PEMIMPIN umumnya adalah mereka yang memiliki tanggung jawab lebih besar dengan yang dipimpinnya. Itu sebabnya, pemimpin harus punya bekal leadership (kepemimpinan). Baik pemimpin di dalam keluarga maupun pemimpin organisasi, ia tentu punya tanggungan tanggung jawab yang lebih.
Apalagi pemimpin publik seperti Kepala Daerah atau Presiden. Untuk konteks nasional, yakni Presiden yang notabenenya mencalonkan diri sendiri lalu dipilih masyarakat, tentu harus berfikir terbuka dan menerima kritik. Tidak hanya kritik bahkan, satire (sindiran) juga harus diterimanya.
Gagallah dia sebagai seorang pemimpin publik, ketika bersikap antikritik. Alergi dengan perbedaan pikiran lalu bersikap mendistingsi masyarakat, tak layak menjadi pemimpin. Begitulah hukumnya seorang pemimpin yang rela secara sadar mau memimpin banyak orang.
Karena tugasnya bukan sekedar memimpin, menjalankan isi kepalanya. Bukan ikut seleranya sendiri, melainkan ia bisa menerima argumentasi, menganalisis lalu mengaktualisasikan pikiran, kritik dan masukan publik. Hakikatnya, pemimpin adalah pelayan. Seorang pemimpin publik merupakan public service (pelayan publik) ia bukan raja.
Artinya, secara filosofis, fungsional, kultural dan sosiologis pemimpin itu bertugas melayani masyarakat. Mereka yang menjadi pemimpin telah berikrar atau dibaiat sepenuh waktu melayani siapa yang mereka pimpin. Seperti itu pula Jokowi selaku Presiden Indonesia, beliau adalah pelayan kita semua.
Tak ada, tidak berlaku dan tidak harus berlaku politik dikotomi. Pemimpin Negara merupakan babu semua masyarakat yang ia pimpin itu. Kalau kita menyandingkan posisi pemimpin Negara dan konstitusi, derajatnya nyaris sama. Presiden memiliki tugas mulia mengejawantahkan regulasi dalam konteks taktis.
Publik harus mengerti dulu itu sebagai prinsip berfikir dalam bernegara. Presiden bukan Tuan besar, atau bos konglomerat dan bukan juga panglima maha besar yang tidak bisa dikritik. Di dunia ini yang tak bisa dikritik hanyalah kalamullah bagi umat Islam, dan kitab suci lain bagi pemeluk agama lain.
Selain itu, semua bisa dikritik. Kita melakukan simplifikasi, dimana wewenang pemerintah itu menunaikan janjinya pada masyarakat. Sekaligus mengikuti apa yang dibutuhkan masyarakat. Jangan menjadi pemimpin yang doyan memaksanakan kehendak, itu namanya otoriter. Pemimpin tak boleh membaca kemauan publik hanya didalam istana.
Para pembantunya (anggota Kabinet) diperintah untuk turun belanja masalah. Kemudian, bersama mengidentifikasi apa kebutuhan masyarakat, dan menjawabnya. Jangan sampai Presiden diam, tekstual, hanya rajin mendengar 'bisikan' pembantu, lalu tidak mengkonfirmasinya ke masyarakat.
Anjloklah kesejahteraan dan kepentingan umum jika Presiden diam, ditambah para pembantunya yang diam. Takut atas kritik, mendengarkan satire dianggap penghinaan. Lalu dituduh melakukan hate speech (ujaran kebencian). Mengelola Negera tak boleh seperti itu, mudah tersinggung, anti dengan perbedaan pikiran.
Pemerintah harus membuka wawasannya. Akui saja realitas bernegara di Indonesia masih banyak prahara, masyarakat yang heterogen dikonsolidasi secara utuh. Sudah saatnya membongkar kebiasaan lama, cara berfikir klasik dan dikorelasikan dengan kebutuhan zaman hari ini. Narasi besar Presiden harus dapat ditangkap para pembantunya dengan kerja berintegritas.
Kasihan untuk evaluasi di periode pertama Jokowi, beberapa Menteri yang aktif menjabat tiba-tiba ditetapkan sebagai Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini fakta yang mencoreng nama baik pemerintah sebetulnya. Utamanya Pak Jokowi yang katanya tegas mendorong pemberantasan korupsi dan anti korupsi.
Kedepan, dalam penentuan Kabinet pelajaran itu perlu diperhatikan. Bahwa menerima masukan dan rekomendasi dari para pimpinan Partai Politik, bisa saja dan itu hak prerogatif yang mulai Pak Presiden. Tapi, menjadi sangat penting ialah menyaringnya agar mereka yang masuk dalam Kabinet Kerja jilid II bukan terindikasi korupsi.
Dampaknya tentu baik adanya. Mereka yang diajukan elit parpol dan disetujuai Jokowi menjadi Menteri atau jajaran dibawah Menteri akan lebih fokus bekerja. Tidak lagi terganggu atau ketakutan dengan proses penegakan hukuk dari KPK atau institusi lainnya. Lain halnya, bila Presiden tidak selektif, maka bencana demokrasi akan datang lagi.
Membaca cyberspace (dunia maya) hari ini kita mudah mendapati keluhan public soal mulai antikritiknya pemerintah. Usaha pembungkaman terhadap penyampaian pendapat, postingan di media sosial dipantau berlebihan dan bentuk represif lainnya gencar dilakukan, kran demokrasi mulai disumbat.
Sebetulnya pemerintah perlu bersyukur dengan nyiyir dan satire dari masyarakat, sebab itu tandanya mereka peduli. Mereka khawatir dan tidak mau Negara ini hancur atau ditumpangi kepentingan pihak lain. Menjadi tidak bijak kalau semua tanggapan yang kurang baik dianggap ancaman, sentiment dan prasangka negatif.
Indonesia ini miliki semua masyarakat. Baik mereka yang berada di lingkar istana, dibawah kolong jembatan, di kebun, di laut menjadi nelayan, di pabrik-pabrik menjadi buruh, peternak, semua warga Indonesia merupakan pemilik Negara ini. Berarti mereka tak rela bila Negara yang dipimpin Presiden memiskinkan masyarakatnya. Mereka murka saat pemberantasan korupsi dihambat.
Begitu pula mereka tidak ikhlas ketika para investor asing diberlakukan bagai raja, lalu masyarakat pribumi dipinggirkan. Masyarakat Indonesia juga tentu menolak tekanan dan pelayanan atas hak-hak dasar mereka dirampas Negara. Tentu masyarakat merindukan kesejahteraan, keadilan, barang-barang murah, akses kesehatan gratis dan berkualitas.
Seperti itu juga akses pendidikan yang gratis dan berkualitas. Jangan semua institusi pablik menjadi alat penekan atau instrument untuk memeras masyarakat. Presiden tidak boleh gugup apalagi menolak satire. Gagal total visi suci negara ketika semua kepentingan masyarakat dikomersialkan.
Urusan masyarakat jangan dijadikan proyek. Sangat dzalim pemerintah kita bila penerapan pajak, pungutan yang melampaui batas, lalu masyarakat termarginal tidak diperhatikan kebutuhan mereka.
Satire itu rangsangan agar pemimpin tidak malas berfikir. Bagi pemimpin yang ukuran akalnya standar, biasanya gampang tersinggung dengan satire. Berbeda dengan pemimpin yang mapan cara berfikirnya. Pemimpin yang visioner dan terbuka cara pandangnya melihat satire bisa juga sebagai tantangan meningkatkan kinerja.
Jangan menjawab satire dengan membatasi dialektika publik. Membabat habis iklim kondusif dari proses diskusi dan dialog intelektual bukan solusi memajukan Negara. Pemerintah perlu menjawab satire dengan kerja. Prestasilah yang akan memuskan publik yang bertanya, bukan misalnya membentuk tim buzzer medsos.
Lalu mempromosikan hoax dan melakukan pembenaran-pembenaran yang sebetulnya tidak disukai masyarakat. Mereka pekerja buzzer 'laskar internet' hanya ikut menyimbangkan masalah.Â
Bukan menyelesaikan problem kebangsaan yang akut. Komitmen menghadapi satire yaitu dengan bekerja benar, sungguh-sungguh dan tidak membajak kepentingan masyarakat untuk memperkaya dirinya. [*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H