Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Tertipu Janji Manis Politisi

25 Januari 2020   10:36 Diperbarui: 26 Januari 2020   09:18 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, politisi pembohong (wowtribunnews.com)

Tidak semua politisi pandai obral janji. Ada yang gagap dan kaku dalam berjanji. Seperti itu pula, ada politisi yang doyan berjanji, tapi mengingkari. Ada politisi yang santun berucap, bermain citra baik, padahal esensinya, penipu. 

Berhati-hatilah masyarakat sebagai konstituen, jangan tertipu. Sangat sedikit, politisi yang mampu memanifestasikan janjinya, itu pun tidak mencapai 100% janji ditunaikan.

Apalagi ini musim politik, hajatan Pilkada Serentak 2020 mulai bergema. Di Provinsi Sulawesi Utara sendiri, fenomena politisi ingkar janji banyak. Baik di Kabupaten/Kota, sampai tingkat Provinsi kalau kita telisik, pasti ada oknum politisi inkonsisten dalam perjuangan membela kepentingan masyarakat. Bagi masyarakat, apa caranya mengahapi politisi seperti itu? Kiranya penting membangun benteng kesadaran kritis.

Jadilah pemilih yang rasional, mandiri dan tidak lekas lupa dengan perilaku oknum politisi bandit. Penyamaran mereka terbilang canggih, di pentas politik atas pangging dan saat bicara di podium, berbeda dengan setelahnya. Berbincang dan menjanjikan sesuatu untuk masyarakat saat silaturahmi atau tatap muka, sesudahnya ia ingkari. Pura-pura pikun.

Bahaya, demokrasi memproduksi para bandit seperti ini. Masyarakat direduksi posisinya, hanya menjadi objek yang diperalat politisi. Itu sebabnya, saling mengingatkan jangan sampai masyarakat secara kolektif terjebak lagi dalam tipu daya politisi berhati kanibal. Gali dan aktifkan kembali memory kolektif tentang janji-janji politisi yang sampai saat ini belum ditunaikan.

Semua ''topeng politik'' itu dibongkar. Sebetulnya inilah ''aib politik'', tapi sekedar menjadi semacam alarm saja, jangan menjadi saklar lalu menggelapkan salamanya masa depan politisi munafik seperti itu. 

Cukup menjadi alarm, membunyikan kegagalan politisi yang menebar janji, tapi tidak menunaikannya. Masyarakat harus beri ganjaran sosial, dengan tidak memilih lagi politisi pembohong, ingkar janji.

Masyarakat jangan cepat lupa dengan pembodohan sistematis yang dilakukan politisi. Masih banyak politisi lain yang punya hati mulia, tidak terindikasi korupsi pula. Kita tidak krisis kepemimpinan sebetulnya, hanya saja politik transaksional menguasai demokrasi kita, sehingga secara otomatis meninggalkan kaum politisi berintegratas dan idealis. Mereka tenggelam, tidak terpublikasi.

Jangan disepelehkan, karena kita menyesal nantinya. Bila memilih lagi politisi pembohong, gadaikan janji demi suara yang diraih, lalu masyarakat ditinggalkan, jangan lagi tertipu. 

Sadarlah, bermutasi kita menjadi pemilih kritis, rasional, mengukur rekam jejak politisi dengan jernih dan jujur. Mereka para bandit, penipu masyarakat jangan dipilih lagi. Kita review kebelakang, apa yang mereka lakukan untuk masyarakat umumnya.

Segera melangkah, jangan tertipu dan memilih lagi pemimpin pendusta. Apa jadinya kehidupan masyarakat kelak, bila kepemimpinan masih diberikan kepadanya?. Yang terjadi hanya ada penyesalan, cacian dan umpatan dari masyarakat. 

Karena kepemimpina itu soal karakter. Pemimpin yang terbiasa berbohong, akan terusnya menjadi pembohong. Kecuali Tuhan memberi hidayah atau takdir lain, hanya Tuhan yang dapat menegur pemimpin pembohong seperti itu.

Bermuka manis, memberi janji, memamerkan kesantunan, berpura-pura merakyat, padahal hanya menipu. Menggunakan topeng saat berada dalam posisi membutuhkan suara masyarakat disaat Pemilu atau Pilkada. 

Demi menghindari kecelakaan dalam memilih lagi, maka masyarakat perlu membiasakan diri, berani melawan pemimpin pembohong. Caranya, tidak memilih mereka.

Jangan berani menyerahkan kepercayaan kepada pemimpin penghianat. Sebab, masyarakat akan dibuat sengsara. Yang dilakukan hanya mengurus keluarga dan antek-anteknya untuk memperkaya diri. Pemimpin model begitu biasanya, setelah menang melakukan bagi-bagi jatah kekuasaan dengan mengambil keuntungan dalam proyek.

Tukar tambah gagasan dan kemajuan hanya formalitas mereka tunjukkan. Selebihnya, orientasinya mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Bahkan, kadang politisi munafik memang begitu berani memanfaatkan mimbar rumah ibadah untuk mencari suara. Begitu disayangkan, harusnya rumah ibadah dan kegiatan keagamaan menjadi ladang tabungan amal untuk kehidupan akhirat, bukan dipolitisir.

Hasilnya, masyarakat yang mengenang masa depan sebagai sebuah realitas kejayaan, hanya menjadi mimpi, tak terwujud ditangan politisi ingkar janji. Tentu politisi yang dituju secara spesifik adalah mereka politisi yang mulai strat kampanye, memasang baliho dan turun bulusan di Sulawesi Utara. Baik yang berencana maju di kancah Pilwako Manado, Pilgub Sulawesi Utara maupun Pilbup.

Mereka yang pernah memimpin dileval Kabupaten/Kota memang memiliki tantangan yang tidak ringan. Karena kerja-kerja konkrit mereka yang nanti menjadi andalan, garansi dan indikator bahwa mereka punya karya kepada masyarakat. Bukan sekedar klaim atau pencitraan. Jika kinerjanya mantap, maka yang diraih tentu dukungan meluas. Sebaliknya, jika kinerjanya jelek, maka masyarakat akan mengadilinya dengan tidak memilih politisi tersebut.

Rumus itu rasional dalam alam demokrasi kita. Dan mestinya sepeti itu, jangan berikan kesempatan kepada para pendusta memimpin masyarakat. Pendusta tetaplah akan menjadi pendusta, janji yang disampaikan ke masyarakat jangan langsung dipercaya masyarakat. 

Harus difilter, masyarakat punya waktu untuk memilih dan memilah pemimpin yang pantas dan layak dipilih. Stop, jangan tertipu dengan janji palsu para pemburu kekuasaan.

Biasanya juga, pemimpin pembohong ini kecenderungannya rakus. Mereka kebanyakan menjadi pasien penegak hukum. Ya, tentu karena disinyalir atau diduga melakukan korupsi. Lupakan mereka pemimpin yang senang menyebar dan menjanjikan janji palsu, mereka pembohong ulung. Politisi pembohong memang fasih bicaranya, santun dan kadang kala berpura-pura bersih, padahal mereka sedang menutupi kejahatannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun