Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menabrak Bara Covid-19, Jalan Terjal Menuju Pilkada 9 Desember 2020

14 April 2020   20:52 Diperbarui: 17 April 2020   00:22 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penentuan terkait pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 9 Desember 2020, Selasa 14 April 2020, dalam implementasinya nanti tak luput dari problem rintangan yang mengikutinya. 

Betapa tidak, ditengah upaya pemerintah mencegah penyebaran Virus Corona (Covid-19), penyelenggara Pemilu bersama Komisi II DPR RI tergolong berani menerima resiko dengan menyepakati Pilkada Serentak dilaksanakan 9 Desember 2020.

Tidak terlalu urgen Pilkada dipaksakan 9 Desember 2020, sebetulnya. Kalau stakeholder terkait memahmi betapa perlunya didahulukan sisi kemanusiaan. Kemudiam mematuhi instruksi, imbauan dan anjuran pemerintah terkait social distancing. Menjaga jarak yang dikampanyekan pemerintah agar ditaati rakyat Indonesia.

Sedangkan di kanal lain, penyelenggara Pemilu, Komisi II DPR RI dan Mendagri cukup punya nyali mau menetapkan 9 Desember 2020 sebagai waktu pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. 

Pilkada yang awalnya diagendakan 23 September 2020, karena pertimbangan wabah Covid-19, akhirnya digeser menjadi tanggal 9 Desember 2020. Yang nantinya akan dilegalkan dengan PERPU, kita mendoakan agar Presiden Jokowi diberi hikmat untuk menimbang ulang kesepakatan tersebut.

Publik tentu menghargai kewenangan stakeholder terkait. Hanya saja, publik juga punya hak menyampaikan pendapatnya. Bahwa atas keputusan pergeseran itu akan berdampak serius pada fondasi demokrasi kita. 

Yang pertama, kepatuhan penyelenggara Pemilu terhadap perintah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih dapat dinegosiasikan, bersifat relatif. Hal ini kita harapkan juga berlaku ke rakyat secara merata.

Kedua, ketika benar 9 Desember 2020 menjadi momentum Pilkada Serentak meski pandemik Covid-19 tengah mengancam kesemalatan rakyat. Maka, kedepan boleh jadi kehadiran para penyelenggara Pemilu saat melakukan verifikasi Faktual akan menuai penolakan rakyat. 

Ada kesulitan yang berbeda dengan situasi normal, seperti Pilkada sebelum-sebelumnya. Ketiga, konteks Pilkada ini membawa kesan penyelenggara Pemilu tak mau kehilangan proyek demokrasi.

Melaksanakan Pilkada dengan melewati badai Covid-19, boleh saja berpengaruh terhadap hasil yang berkualitas. Apalagi beberapa Tahapan Pilkada sempat dilakukan penundaan.

Sedangkan kerja penyelenggara Pemilu itu berjenjang, sistematis dan melalui tingkatan. Jangan diabaikan fakta tersebut. Publik tentu berharap, bukan atas dorongan hawa nafsu kepentingan politik, sehingga Pilkada Serentak dipaksakan 9 Desember 2020. Konsekuensi lainnya penyelenggara Pemilu memerlukan payung hukum baru.

Dimana sebelum-sebelumnya, terdapat banyak pengamat, tokoh masyarakat, akademisi, aktivis pro demokrasi dan praktisi politik berpendapat bahwa efektifnya opsi penundaan Pilkada 23 September 2020 dapat dilaksanakan pada Tahun 2021. Ternyata, opsi tersebut kurang mendapat posisi yang baik disaat rapat. Mendagri, Komisi II DPR RI, KPU RI, Bawaslu RI dan juga DKPP, Selasa 14 April 2020 lebih tertarik menetapkan tanggal 9 Desember 2020 untuk dilaksanakannya Pilkada Serentak. Kita patut berfikir positif, walau begitu tetap memperhitungkan dan waras membaca batas waktu yang akan ditempuh atau dipergunakan penyelnggara Pemilu.

Akankah insiden kematian penyelenggara Pemilu seperti ditingkat adhoc pada Pemilu 2019, akan kembali terjadi?. Pada tahun 2019, belum ada Covid-19, namun kematiannya cukup menakutkan. Eskalasinya tinggi, tak patut kita kesampingkan. Kini, 2020 gelombang Covid-19 sedang garangnya menghantui serta menyerang rakyat.

Demokrasi kita seperti berada di atas bara api. Bila para penyelenggara Pemilu lalai, tidak selektif, tidak punya tanggung jawab tinggi, lemah loyalitasnya pada kinerja, maka demokrasi kita akan mengalami destruksi serius.

Pelemahan itu kalau ditakar, bukan ancamannya datang dari luar. Melainkan, dari internal penyelenggara Pemilu sendiri. Penyelenggara kita doakan agar terhindari dari bahaya jahat Covid-19. 

Sembari pengawasan publik terus kita tingkatkan. Jangan dianggap remeh, mestinya bencana nasional ini dipatuhi penyelenggara Pemilu dengan menunda, mengalihkan waktunya beberapa bulan untuk berstirahat.

Sebegitu seriusnya kita mau menyukseskan Pilkada 9 Desember 2020, dengan kita ikut mendorong agar protokol kesehatan tetap menjadi kiblat dan peta jalan dalam kerja-kerja penyelenggara Pemilu. Selain itu, terpaut dengan anggaran. 

Benarkah pemerintah daerah belum melakukan pergeresaran anggara Pemilu untuk urusan mencegah dan menanggulangi Covid-19?. Semoga tak menjadi polemik. Sebab, perihal anggaran yang fantastik ini boleh menjadi alasan dibalik ditetapkannya Pilkada 9 Desember 2020.

Penyelenggara Pemilu ketika kita membaca kecenderungannya, tak mau melakukan penundaan Pilkada sampai 2021. Karena berbagai argumen tentunya. Sebagai rakyat kecil, kita perlu mengingatkan mereka agar hati-hati dalam penggunaan anggaran. 

Agar kemudian tak menjadi masalah kedepannya. Ketika kita menggunakan paradigma kritis, maka dapat pula ditarik kesimuplan sementara pelaksanaan Pilkada 9 Desember 2020 akan tidak maksimal hasilnya.

Kesimpulan sementara itu didukung dengan situasi sosial ekonomi kita di tanah air saat ini. Kesulitan masyarakat mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan dapur dan menopang hidupnya begitu terasa disaat Covid-19 ini. Slogan Stay at home, jaga jarak dan pembatasan sosial kini menjadi tradisi baru bagi rakyat Indonesia. 

Hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap partisipasi konstituen. Publik covid-19. Berbeda kondisinya, di era Covid-19 rakyat menjadi anti-sosial. Tentu hal itu mempengaruhi psikologi rakyat sehingga menjadi pasif saat merespon kehadiran para penyelenggara Pemilu.

Dari perspektif sosial, kondisi seperti pelaksanaan kampanye calon Kepala Daerah nantinya akan tidak maksimal. Boleh jadi kedepan, bila Pilkada dipaksakan 9 Desember 2020, maka akan terlahir Kepala Daerah yang abal-abal. 

Sosialisasi visi misi para calon Kepala Daerah tidak berjalan dengan baik nantinya karena ketakutan terhadap penyebaran Covid-19. Bagaimana pun itu, Pilkada di muslim Covid-19 ini baru pertama terjadi di Indonesia. Jika pemerintah akhirnya menetapkan hal itu.

Idealnya, penyelenggara Pemilu berfikir holistik. Memastikan bahwa nasib dan keselamatan rakyat adalah prioritas. Jangan dilangkahi abaikan hal ini. Kalau mau disurvey, rakyat kebanyakan memilih Pilkada ditunda sampai Tahun 2021. 

Harapan kita, rakyat yang positif Covid-19 tidak lagi bertambah. Jangan kemudian, atas keputusan stakeholder soal Pilkada 9 Desember 2020 malah meningkatkan jumlah penderita Covid-19.

Indonesia dalam situasi abnormal, karena gelombang Covid-19 yang begitu kencang. Penyelenggara Pemilu, DPR RI, dan Mendagri perlu berfikir jernih dalam mengambil keputusan. 

Bijaksana dan ariflah pemerimtah kita dalam memutuskan penetapan waktu Pilkada Serentak. Sebab, Covid-19 yang akan menyasar nyawa manusia ini tidak memilih kawan maupun lawan. Kita harus berfikir bersama dan serius. Ikhtiar demokrasi yang dilakukan sekarang cukup riskan. Mari kita menitipkan semua upaya ini dalam doa, agar wabah badai Covid-19 segera berakhir.

Perhatikanlah, pemerintah meminta rakyatnya jauh dari kerumunan. Tak boleh standar ganda. Anjuran itu kalau pun diinterupsi dengan dilaksanakannya Pilkada 9 Desember 2020, itu berarti tak ada keteladanan. Berarti juga pikiran panik, kegundahan, kerisauan dan ketakutan rakyat tentang Covid-19 akan dapat teratasi, kita bukan berada dalam bahaya Covid-19. Minimal, ada tanda dan isyarat bahwa percepatan penyebaran Covid-19 mulai terhenti. Rakyat akan aman, terhindar dari Covid-19. Pilkada 9 Desember 2020, memerlukan sosialisasi yang ekstra maksimal.

Analoginya, publik seperti diajak menabrak bara Covid-19 karena kini jumlah rakyat positif Covid-19 di Indonesia makin meningkat. Sedangkan, penyelenggara Pemilu bersama DPR RI, dan Mendagri tengah menyediakan impian tentang kejayaan demokrasi. 

Hemat saya, rakyat akan diajak naik dalam jalan terjal mencari-cari cahaya dan kejayaan demokrasi. Itu semua tidak sulit dalam situasi saat ini. Covid-19 yang merupakan senjata biologis ini mematikan, tidak terdeteksi kasat mata kita, perlu meningkatkan kewaspadaan. Melawannya butuh mental, imunitas dan keberanian yang kuat.

Untuk diketahui, sesuai data yang dipaparkan, Achmad Yurianto juru bicara penanganan Covid-19 melalui siaran pers BNPB Indonesia, Selasa 14 April 2020 total kasus ada 4.839 kasus positif Covid-19 di Indonesia. 426 orang yang sembuh, total yang meninggal 456 orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun