Indonesia dalam menghadapi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ragam ikhtiar dilakukan pemerintah guna menyelamatkan rakyat.
Semua kita menyimpulkan nyawa dan keselamatan lebih tinggi di atas segalanya. Ini konteksnya hidup, dimana setiap manusia menghadapinya. Seluruh perjuangan total dilakukan agar dapat survive. Hal itu akan berlaku selamanya, disaat manusia berada di dunia.Mirisnya, dalam momentum bersamaan pemerintah seolah menutup mata dan tidak menghargai upayanya sendiri. Rencana menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak adalah buktinya. Pilkada Rabu, 9 Desember 2020 bertanda inkonsistensi. Situasi dimana pandemi Covid belum berakhir. Pemerintah juga masih menetapkan status Indonesia Darurat Kesehatan, lalu Pilkada mau digelar.
Keputusan yang ambigu. Sebuah inkonsistensi sikap yang mengundang reaksi publik tentunya. Kita rakyat tak mungkian diam, ikuti hal-hal yang secara konkret kita sadari berpotensi mengancam keselamatan kita. Pilkada Serentak dilaksanakan, sama artinya pemerintah menyuruh kita bertamasya, adu nasib dan menjemput kematian.
Sementara sekarang masih terdengar anjuran dan imbauan untuk stay at home. Pemerintah menyuruh rakyat work from home. Anehnya, tiba-tiba Pilkada rencananya dilaksanakan. Dan kini Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia mulai berada di depan memerintahkan Pemerintah Daerah terlibat aktif serta kooperatif menyukseskan Pilkada Serentak 2020.
Rupanya pemerintah pusat mulai mengabaikan bahaya Covid-19. Mendagri ''menghambat'' usaha keras dari Gugus Tugas Covid-19 secara nasional. Antara spirit Mendagri untuk menggelar Pilkada Serentak 9 Desember 2020 bertentangan dengan kerja Gugus Tugas Covid-19 dalam memutus rantai penyebaran Covid-19. Pilkada dengan memperhatikan protokol kesehatan, itu omong kosong.
Selain membuang-buang anggaran yang didapat dari rakyat. Pilkada di tengah pandemi tidak akan membawa hasil yang efektif. Kesan yang terbaca di publik, kemauan Pilkada ini semata untuk memenuhi birahi politik para pemburu kepentingan kekuasaan. Selebihnya, hanyalah argumen-argumen retorika kosong, yang tak memberi manfaatkan kepada rakyat. Sedangkan yang dikejar rakyat adalah efektivitas demokrasi.
Dalam rapat yang digagas Komisi II DPR RI, begitu terlihat nafsu Mendagri dan KPU agar Pilkada Serentak dilaksanakan 9 Desember 2020. Sejatinya Pilkada dapat dilaksanakan, tapi tidak mencederai demokrasi. Bukan malah menerapkan tata cara kampanye virtual yang memangkas akses berdemokrasi.
Demokrasi di Era Digital tantangan kehidupan politik di ruang cyber, seperti yang dijelaskan dalam buku karya Anthony G. Wilhelm punya plus-minus.
Di back cover terdapat penjelasan bahwa penemuan teknologi yang menjadikan efisiensi dalam kehidupan demokrasi, malah menyebabkan permasalahan baru dalam hal demokrasi itu sendiri. Hal ini hanyalah mengulang kejadian pertama terciptanya teknologi di era Thomas Alfa Edison yang menemukan lampu. Itu dikarenakan banyaknya perbedaan persepsi dalam menerima keberadaan teknologi ini sendiri.Â
Untuk konteks Pilkada Serentak di Indonesia dengan mengandalkan teknologi, tentu banyak hal baru yang akan perlu diadaptasikan. Tidak mudah.
Dimana perkembangan teknologi membawa perubahan di berbagai lapisan kehidupan, yang paling kentara ialah cara kita berinteraksi dan berpendapat. Sayangnya, masyarakat masih belum seluruhnya dewasa dalam memanfaatkan internet. Konten negatif berseliweran dalam beragam bentuk, hoax menjadi yang paling sering ditemui dan berdaya rusak tinggi. Intensitas sirkulasi hoax kian tinggi setiap waktu.