Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gelombang Pragmatisme Politik dan Tercerabutnya Demokrasi

26 Desember 2019   21:58 Diperbarui: 27 Desember 2019   07:57 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com/LAKSONO HARI W)

Seperti sudah menjadi takdir dalam politik, bahwa uang dan materi adalah ukuran mutlak seorang politisi untuk menang. Padahal ini sebetulnya salah kaprah terhadap politik. 

Kebiasaan buruk politisi borjuis yang mementaskan kekayaannya kepada masyarakat bukanlah jalan kebenaran dalam politik. Itu fatal dalam hal menumbuhkan mutu demokrasi. Cara menyesatkan yang menjebak demokrasi menuju praktik-praktik mulia musyawarah mufakat, gotong-royong, egaliter, dan solidaritas.

Demokrasi itu bukan tentang penguasaan modal. Jangan mengukur demokrasi dengan pakaian kapitalis. Tentu hal tersebut tidak sejalan dan akan bertentangan dengan inti demokrasi. 

Pelaksanaan kehendak yang masuk melalui politik pragmatis akan melumpuhkan perjalanan demokrasi. Tidak hanya itu, praktik transaksional dalam berdemokrasi membawa demokrasi keluar rute yang sesungguhnya. Demokrasi itu tentang penghargaan terhadap kemajemukan, kebersamaan, dan persatuan.

Itu sebabnya, demokrasi layak dijalankan dengan penuh cinta kasih dan mengikat di hati masyarakat. Jangan mengandalkan relasi kekuasaan dan penguasaan modal dengan kepentingan picik. Salah satu bagian yang membuat demokrasi kita mengalami kemunduran karena adanya ancaman badai pragmatisme. 

Kesadaran masyarakat harus terlebih dahulu disentuh. Masyarakat perlu tahu bahwa mereka membutuhkan pemimpin yang peka, punya kepedulian. Jangan kacaukan pikiran masyarakat dengan virus pragmatisme politik yang menggunakan pendekatan materi sebagai kompensasi dalam pilihan politik masyarakat.

Pijakan politik pun tanpa kita sadari mulai bergeser dengan badai pragmatisme. Masyarakat diajak, dikonstruksi pemikirannya tentang potret pemimpin populis dan peduli adalah mereka yang memberikan uang di saat Pemilu atau Pilkada dilaksanakan.

Sedangkan para politisi, pekerja sosial, dan mereka yang mendampingi masyarakat jauh sebelumnya, tidak memberikan uang di momen politik, ditinggalkan begitu saja.

Badai politik pragmatis dan oportunisme akan selalu menghantui demokrasi. Karena terbukanya mekanisme pemilihan kepemimpinan yang dibuat, masyarakat bebas berinteraksi, mengakses calon pemimpin dalam hal ini politisi. 

Begitu pula dengan para politisi yang punya keleluasaan bertemu dan mengonsolidasi masyarakat untuk kepentingannya. Keterbukaan itu jangan dimanfaatkan dengan mengapitalisasi masyarakat. Atau berusaha melakukan praktik pembodohan politik kepada publik.

Terendus memang, ada sebagian politisi menjadikan politik sebagai hal "domestikasi". Mengeruk kekayaan, bukan pengabdian secara murni. Hal ini juga memberi pengaruh terhadap perjalanan perpolitikan Tanah Air, yang fluktuatif dan banyak ditemui konflik kepentingan ketimbang kolaborasi. 

Variabel tersebut mereduksi politik dari marwah sebenarnya. Membuat wajah dari politisi kita tercemar dengan stigma buruk. Mereka dianggap sebagai individu yang hanya menjadikan politik sekadar sarana mencari nafkah.

Label negatif itu tanpa disadari ikut menurunkan partisipasi politik publik, juga melahirkan distrust masyarakat terhadap parpol, lebih khusus kepada politisi.

Kita mestinya keluar dari label tersebut yang menyeret politisi pada ruang sempit. Politisi harus menampilkan dan mengangkat sisi moralitas, estetika berpolitik, edukasi, dan pengabdian yang sesungguhnya. 

Dengan begitu masyarakat benar percaya, harapan yang dititipkan di pundak politisi perlu dibuktikan melalui pengabdian pelayanan. Jangan dibalas dengan kepengecutan, inkonsistensi, dan pengkhianatan terhadap itu semua. 

Politik pragmatis malah menambah beban itu, mengaburkan pelayanan politisi. Politik bukan ruang saweran, di mana saat ada kelebihan lalu politisi memberikan sesuatu rezeki ala kadarnya.

Jangan kemudian di ujung semua pemberian itu dipolitisasi. Kemudian masyarakat ditagih untuk memilih dirinya di saat kompetisi politik. Inilah yang menjadi kurang elok, pemberian dalam politik ditafsir sebagai sesuatu yang memiliki watak penanaman investasi politik. Tidak ada keikhlasan dan ketulusan dalam memberi. 

Susah rasanya kita mendapati politisi dermawan, yang didapat hanyalah politisi kolonial. Yang ''menjajah'' masyarakat dengan tukar kepentingan secara halus. Kebaikan yang diberikan ternyata tidak gratis, kelak akan diminta agar masyarakat membalasnya berupa pilihan politik sebagai imbalan.

Politik disulap menjadi seolah-olah tempat menggadai atau menjaminkan janji. Hanya di Pegadaian kita mengenal motto, "menyelesaikan masalah tanpa masalah".

Bahkan lebih ekstrem kita temui, di politik antara harapan dan kenyataan selalu mengalami kesenjangan. Kecuali kita beruntung, memiliki garis tangan, barulah kemujuran itu berpihak, dan kita bisa menemui pemimpin yang konsisten lahir batin mengabdi.

Retorika politik dipentaskan hanya sebagai wujud kamuflase, itu yang sering kali terjadi. Janji diobral murahan. Pada akhirnya senjata politisi yang sangat merusakan ialah menggunakan jalur ''serangan fajar'' dan politik transaksional yang merusak demokrasi.

Praktik demokrasi menjadi berpindah, dari pengabdian ke cara-cara sampah dan murahan. 

Masyarakat ditelikung akhirnya, hanya dengan memberi seratus sampai dua ratus rupiah, nasib masyarakat selama lima tahun diabaikan. Rumusnya, politisi mereka tidak lagi berhutang budi pada masyarakat, karena suara dukungan yang diberikan itu bagian dari belanja politik. Politik menjadi semacam pasar modal.

Tak ada ikatan moral dan perasaan kebersamaan. Politisi memposisikan konstituen sekadar objek yang diolah atau ditindas, sehingga cara licik digunakan politisi demi mendapatkan dukungan. Selepasnya, urusan kepentingan publik tidak lagi diperhatikan sang politisi. 

Politik pragmatis merupakan senjata paling ampuh untuk membunuh harapan masa depan masyarakat. Karena hanya bersifat jangka pendek.

Sejatinya, kita mengajak masyarakat menolak secara bersama praktik politik pragmatis tersebut. Tak ada alasan yang membenarkan praktik kotor dalam politik dilanggengkan. Politik transaksional lebih banyak keburukannya, ketimbang kebaikan. [**]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun