Biasalah politisi, simpatisan sampai antek-anteknya tak rela kalah, apalagi dikalahkan dengan cara-cara tidak etis dalam panggung politik. Pada ruang inilah batas atas anjuran Gugus Tugas covid-19 dan geliat kepentingan politik berseteru. Jadi, hanya dua realitas yang akan muncul nantinya.
Realitas pertama adalah apatisme. Kurangnya minat para pemilih, menurun drastisnya partisipasi pemilih karena masyarakat takut covid-19. Dan yang kedua, akan terjadi pembangkangan, pelanggaran terhadap protak kesehatan (Satgas covid-19) yang menganjurkan masyarakat menghindari kerumunan. Inilah bahayanya bila Pilkada dipaksanakan di tengah gelombang covid-19.
Mari kita rasional melihat dan membandingkan. Dikala situasi tanpa pandemi covid-19, aktivitas di rumah ibadah tidak dibatasi, tak ada penghentian aktivitas disana (Baca Pergub Sulawesi Utara Nomor 8 Tahun 2020), maka penyelenggara Pemilu terbantu dalam mekanisme sosialisasinya. Melalui mimbar rumah ibadah sosialisasi agenda Pilkada disisip.
Sekarang pasti berbeda keadaannya. Di mana semua rumah ibadah di Provinsi Sulawesi Utara maupun di Provinsi lainnya di Indonesia juga dibatasi dan dihentikan aktivitasny. Atas nama menghindari penyebaran covid-19, kebijakan tersebut diambil.Â
Artinya apa? Kita dalam situasi serius melawan covid-19. Kok, Pilkada mau dilaksanakan? Aneh bin ajaib ini namanya. Penyelenggara Pemilu kehilangan instrumen sosialisasi yang strategis seperti melalui tokoh-tokoh agama guna menghimpun dan meningkatkan partisipasi publik dalam berdemokrasi.
Dari segi beban kerja makin menumpuklah tugas, sekaligus tantangan para penyelenggara Pemilu di era covid-19. Utamanya yang Badan Adhoc, semoga ada tambahan gaji (honorarium) atau dana operasional untuk mereka.Â
Belum lagi mereka bekerja di tengah badai covid-19. Nyawa, keselamatan mereka terancam. Sebab di era sekarang ini kata Dokter, rentan terkena covid-19 bagi mereka yang sering ke luar rumah.
Apa kabar kualitas Pilkada Serentak kalau begitu?. Kita sebagai masyarakat jelata hanya berharap pemerintah bijaksana. Bukan karena desakan kepentingan politik semata, sehingga dalam ancaman covid-19 Pilkada dipaksakan. Boleh saja, akan bermunculan korban jiwa kalau elit pemerintah dan stakeholder ngotot saja Pilkada dilaksanakan 9 Desember 2020.
Pilkada digelar 9 Desember 2020, maka kita ramai-ramai merayakan praktek "kaki gatal" melawan anjuran Satgas covid-19. Situasi ini memang diakui tidak mudah, walau oleh segelintir orang pemburu kepentingan begitu dinanti.Â
Dilain pihak, ada gelombang kontra bahkan relatif banyak yang kurang sependapat bila Pilkada dirancang terlalu terburu-buru. Sebab bisa jadi, imbauan jaga jarak nantinya hanya mejadi kenangan. Wallahu walam bissawab....
Belum lagi seperti yang disampaikan Presiden Jokowi bahwa pandemi covid-19 tidak hanya mengakibatkan masalah kesehatan masyarakat, tapi juga membawa implikasi ekonomi yang luas. Sehingga banyak negara menemui tantangan berat. Selain itu, batas waktu dan puncak covid-19 di Indonesia juga tergolong panjang.