Aneh dan janggal rasanya bila pasien dalam kasus ini dikuburkan dengan protokol Covid-19.

Kalau menggunakan standar pemikiran masyarakat awam, harusnya proses penguburannya dilaksanakan bukan dengan standar Covid-19. Karena dalam konteks ini, hasil swab belum keluar. Pihak pemangku kepentingan harusnya meneduhkan masyarakat. Memberi keterangan dan gunakan pendekatan persuasif kepada masyarakat, bukan bertindak arogan, dan mengabaikan hak-hak pasien.

Penghargaan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penerapan Covid-19 juga harus diperhatikan. Jangan sampai hak-hak masyarakat (pasien) dihilangkan dengan alasan kewenangan petugas medis. Itu sangat riskan. Boleh jadi, ketika masyarakat merasa kepentingan dan haknya diabaikan, mereka bisa saja melakukan perlawanan. Menghakimi dengan cara masyarakat sendiri. Inilah yang harus kita bendung.

Solusi terbaik perlu dilahirkan. Jangan hanya merasa bahwa pihak medis yang layak diperhatikan. Masyarakat juga telah mengetahui kalau pihak tenaga medis itu bekerja tidak ada yang gratis. Mereka digaji, bahkan untuk menangani pasien Covid-19 ada anggarannya sebagaimana telah diatur dalam regulasi kita.

Jangan sampai pihak RS tidak memperhatikan hal-hal yang sensitif dan rentan melahirkan persoalan. Kita sama-sama harus mewaspadai, mencari solusi terbaik agar trust RS masih dihormati masyarakat luas. Bagaimana nantinya jika masyarakat tidak percaya lagi tenaga medis, serta RS?. Mereka memilih sakit dan berobat secara mandiri di rumah.

Yang mengkhawatirkan lagi bila secara kompak masyarakat saling mengajak untuk tidak mau lagi ke RS. Kasihan juga nasib para tenaga media kita, pihak RS juga otomatis tak memiliki pendapatan. Pemerintah harus ikut turun tangan melakukan tindakan nyata, jangan hanya fokus menyediakan fasilitas kesehatan, komersialisasi alkes dan meninggikan honorarium atau haji para tenaga medis. Lantas masyarakat kurang mendapat perhatian.

Derajat masyarakat harus ditinggikan. Tak boleh pemerintah berfikir memihak kepada tenaga kesehatan saja. Bisa membahayakan pemerintah sendiri ketika masyarakat menggunakan ritme sendiri dalam penyelesaian antisipasi penyebaran Covid-19. People power bila telah kesal, amarahnya membuncah, maka pemerintah akan sulit membendungnya. Harusnya sediakan payung sebelum hujan. Antisipasi dini perlu dilakukan.

Masyarakat sewaktu-waktu akan berpotensi bertindak anarkis, ketika pemerintah tidak serius mengakomodasi aspirasi dan keluhan mereka tentang praktek pelayanan yang dinilai diskriminasi. Segera jemput bola, pemerintah melihat dari sisi keluhan masyarakat. Mereka mengeluhkan soal pemberian informasi dalam penanganan pasien Covid-19 yang transparan.

Aroma terkait dugaan kasus pasien Covid-19 dikomersialkan, perlu dijawab pemerintah dengan hati dingin. Perlu adanya penjelasan komprehensif dan jujur. Kasus yang terjadi di daerah mestinya secepat ditangani. Tak boleh sama sekali dianggap hal kecil kemudian tidak ditangani dengan serius. Kerancuan yang disampaikan atau dikeluhkan masyarakat perlu mendapat jawaban yang proporsional dari pemerintah.

Penjelasan terkait riwayat medis pasien ini menjadi sesuatu yang amat penting. Dari pelayanan yang kurang efektif tersebut bertanda bahwa RS harus juga berbenah. Yang sudah menjalankan standar pelayanan yang baik, silahkan dipertahankan, atau ditingkatkan lagi. Bagi RS yang belum menjalankan mekanisme pelayanan yang transparan, ayo lakukan revitalisasi pelayanan. Jangan lagi penyakit bawaan yang diderita pasien menjadi kambing hitam.

RS akhirnya menjadi begitu horror bagi masyarakat. Karena banyak kasus-kasus yang dialami langsung masyarakat, mereka mendapati praktek diskriminasi. Ketidakadilan informasi mereka temui. Sejatinya RS sebagai tempat menyehatkan masyarakat menciptakan kondisi yang kondusif, membuat masyarakat nyaman. Aspek kenyamanan itu memudahkan masyarakat (pasien) untuk sembuh. Bukan seperti adanya tekanan situasi sekitar.

Siklus penanganan Covid-19 juga sering membingunkan masyarakat. Berputar pada positif, lalu negatif, dan seterusnya. Lahir pertanyaan dari publik, bagaimana dengan pasien positif Covid-19 boleh sembuh?, apa saja obat-obat yang mereka konsumsi?. Kalau ada pasien yang sembuh, berarti vaksinnya sudah ditemukan?. Mestinya, edukasi seperti itu perlu digenjot gugus tugas Covid-19. Lebih baik mencegah daripada mengobati.

Problem sensitif lainnya adalah uang atau dana yang diberikan kepada petugas pemulasaran jenazah positif Covid-19. Hal ini juga seperti teka-teki yang membuat publik curiga. Pemerintah harus memaksimalkan sistem edukasi terkait hal semacam itu. 

Jangan sampai gelombang protes makin kencang karena pihak terkait yang berkompeten dianggap menyimpan-nyimpan informasi. Untuk umat Islam misalnya, siapa saja yang berkompeten melakukan fardu kifayah terhadap jenazah positif Covid-19?. Apakah mereka ditetapkan pihak RS atau dari MUI?. Ini perlu disampaikan ke masyarakat luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun