Karena kepemimpina itu soal karakter. Pemimpin yang terbiasa berbohong, akan terusnya menjadi pembohong. Kecuali Tuhan memberi hidayah atau takdir lain, hanya Tuhan yang dapat menegur pemimpin pembohong seperti itu.
Bermuka manis, memberi janji, memamerkan kesantunan, berpura-pura merakyat, padahal hanya menipu. Menggunakan topeng saat berada dalam posisi membutuhkan suara masyarakat disaat Pemilu atau Pilkada.Â
Demi menghindari kecelakaan dalam memilih lagi, maka masyarakat perlu membiasakan diri, berani melawan pemimpin pembohong. Caranya, tidak memilih mereka.
Jangan berani menyerahkan kepercayaan kepada pemimpin penghianat. Sebab, masyarakat akan dibuat sengsara. Yang dilakukan hanya mengurus keluarga dan antek-anteknya untuk memperkaya diri. Pemimpin model begitu biasanya, setelah menang melakukan bagi-bagi jatah kekuasaan dengan mengambil keuntungan dalam proyek.
Tukar tambah gagasan dan kemajuan hanya formalitas mereka tunjukkan. Selebihnya, orientasinya mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Bahkan, kadang politisi munafik memang begitu berani memanfaatkan mimbar rumah ibadah untuk mencari suara. Begitu disayangkan, harusnya rumah ibadah dan kegiatan keagamaan menjadi ladang tabungan amal untuk kehidupan akhirat, bukan dipolitisir.
Hasilnya, masyarakat yang mengenang masa depan sebagai sebuah realitas kejayaan, hanya menjadi mimpi, tak terwujud ditangan politisi ingkar janji. Tentu politisi yang dituju secara spesifik adalah mereka politisi yang mulai strat kampanye, memasang baliho dan turun bulusan di Sulawesi Utara. Baik yang berencana maju di kancah Pilwako Manado, Pilgub Sulawesi Utara maupun Pilbup.
Mereka yang pernah memimpin dileval Kabupaten/Kota memang memiliki tantangan yang tidak ringan. Karena kerja-kerja konkrit mereka yang nanti menjadi andalan, garansi dan indikator bahwa mereka punya karya kepada masyarakat. Bukan sekedar klaim atau pencitraan. Jika kinerjanya mantap, maka yang diraih tentu dukungan meluas. Sebaliknya, jika kinerjanya jelek, maka masyarakat akan mengadilinya dengan tidak memilih politisi tersebut.
Rumus itu rasional dalam alam demokrasi kita. Dan mestinya sepeti itu, jangan berikan kesempatan kepada para pendusta memimpin masyarakat. Pendusta tetaplah akan menjadi pendusta, janji yang disampaikan ke masyarakat jangan langsung dipercaya masyarakat.Â
Harus difilter, masyarakat punya waktu untuk memilih dan memilah pemimpin yang pantas dan layak dipilih. Stop, jangan tertipu dengan janji palsu para pemburu kekuasaan.
Biasanya juga, pemimpin pembohong ini kecenderungannya rakus. Mereka kebanyakan menjadi pasien penegak hukum. Ya, tentu karena disinyalir atau diduga melakukan korupsi. Lupakan mereka pemimpin yang senang menyebar dan menjanjikan janji palsu, mereka pembohong ulung. Politisi pembohong memang fasih bicaranya, santun dan kadang kala berpura-pura bersih, padahal mereka sedang menutupi kejahatannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H