Penjelasan terkait riwayat medis pasien ini menjadi sesuatu yang amat penting. Dari pelayanan yang kurang efektif tersebut bertanda bahwa RS harus juga berbenah. Yang sudah menjalankan standar pelayanan yang baik, silahkan dipertahankan, atau ditingkatkan lagi. Bagi RS yang belum menjalankan mekanisme pelayanan yang transparan, ayo lakukan revitalisasi pelayanan. Jangan lagi penyakit bawaan yang diderita pasien menjadi kambing hitam.
RS akhirnya menjadi begitu horror bagi masyarakat. Karena banyak kasus-kasus yang dialami langsung masyarakat, mereka mendapati praktek diskriminasi. Ketidakadilan informasi mereka temui. Sejatinya RS sebagai tempat menyehatkan masyarakat menciptakan kondisi yang kondusif, membuat masyarakat nyaman. Aspek kenyamanan itu memudahkan masyarakat (pasien) untuk sembuh. Bukan seperti adanya tekanan situasi sekitar.
Siklus penanganan Covid-19 juga sering membingunkan masyarakat. Berputar pada positif, lalu negatif, dan seterusnya. Lahir pertanyaan dari publik, bagaimana dengan pasien positif Covid-19 boleh sembuh?, apa saja obat-obat yang mereka konsumsi?. Kalau ada pasien yang sembuh, berarti vaksinnya sudah ditemukan?. Mestinya, edukasi seperti itu perlu digenjot gugus tugas Covid-19. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
Problem sensitif lainnya adalah uang atau dana yang diberikan kepada petugas pemulasaran jenazah positif Covid-19. Hal ini juga seperti teka-teki yang membuat publik curiga. Pemerintah harus memaksimalkan sistem edukasi terkait hal semacam itu.Â
Jangan sampai gelombang protes makin kencang karena pihak terkait yang berkompeten dianggap menyimpan-nyimpan informasi. Untuk umat Islam misalnya, siapa saja yang berkompeten melakukan fardu kifayah terhadap jenazah positif Covid-19?. Apakah mereka ditetapkan pihak RS atau dari MUI?. Ini perlu disampaikan ke masyarakat luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H