Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kemiskinan, Pengangguran dan Kriminalitas Mengintai Indonesia

29 April 2020   11:59 Diperbarui: 29 April 2020   21:44 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dilema di tengah Covid-19 (Foto Fahri Laudje)

MULAI terasa sulit kehidupan ekonomi rakyat Indonesia. Mereka yang atas nama kepatuhan terhadap instruksi, anjuran dan imbauan pemerintah untuk stay at home ternyata mengundang musibah. Atas loyalitas itu, tak sedikit rakyat yang menjaga jarak, berdiam diri di rumah, tidak mempunyai pemasukan ekonomi. Lantas kemiskinan pun merajalela, pekerja swasta juga di rumahkan, mereka para honorer atau Tenaga Harian Lepas (THL) akhirnya menganggur. Memprihatinkan.

Tentu konsekuensinya meluas. Biasanya mereka bekerja baru mendapatkan gaji, jika tidak bekerja tentu tidak mendapatkan pemasukan. Problem lain juga yang tengah marak terjadi yakni pelarangan rakyat yang berjualan takjil Ramadhan. Di beberapa Provinsi, Kabupaten/Kota hal itu dilakukan pemerintah. Alhasil, rakyat secara terpaksa diarahkan untuk pasif, tidak produktif.

Sementara bantuan pemerintah belum kunjung tiba. Pemerintah lamban. Seperti di Kota Manado, demi social distancing, physical distancing dan self distancing, rakyat yang berjualan takjil dilarang. Mereka di rumahkan tanpa solusi yang cepat dan tepat. Sebetulnya, dalam situasi wabah Corona Virus (Covid-19), pemerintah lebih gesit, turun tangan dan total membantu rakyat yang tengah kesulitan ekonomi.

Bukan sekedar memberi imbauan, larangan dan membongkar lapak jualan takjil dari rakyat. Bayangkan saja kebutuhan rakyat disaat bulan suci ramadhan, bagi kaum muslimin, sangatlah tinggi. 

Mereka harus menghidupkan keluarga tiap hari, apapun situasinya kebutuhan perut sangatlah mendesak. Itu kebutuhan primer (basic needs), sehingga demikian keperluan rakyat terhadap stok pangan tak membutuhkan himbauan. Tapi sentuhan konkrit.

Apalagi basa-basi pemerintah, rakyat tidak menghendaki itu. Jika rakyat di rumahkan, harusnya pemerintah punya opsi memberikan bantuan yang proporsional, adil, realistis dan manusiawi kepada mereka. 

Artinya, ketika pemerintah berkomitmen perang dengan pandemic Covid-19, segala resource harus disiapkan. Jangan biarkan rakyat kelaparan. Karena hal itu dapat berimplikasi buruk terhadap keamanan Negara.  

Situasi sekarang ini, kalau kita amati telah bermunculan pengangguran baru. Akibat Covid-19, semua aktivitas sosial terhenti, macet dan kevakuman itu akan menunjang konflik sosial bila pemerintah berdiam diri. Tidak lekas mengamankan situasi dengan menggelontorkan uang rakyat untuk membiayai rakyatnya di musim Covid-19 ini. Rakyat juga sudah tahu, Negara berhutang ke Bank Dunia untuk mencegah menularan Covid-19, sayangnya sampai saat ini bantuan dari pemerintah pusat tak kunjung tiba.

Jangan dibuat rakyat bertindak semau mereka sendiri. Maka mengantisipasi itu, berarti pemerintah harus agresif, responsif turun menjemput keluh-kesah rakyat yang sedang merasa kesusahan secara ekenomi. Tidak tepat pemerintah hanya bermain-main dengan larangan, tak boleh rakyat lakukan ini, tak boleh rakyat lakukan itu. Namun nyatanya, bantuan sosial malah dibuat menjadi ribet dan berbelit-belit.

Begitu pula dengan kejelasan pemerintah pusat untuk merepressif pemerintah daerah agar lebih cepat lagi bergerk. Sampai saat ini, kurang kelihatan geliatnya. Status PSBB juga cenderung unik ketentuannya. Kenapa harus menggunakan prosedur, pemerintah daerah yang mengajukan permohonan? 

Harusnya pemerintah pusat yang punya data update, tak perlu menciptakan birokrasi yang boros. Katanya kita dalam situasi bencana, yang sudah pasti emergency.

Kalau keadaan darurat, mestinya tindakan pemerintah lebih cepat. Bukan dibuat lambat, PSSB dilihat seperti menjadi bahan bargaining semata. 

Media yang fulgar memberitakan angka pasien positif Covid-19 membuat panik rakyat, ditopang dengan conferensi pers yang rutin dari Media Center Satuan Gugus Tugas Covid-19, sementara penanganannya lemah. Betul-betul tidak berimbang.

Pemerintah pusat dan daerah harus lebih bijak. Tegas boleh saja, tapi perlu kearifan. Kalau belum berhasil mempercepat bantuan ke rakyat, mestinya larangan jangan dibuat bombastis dan frontal. 

Kasihan rakyat, mereka terjepit dan kesusahan. Padahal, di media massa Presiden Jokowi juga pernah berkata aktivitas perekonomian rakyat biarkan berjalan sebagaimana biasanya. Tapi, sayangnya dalam tindakan di lapangan, aparat terkait melakukan tindakan repressif.

Tentu kita semua menolak bila ada yang menyebut Negara Indonesia diurus dengan cara ugal-ugalan. Kita juga pasti menolak adanya oknum-oknum yang membajak situasi gelombang Covid-19 yang gencar ini untuk kepentingan tertentu. 

Lalu kemudian rakyat dibiarkan kelaparan. Hutang Negara yang baru saja diajukan pemerintah kita harapkan secara penuh, utuh disalurkan untuk kepentingan rakyat. Jangan lagi disunat para bandit korup yang berhati iblis.

Kegagalan mengatasi Covid-19 akan berdampak pada pengangguran rakyat. Itu sama saja, membuka pintu gerbang atas masuknya kriminalitas. Tak boleh kita abaikan begitu saja, sekarang ini di beberapa Kota Besar di Indonesia sudah terjadi praktek kriminalitas. Pencurian dan kenakalan pemalakan mulai lahir. Hal tersebut bisa berkembang luas manakala pemerintah mengabaikan ekonomi rakyat.

Rakyat bila telah kelaparan, sudah pasti perampokan, penjarahan akan mereka lakukan. Akhirnya, praktek perlawanan terhadap instruksi pemerintah dilakukan rakyat, karena mereka kelaparan. 

Kalau situasi itu terjadi, maka yang salah adalah Negara itu sendiri. Sebab, dianggap gagal mengurus rakyat. Kemudian, penanganan wabah Covid-19 di daerah-daerah cukup menarik untuk kita telisik. Terpantau masih ada rakyat yang tidak disiplin terhadap anjuran pemerintah.

Ada yang taat, walau begitu rakyat punya alasan masing-masing. Dalam situasi genting, terdesak karena ekonomi, tentu mereka harus keluar rumah untuk bekerja. 

Tentu kali ini rakyat yang umumnya keluar rumah menggunakan masker, menjaga jarak dan mengikuti protokol kesehatan. Tragisnya, aparat pemerintah seperti Pol PP, TNI dan Polri sering bertindak kurang tepat di lapangan. Kalau kepatuhannya dilaksanakan rakyat, harusnya pemerintah juga tau diri, segera dan cepatlah salurkan bantuan untuk rakyat.

Karena kebutuhan makan rakyat tak pakai prosedur dan mekanisme yang formal itu. Makin lama pemerintah mendistribusikan bantuan sosial, makin melaratlah rakyat kalau disuruh berdia diri di rumah. Ayo, logislah kita berfikir, jangan curang sejak berfikir. Rakyat itu butuh diayomi pemerintah. 

Tidak salah itu, dimana pemerintah hidup dan dibiayai dengan uang rakyat juga. Menanggapi situasi Covid-19, rakyat berharap pemerintah berlaku adil. 

Jangan disatu sisi melarang rakyat keluar rumah, namun disisi yang lain pemerintah lamban dalam menyalurkan bantuan untuk rakyat. Kalau itu dilakukan, berarti pemerintah sama saja membunuh rakyatnya secara pelan-pelan.

Pemerintah dengan cara itu membuat rakyat mati kelaparan, bukan karena Covid-19. Nauzubillah min zalik. Ajakan pemerintah untuk melawan Covid-19 harus dibuktikan dengan keseriusannya mengedukasi rakyat, melakukan literasi, selanjutnya mempercepat bantuan pangan kepada rakyat. 

Jangan menyiksa rakyat dengan ketakutan-ketakutan informasi bahaya Covid-19, yang membuat rakyat pakin, tidak tenang. Sementara itu pemerintah menegakkan aturan seperti dalam situasi yang normal, tidak boleh menerapkan sesuatu yang anomali.

Penjarahan bisa terjadi, ketika pemerintah lamban. Selain itu, rakyat juga mengharapkan adanya informasi dan perintah yang satu, yaitu datangnya dari Presiden lalu diterjemahkan luas oleh pembantu-pembantuanya. 

Bukan menerjemahkan sesuka hati, kemudian menghilangkan substansi dari apa yang disampaikan Presiden. Contoh yang nampak adalah soal aktivitas ekonomi, yang disampaikan Presiden agar tetap berjalan biasa.

Namun, dilapangan malah terjadi penindakan bagi rakyat yang melakukan aktivitas ekonomi. Berjualan takjil dilarang, fenomena ini kita temui di Kota Manado. 

Begitu miris, boleh saja terjadi di Provinsi atau Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia. Pemerintah punya tantangan besar saat ini dalam menghentikan gelombang pengangguran yang terus bergerak.

Jangan dianggap problem-problem yang terlintas di depan mata kita sebagai sesuatu yang tak ada pengaruhnya. Ini fakta sosial hari ini, dan bukan main-main. 

Pemerintah harus lebih serius lagi memecahkan problem akibat Covid-19, jika lamban, salah mengaturnya maka berpotensi melahirkan pople power. Rakyat akan kompak melawan pemerintah, karena kenapa, mereka telah kelapara secara berjamaah. Disinilah bahayanya. Kemarahan rakyat akan membuncah, bila mereka merasa diabaikan pemerintah.

Dalam temuan di lapangan, ada juga daerah yang belum menerapkan PSBB, tapi penindak aktivitas publik seolah-olah daerah tersebut sudah berstatus PSBB. Ini yang juga patut dikritisi. 

Bagaimana jadinya, situasi di wilayah tertentu yang secara hukum dianggap tidak berbahaya (belum menyandang status PSBB), namun pemberian sanksinya pada rakyat dengan menggunakan cara-cara yang seolah-olah wilayah itu telah berbahaya Covid-19. Semua usaha rakyat disektor ekonomi dibatasi, bahkan dilarang.

Sebaiknya rakyat diberi ruang berusaha, melakukan aktivitas ekonomi. Pemerintah bertugas mengaturnya, menyesuaikan dengan protap Gugus Tugas Covid-19, bukan dilarang secara brutal. 

Kalau pelarangan intens dilakukan pemerintah, segala aktivitas rakyat dibatasi, pemerintah berarti telah bersedia untuk membawa Negara pada kebangrutan. Lambat-laun akan kesana, kita menuju ke zona kemerosotan ekonomi yang luar biasa.

Kemiskinan, pengangguran dan kriminalitas akan mengintai, jika saja penanganan Covid-19 tidak dilakukan secara baik. Ancaman tersebut jangan diremehkan, karena pemicu utamanya adalah kebutuhan ekonomi rakyat yang bergerak tiap saat. 

Pemerintah sudah harus lebih cepat bergerak dari yang biasanya, menemui rakyat, berikan hak-hak rakyat yang harus diberikan di era Covid-19 ini. 

Segala macam pidato yang penuh syahwat politik disudahi dulu. Janji-janji manis untuk rakyat terdampak Covid-19 dihentikan saja. Bersegeralah turun bantu rakyat yang mulai terhimpit karena kebutuhan ekonomi. Rakyat yang lapar tak butuh retorika politik penguasa, tapi tindakan nyata yang bersifat populis.

Kita menanti agar semua situasi segera membaik. Liburan panjang bagi para siswa SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi ''cukup melelahkan'', mereka diberi kesempatan belajar dari rumah. 

Belajar dari rumah, berbeda dengan belajar di sekolah atau di kampus tentunya. Apalagi fasilitas yang diberikan kurang menunjang proses belajar dari rumah, hal ini menambah akumulasi masalah di dunia pendidikan kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun