KITA pernah mendengar kekuatan para Taipan di Indonesia. Ada semacam paguyuban pengusaha besar. Seperti yang disebut '9 Naga'. Entah benar atau tidak eksistensi mereka ikut mengacaukan demokrasi. Karena demokrasi pure bukan bicara soal tarung uang. Lebih dari itu sesungguhnya.
Mereka yang sering hadir sebagai pendonor dana. Tentu kepada politisi yang masuk jejaring mereka, dan mau berkomitmen. '9 Naga' yang disinyalir bermain dalam Pemilu di Indonesia. Bahkan, pada tingkat Pilkada berdasarkan cerita yang berkembang, mereka pun ambil bagian. Caranya, berinvestasi, membantu melalui politik konsesi.
Demokrasi kita belum lepas dari pembajakan. Mereka para konglomerat dan pengusaha besar hidupnya leluasa jika investasi mereka terkoneksi ke pusat pemerintah. Kita berdoa agar Presiden Jokowi tetap mandiri. Kemandirian beliau kita nantikan terpotret dalam kebijakan. Kebijakan yang tidak pro kepada para investor Asing.Â
Para cukong memandang Pemilu sebagai ladang subur berinvestasi. Mereka menyumbangkan uang dan fasilitas lainnya, ragetnya menang. Tidak tanggung-tanggung pengaruh mereka bahkan sampai ke institusi-institusi resmi pemerintah. Dengan kuasa uang segalanya mereka lakukan.
Sebagai rakyat Indonesia kita menolak kalau Jokowi didikte Asing. Apalagi, beliau menjadi jongos para Taipan China. Biar saja Presiden Jokowi menjadi jongos rakyat Indonesia. Jikalau terbukti Presiden kita direndahkan sederajat tukang suru dari antek Asing dan Aseng. Berarti trust publik akan tergerus. Â
Rakyat akan sedih, marah dan bisa jadi muncul kegaduhan. Demokrasi kita masih memberi ruang pada berkembangnya kartel politik. Para politisi dan pengusaha bersekongkol untuk mengamankan kepentingannya. Wajah demokrasi kita mulai kehilangan cahayanya. Demokrasi dibajak dan memunculkan distrust.
Degradasi kepercayaan itu seperti gunung es. Kalau tidak diatasi akan mencair. Berpotensi terjadinya keraguan massal terhadap pemimpin. Masifnya ketidakpercayaan rakyat pada pemimpin merupakan insiden buruk dalam berdemokrasi. Presiden diminta tegas, tidak menyediakan 'karpet merah' bagi konglomerat. Lalu mengabaikan keluhan-keluhan rakyat.
Keberpihakan pemerintah harus nyata pada rakyat. Tak boleh membiarkan demokrasi dibajak. Demokrasi kita harus diberi subsidi kekuatan. Citra Presiden Jokowi sebagai antek Asing maupun Aseng harus dilepas. Perlu dibuktikan dengan keberpihakan pada rakyat. Kebijakan yang bersahabat dengan kaum pribumi.
Dengan pola pikir membangun dari Desa kita harapkan konsep pembangunan berkelanjutan makin hidup. Demokrasi dalam perjalanannya memang penuh anomali. Itu sebabnya, jangan dibiarkan anomali menjadi racun ganas yang membunuh demokrasi. Presiden Jokowi jangan tersandera dalam pusaran tersebut.
Presiden diharapkan menunjang pertumbuhan ekonomi kreatif dari rakyat. Memberi support kepada pengusaha kecil dan menengah. Mereka jangan dipersulit dengan regulasi. Berikan paket-paket program stimulan, disertai pembinaan kerja. Melalui kebijakan populis pemerintah akan dicintai rakyat.
Jokowi sebetulnya tidak tersandera, itu yang terlihat. Yang tidak terlihat publik, tentu kita tak tahu. Artinya, ikhwal urusan dibalik 'panggung politik', publik belum tembua membacanya. Tidak fiktif, biasa ada hal itu. Mungkin yang berkaitan dengan aib politik menjadi tabir.
Politisi yang baik itu mereka yang lihai menyimpan rahasia. Kita memegang prinsip itu, bahwa kemerdekaan pemimpin dan kemandirian memberi efek positif terhadap kebijakannya. Membuat pemimpin tersebut tidak berada dibawa tekanan atau beban tertentu.Â
Bagi pemimpin yang tersandera kepentingan. Kebanyakan mereka ragu-ragu mengambil keputusan. Tipikal pemimpin yang tersandera kepentingan dan menjadi pion, yaitu segala keputusannya harus dikonsultasikan. Berpihak kepada kelompok yang berjasa kepada dirinya. Hilirnya, pemimpin menjadi kurang peduli pada rakyat.
Yang ia pedulikan adalah kepentingan Tuannya. Presiden Jokowi di periode keduanya ini kita harapkan makin sangar terhadap investor Asing dan Aseng. Kebijakan pemerintah tidak diarahkan untuk mendukung pemodal besar. Demokrasi sedang dibajak oligarki elit, itu benar adanya.
Terbukti dari kompromi atau koalisi yang dibangun. Politik bagi-bagi jatah menjadi penanda konkrit. Selanjutnya, dalam pengambilan kebijakan Jokowi perlu melepas diri dari intervensi oligarki tersebut. Walau sulit, kita merindukan Jokowi tegas dalam soal ini.Â
Jokowi akan tersandera bila kekuasaan yang diperolehnya ini merupakan hasil kerja orang lain. Tak ada harapan untuk pembaharuan Indonesia, jika Presiden Jokowi ternyata dipaksakan menjadi pemimpin atas tangan-tangan ajaib. Fakta yang terpantau memang buram. Tapi, tidak begitu adanya. [*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H