Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Efektivitas Demokrasi dan Nafsu Pilkada

30 Mei 2020   11:11 Diperbarui: 30 Mei 2020   13:17 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret demokrasi ideal (Foto Fahri Laudje)

Semua kita menyimpulkan nyawa dan keselamatan lebih tinggi di atas segalanya. Ini konteksnya hidup, dimana setiap manusia menghadapinya. Seluruh perjuangan total dilakukan agar dapat survive. Hal itu akan berlaku selamanya, disaat manusia berada di dunia. Indonesia dalam menghadapi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ragam ikhtiar dilakukan pemerintah guna menyelamatkan rakyat.

Mirisnya, dalam momentum bersamaan pemerintah seolah menutup mata dan tidak menghargai upayanya sendiri. Rencana menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak adalah buktinya. Pilkada Rabu, 9 Desember 2020 bertanda inkonsistensi. Situasi dimana pandemi Covid belum berakhir. Pemerintah juga masih menetapkan status Indonesia Darurat Kesehatan, lalu Pilkada mau digelar.

Keputusan yang ambigu. Sebuah inkonsistensi sikap yang mengundang reaksi publik tentunya. Kita rakyat tak mungkian diam, ikuti hal-hal yang secara konkret kita sadari berpotensi mengancam keselamatan kita. Pilkada Serentak dilaksanakan, sama artinya pemerintah menyuruh kita bertamasya, adu nasib dan menjemput kematian.

Sementara sekarang masih terdengar anjuran dan imbauan untuk stay at home. Pemerintah menyuruh rakyat work from home. Anehnya, tiba-tiba Pilkada rencananya dilaksanakan. Dan kini Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia mulai berada di depan memerintahkan Pemerintah Daerah terlibat aktif serta kooperatif menyukseskan Pilkada Serentak 2020.

Rupanya pemerintah pusat mulai mengabaikan bahaya Covid-19. Mendagri ''menghambat'' usaha keras dari Gugus Tugas Covid-19 secara nasional. Antara spirit Mendagri untuk menggelar Pilkada Serentak 9 Desember 2020 bertentangan dengan kerja Gugus Tugas Covid-19 dalam memutus rantai penyebaran Covid-19. Pilkada dengan memperhatikan protokol kesehatan, itu omong kosong.

Selain membuang-buang anggaran yang didapat dari rakyat. Pilkada di tengah pandemi tidak akan membawa hasil yang efektif. Kesan yang terbaca di publik, kemauan Pilkada ini semata untuk memenuhi birahi politik para pemburu kepentingan kekuasaan. Selebihnya, hanyalah argumen-argumen retorika kosong, yang tak memberi manfaatkan kepada rakyat. Sedangkan yang dikejar rakyat adalah efektivitas demokrasi.

Dalam rapat yang digagas Komisi II DPR RI, begitu terlihat nafsu Mendagri dan KPU agar Pilkada Serentak dilaksanakan 9 Desember 2020. Sejatinya Pilkada dapat dilaksanakan, tapi tidak mencederai demokrasi. Bukan malah menerapkan tata cara kampanye virtual yang memangkas akses berdemokrasi.

Demokrasi di Era Digital tantangan kehidupan politik di ruang cyber, seperti yang dijelaskan dalam buku karya Anthony G. Wilhelm punya plus-minus.

Di back cover terdapat penjelasan bahwa penemuan teknologi yang menjadikan efisiensi dalam kehidupan demokrasi, malah menyebabkan permasalahan baru dalam hal demokrasi itu sendiri. Hal ini hanyalah mengulang kejadian pertama terciptanya teknologi di era Thomas Alfa Edison yang menemukan lampu. Itu dikarenakan banyaknya perbedaan persepsi dalam menerima keberadaan teknologi ini sendiri. 

Untuk konteks Pilkada Serentak di Indonesia dengan mengandalkan teknologi, tentu banyak hal baru yang akan perlu diadaptasikan. Tidak mudah.

Dimana perkembangan teknologi membawa perubahan di berbagai lapisan kehidupan, yang paling kentara ialah cara kita berinteraksi dan berpendapat. Sayangnya, masyarakat masih belum seluruhnya dewasa dalam memanfaatkan internet. Konten negatif berseliweran dalam beragam bentuk, hoax menjadi yang paling sering ditemui dan berdaya rusak tinggi. Intensitas sirkulasi hoax kian tinggi setiap waktu.

Tantangan itu semua akan ditemui para penyelenggara Pilkada. Belum lagi mentalitas rakyat kita yang rata-rata belum siap menghadapi perubahan kebiasaan, dari kampanye konvensional, berganti ke kampanye virtual. Tidak hanya melahirkan mispersepsi di tengah rakyat, benih-benih konflik kepentingan akan berdampak kuat terhadap lahirnya resistensi terhadap praktek demokrasi karena wabah Covid-19.

Pilihannya, jika pemerintah sungguh-sungguh mewujudkan Pilkada Serentak 2020, maka eskalasi pasien atau penderita Covid-19 dapat ditekan. Meski faktanya jumlah rakyat yang terpapar Covid-19 meningkat, misalnya, karena menciptakan ketenangan Pilkada pemerintah bisa saja merekayasa kebenaran itu. Berarti Covid-19 akan dikalahkan kepentingan politik.

Kerawanan yang ada di tengah rakyat dapat disulap menjadi ketenangan. Walau semua itu menjadi semu, dan hanya bertujuan melengkapi kepentingan politik yang berseliweran saat Pilkada Serentak. Politik dan keselamatan rakyat, begitu terlihat disparitasnya. Malah politik di era Covid-19 ini yang diutamakan pemerintah, ketimbang keselamatan dan kemanusiaan karena ancaman virus menular Covid-19.

Publik tentu akan membaca kalau Pilkada tetap ngotot dilaksanakan, berarti para wakil rakyat kita di Senayan, Mendagri dan KPU hanya mementingkan politik. Dana yang fantastis dibutuhkan untuk Pilkada seharusnya diperuntukkan bagi penanggulangan dan pemulihan Covid-19. Konsekuensinya Pilkada di musim pandemi akan berjalan seperti kita ''bertepuk sebelah tangan''.

Partisipasi publik terdegradasi. Pilkada jadinya tidak efektif. Potensi terjadi kekerasan dan rekayasan disaat Pilkada bakal meningkat. Bagaimana pun urusan Pilkada tidak sekedar pencoblosan, kemudian rekapitulasi hasil suara semata. Namun lebih dari itu soal edukasi politik. Praktek jurdil, luber, egaliter dan asas kemandirian pelaksanaan Pilkada jauh lebih penting.

Pilkada bukanlah ajang merebut kemenangan. Pilkada juga bukan entitas pemanfaatan momentum guna meloloskan kepentingan, serta dipihak lain mendiskriminasi dan mengamputasi kepentingan politik pihak lainnya. Tidak sedangkal itu universalitas Pilkada Serentak. Sehingga pemangku kepentingan perlu berfikir luas, leluasa, humanis dan objektif, jangan karena kepentingan politik sesaat.

Belum lagi adanya rencana setelah PSBB, pemerintah akan menerapkan new normal (normal baru). Era dimana rakyat diarahkan pada realitas yang tidak lagi dilakukan pembatasan sosial. Sementara sesuai data, pandemi Covid-19 di negeri ini belum usai.

Rakyat dibiarkan ''bertarung bebas'' melawan Covid-19. Bagi rakyat yang kuat imun dalam tubuhnya, akan sehat jauh dari Covid-19. Dan sebaliknya, yang imunitasnya lemah tidak hidup sehat, mereka akan dikalahkan Covid-19.

Padahal di Korea Selatan new normal gagal menekan angka positif Covid-19. Karena gagal, Korea Selatan kembali melakukan pembatasan sosial. Kenapa Indonesia mau mencoba-coba dengan new normal?. Kita doakan, pemerintah mengurung niatnya untuk menerapkan new normal dan membatalkan rencana Pilkada Serentak 9 Desember 2020. Semua ini dilakukan harus untuk rakyat. Rakyat masih mengharapkan perang terhadap Covid-19 dituntaskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun