Tantangan itu semua akan ditemui para penyelenggara Pilkada. Belum lagi mentalitas rakyat kita yang rata-rata belum siap menghadapi perubahan kebiasaan, dari kampanye konvensional, berganti ke kampanye virtual. Tidak hanya melahirkan mispersepsi di tengah rakyat, benih-benih konflik kepentingan akan berdampak kuat terhadap lahirnya resistensi terhadap praktek demokrasi karena wabah Covid-19.
Pilihannya, jika pemerintah sungguh-sungguh mewujudkan Pilkada Serentak 2020, maka eskalasi pasien atau penderita Covid-19 dapat ditekan. Meski faktanya jumlah rakyat yang terpapar Covid-19 meningkat, misalnya, karena menciptakan ketenangan Pilkada pemerintah bisa saja merekayasa kebenaran itu. Berarti Covid-19 akan dikalahkan kepentingan politik.
Kerawanan yang ada di tengah rakyat dapat disulap menjadi ketenangan. Walau semua itu menjadi semu, dan hanya bertujuan melengkapi kepentingan politik yang berseliweran saat Pilkada Serentak. Politik dan keselamatan rakyat, begitu terlihat disparitasnya. Malah politik di era Covid-19 ini yang diutamakan pemerintah, ketimbang keselamatan dan kemanusiaan karena ancaman virus menular Covid-19.
Publik tentu akan membaca kalau Pilkada tetap ngotot dilaksanakan, berarti para wakil rakyat kita di Senayan, Mendagri dan KPU hanya mementingkan politik. Dana yang fantastis dibutuhkan untuk Pilkada seharusnya diperuntukkan bagi penanggulangan dan pemulihan Covid-19. Konsekuensinya Pilkada di musim pandemi akan berjalan seperti kita ''bertepuk sebelah tangan''.
Partisipasi publik terdegradasi. Pilkada jadinya tidak efektif. Potensi terjadi kekerasan dan rekayasan disaat Pilkada bakal meningkat. Bagaimana pun urusan Pilkada tidak sekedar pencoblosan, kemudian rekapitulasi hasil suara semata. Namun lebih dari itu soal edukasi politik. Praktek jurdil, luber, egaliter dan asas kemandirian pelaksanaan Pilkada jauh lebih penting.
Pilkada bukanlah ajang merebut kemenangan. Pilkada juga bukan entitas pemanfaatan momentum guna meloloskan kepentingan, serta dipihak lain mendiskriminasi dan mengamputasi kepentingan politik pihak lainnya. Tidak sedangkal itu universalitas Pilkada Serentak. Sehingga pemangku kepentingan perlu berfikir luas, leluasa, humanis dan objektif, jangan karena kepentingan politik sesaat.
Belum lagi adanya rencana setelah PSBB, pemerintah akan menerapkan new normal (normal baru). Era dimana rakyat diarahkan pada realitas yang tidak lagi dilakukan pembatasan sosial. Sementara sesuai data, pandemi Covid-19 di negeri ini belum usai.
Rakyat dibiarkan ''bertarung bebas'' melawan Covid-19. Bagi rakyat yang kuat imun dalam tubuhnya, akan sehat jauh dari Covid-19. Dan sebaliknya, yang imunitasnya lemah tidak hidup sehat, mereka akan dikalahkan Covid-19.
Padahal di Korea Selatan new normal gagal menekan angka positif Covid-19. Karena gagal, Korea Selatan kembali melakukan pembatasan sosial. Kenapa Indonesia mau mencoba-coba dengan new normal?. Kita doakan, pemerintah mengurung niatnya untuk menerapkan new normal dan membatalkan rencana Pilkada Serentak 9 Desember 2020. Semua ini dilakukan harus untuk rakyat. Rakyat masih mengharapkan perang terhadap Covid-19 dituntaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H