Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Parpol Menjadi Agen Pencerahan Demokrasi

29 Desember 2019   18:41 Diperbarui: 30 Desember 2019   07:12 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, pohon etika politik | koleksi pribadi

Dalam praktek politik ada fatsun, atau sopan santun. Dapurnya harus melalui partai politik (Parpol). Hanya saja sering Parpol mengabaikan, dilangkahai dan tidak menjadi patokan bagi para politisi atau tim sukses yang bertindak sebagai pemenang kandidat pemimpin tertentu. Dampaknya, interaksi seperti di dunia maya atau media sosial menjadi begitu memprihatinkan. Hampir dominan pencemaran terjadi, semisal akun Facebook, Twitter dan medsos lainnya mengunggah berita yang memicu masalah.

Kebenaran diperdebatkan. Arogansi intelektual dipertontonkan dan merasa paling benar menjadi semacam pakaian mereka generasi di era digital. Sebetulnya, etika politik di kancah perpolitikan modern perlu dirapikan Parpol. Menjadi bekal, modal serta penyelamat nalar sehat bagi jagat politik kita. Kurang tepat tampil dengan kapalsuan dan mengacaukan sarana digital dengan informasi hoax dan pembunuhan karakter. Parpol itu agen pencerahan demokrasi. Sebagai institusi duta bagi pendidikan demokrasi.

Seperti itu pula politik jangan menggunakan kecenderungan nihilisme. Menganggap bahwa semua percakapan di dunia ini tidak menentu, lalu menebar ancaman dan ketakutan kepada pihak lain melalui media sosial. 

Berpolitik harus punya tata krama, tidak boleh fulgar dan frontal yang efeknya menimbulkan huru-hara. Dan prinsip etis itu harus ditunjukkan, dimulai dari para politisi. Jangan lagi politisi tampil di media sosial dengan mengupload sesuai yang memicu ketidaknyamanan publik.

Berpolitiklah dengan santun dan riang gembira. Lalu disipin Parpol menjadi teladannya. Parpol menjadi mesin pencerah bagi kader dan simpatisannya, kemudian secara umum menjadi rujukan bagi masyarakat. Tak boleh politisi menjadi pendengki, memanas-manasi masyarakat untuk terlibat perseturuan. Parpol harus punya kemampuan menyatukan masyarakat. Bukan mempolarisasi masyarakat yang tengah hidup dalam kerukunan, damai dan penuh ikatan solidaritas.

Bergentayangannya akun-akun Facebook anonim atau akun palsu di Facebook dengan menggunakan nama samaran sering menjadi biang masalah. Hal ini menjadi tantangan bagi politisi modern. Berdiri tegak, rutin mengedukasi masyarakat bagaimana cara menggunakan media sosial yang baik. Era digital harus dimanfaatkan sebagai sarana kampanye yang membangun. Kebebasan menggunakan media sosial jangan digiring untuk hal-hal yang merusak persatuan kita demi kemenangan politik.

Politisi harus clear dari hal sederhana seperti itu. Penganut aliran politik ''peselancar'' dan para pemancing ''di air keruh'' memang tidak sedikit die rah informasi teknologi ini. Karena sering kali dari media itulah mereka mengais keuntungan, mencari nafkah. Tapi karena dasarnya itu cara-cara yang merusak kebersamaan masyarakat, maka harus dihambat kemunculan mereka. Strategi menghambatnya, tentu dengan memperkuat edukasi masyarakat.

Bangun kesadaran masyarakat agar selektif membaca atau mengkonsumsi dan menikmati informasi di era akselerasi informasi ini. Jika salah membaca informasi, kemudian langsung membagikannya ke pihak lain, berpeluang memunculkan kekacauan dan konflik. 

Yakinlah jika kesadaran lambat-laun dibentuk, maka provokasi sekuat apapun di media sosial, masyarakat akan kebal dan tau caranya melawan. Politisi tidak boleh alpa dalam membendung kuatnya arus informasi hoax yang beredar di jagat digital.

Mengutip apa yang pernah disampaikan Haji Oemar Said Tjoroaminoto ''jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator''. 

Seperti itu pula, harapan kita masyarakat tentang politisi kita yang menjadi pemimpin publik. Harus punya kemampuan setidak-tidaknya menjadi pencerah, menuliskan gagasan-gagasan pemersatu, membangkitkan publik agar bergairah bekerja bersama masuk dalam pusaran pembangunan.

Politisi harus dinamis, tak stagnan dalam level peningkatan kualitas diri. Perlu mengembangkan kapasitas secara intensif. Tidak boleh mengganti kulit menjadi tukang adu domba masyarakat, jadilah cahaya yang menerangi masyarakat. 

Usaha nyata yang dapat dilakukan juga selain menjalankan fungsi sebagai politisi, yaitu mengaktualisasikan etika politik. Jauhkan diri dari sikap politisi yang bergerak serampangan, brutal dalam komunikasi politiknya.

Ketika semua politisi tau etika politik, tentu dunia politik aman. Tanpa ada lagi pertentangan, hilanglah praktek-praktek diskriminasi dan perlakuan tidak adil antara sesama masyarakat. 

Tentu kita optimis bila kesadaran politik dibangun diatas etika politik, maka perbaikan akan dirasakan hasilnya. Rute politik menjadi terang, jauh dari kegelapan politik yang penuh konspirasi jahat. Politik itu harus berangkat dari proses pencerdasan, seorang politisi harus berlaku adil dari dirinya.

Kemudian, ditularkan keadilan itu di tengah-tengah masyarakat. Tanpa terasa peradaban politik akan mengalami pemulihan, masyarakat makin meningkat kesadaran politiknya. 

Tidak lagi ribut saling menyalahkan, klaim kebenaran akan mereka tinggalkan. Beralih ke ruang-ruang dialektika politik yang lebih bermanfaat. 

Politik itu ada nilainya, bukan tanpa nilai. Moralitas, etika, keadilan dan kebenaran umum inilah yang menjadi kemewahan politik. Jangan dikerdilkan atau ditinggalkan.

Politisi memang tidak harus mengkultuskan dirinya juga. Mereka harus pandai beradaptasi, mendengar jeritan dan keluhan masyarakat lalu diperjuangkan. 

Politisi yang baik adalah pendengar yang baik, serta pekerja bagi kepentingan masyarakat. Apalagi yang telah menjadi legislator atau wakil rakyat, mereka ini babu, ia pelayan bagi masyarakat. Bukan bosnya masyarakat, walaupun fenomena pelayan publik jarang diperlihatkan para wakil rakyat.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun