Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gelombang Pragmatisme Politik dan Tercerabutnya Demokrasi

26 Desember 2019   21:58 Diperbarui: 27 Desember 2019   07:57 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com/LAKSONO HARI W)

Variabel tersebut mereduksi politik dari marwah sebenarnya. Membuat wajah dari politisi kita tercemar dengan stigma buruk. Mereka dianggap sebagai individu yang hanya menjadikan politik sekadar sarana mencari nafkah.

Label negatif itu tanpa disadari ikut menurunkan partisipasi politik publik, juga melahirkan distrust masyarakat terhadap parpol, lebih khusus kepada politisi.

Kita mestinya keluar dari label tersebut yang menyeret politisi pada ruang sempit. Politisi harus menampilkan dan mengangkat sisi moralitas, estetika berpolitik, edukasi, dan pengabdian yang sesungguhnya. 

Dengan begitu masyarakat benar percaya, harapan yang dititipkan di pundak politisi perlu dibuktikan melalui pengabdian pelayanan. Jangan dibalas dengan kepengecutan, inkonsistensi, dan pengkhianatan terhadap itu semua. 

Politik pragmatis malah menambah beban itu, mengaburkan pelayanan politisi. Politik bukan ruang saweran, di mana saat ada kelebihan lalu politisi memberikan sesuatu rezeki ala kadarnya.

Jangan kemudian di ujung semua pemberian itu dipolitisasi. Kemudian masyarakat ditagih untuk memilih dirinya di saat kompetisi politik. Inilah yang menjadi kurang elok, pemberian dalam politik ditafsir sebagai sesuatu yang memiliki watak penanaman investasi politik. Tidak ada keikhlasan dan ketulusan dalam memberi. 

Susah rasanya kita mendapati politisi dermawan, yang didapat hanyalah politisi kolonial. Yang ''menjajah'' masyarakat dengan tukar kepentingan secara halus. Kebaikan yang diberikan ternyata tidak gratis, kelak akan diminta agar masyarakat membalasnya berupa pilihan politik sebagai imbalan.

Politik disulap menjadi seolah-olah tempat menggadai atau menjaminkan janji. Hanya di Pegadaian kita mengenal motto, "menyelesaikan masalah tanpa masalah".

Bahkan lebih ekstrem kita temui, di politik antara harapan dan kenyataan selalu mengalami kesenjangan. Kecuali kita beruntung, memiliki garis tangan, barulah kemujuran itu berpihak, dan kita bisa menemui pemimpin yang konsisten lahir batin mengabdi.

Retorika politik dipentaskan hanya sebagai wujud kamuflase, itu yang sering kali terjadi. Janji diobral murahan. Pada akhirnya senjata politisi yang sangat merusakan ialah menggunakan jalur ''serangan fajar'' dan politik transaksional yang merusak demokrasi.

Praktik demokrasi menjadi berpindah, dari pengabdian ke cara-cara sampah dan murahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun