TIDAK mudah memang mengobarkan dan mengamalkan prinsip jurnalisme damai ditengah pusaran, gejolak serta gempuran kekerasan. Disatu sisi, jurnalis dengan madzhab ini dituntut agar memuat berita yang membawa kedamaian. Tidak memuat peristiwa yang memicu atau memperburuk kegaduhan.
Semangat itu tidak selaras dengan fakta terjadi kekacauan, seperti kerusuhan di Papua. Tindakan demonstrasi mahasiswa yang diperlakukan tidak manusiawi oleh oknum aparat kepolisian. Kontak kekerasan fisik yang dipamerkan di media massa diketahui punya dua efek bersamaan.
Konteks tertentu jurnalis diharapkan menjadi peneduh. Berarti membuat reportase dan catatan editorial yang menyejukkan, tak memancing amarah. Namun, dibagian lain realitas yang tersaji terjadinya kekerasan. Bila tidak memberitakan jurnalis dituduh 'melipat fakta' dan kebenaran. Sementara, publik membutuhkan informasi tersebut.
Seperti buah simalakama. Jurnalis membawa misi sebagai pemberi kabar, membil posisi moderat, dan berpihak pada fakta. Situasi yang terangkat ini tentu tidak mudah dilalui jurnalis. Ketika jurnalis menyajikan berita faktual terkait konflik horizontal, maka impeknya akan menyulut kekacauan yang meluas. Jurnalisme damai ditengah pusaran kekerasan membutuhkan kehati-hatian.
Memang tidak semua peristiwa harus disajikan jurnalis secara utuh. Tapi, mengabaikan fakta otentik juga adalah pelecehan terhadap kerja jurnalistik. Kerja jurnalis itu menyampaikan dan mengungkap fakta, bukan berarti mendramatisir kenyataan, menjadikannya makin heboh pula. Mempublikasi panorama kekerasan sosial secara telanjang juga dalam perspektif jurnalis humanis kurang tepat dilakukan, tanpa edit atau sunting.
Pada porsi itulah jurnalis perlu memantapkan perannya. Agar dalam peliputan di derah konflik, jurnalis tidak salah meliput berita. Jurnalis seperti yang kita ketahui bukan agen propaganda, penebar agitasi. Tugas mulia jurnalis, termasuk mengedukasi pembaca dan mengintegrasikan masyarakat. Semua kita tentu berharap jurnalis tidak sekedar menjadi martil demokrasi yang ingkar pada masyarakat kecil. Lalu menjadi penyembah penguasa, selebihnya, jurnalis butuh topangan dan trust masyarakat.
Jangan biarkan performa dunia jurnalistik berangsung-angsur memburuk. Semangat jurnalisme damai salah satunya perlu dikobarkan. Tentu dengan melihat angel berita yang tepat. Memilih kata serta menyusun redaksi dan narasi yang menyejukkan. Melahirkan harmoni ditengah masyarakat, bukan memalingkan masyarakat dari ketenangan ke situasi saling seteru. Jurnalis menjadi penyambung, penghubung dan pemersatu masyarakat.
 Bekal jurnalis untuk pengetahuan jurnalisme konflik memang perlu konsisten dibangun. Selayaknya, naluri jurnalis yang ingin mengetahui sesuatu secara mendalam melalui investigasi makin ekstra dikembangkan. Jurnalis punya nilai lebih disbanding warga sipil lainnya, kelebihan itu sewajarnya digunakan sebaik mungkin. Jangan sampai disalahgunakan.
Jurnalis memang bukan elemen masyarakat yang kebal hukum, punya hak imunitas sebetulnya. Melainkan profesi yang dipayungi aturan Undang-Undang pokok pers, kode etik jurnalistik dan panduan media yang memacu pers bekerja professional. Jangan sekali-kali jurnalis membegali aturan dan membonceng kepercayaan masyarakat. Dari model kepercayaan itulah profesionalisme jurnalis harus tumbuh dan akan dihormati.Â
Seperti itu independensi pers dan marwah jurnalis wajib diaktualisasikan. Dipertahankan, jangan keunggulan pers dikapitalisasi untuk mendapatkan uang '86'. Mari dibumikan roh independensi peras tanpa lelah, tanpa mengeluh. Apalagi takluk pada intimidasi tertentu. Pers itu berwatak bebas, tanpa khawatir kehilangan segmen pembaca. Yang patut ditaati jurnalis hanyalah kebenaran, fakta objektif dan berita-berita yang berimbang.
Spirit jurnalisme damai harus pula berbasis atas realitas. Jangan secara total atau membabi-buta kita meniadakan realitas konflik dengan alasan kita menyelamatkan visi besar peliputan jurnalisme damai. Jangan sampai kita tergeser diluar realitas, kemudian membuat rekayasa realitas baru yang sebetulnya tidak ada. Berarti jurnalis beneran 'original', bisa tergeser menjadi jurnalis bodrex, turun kelas dan menanti kematiannya.
Jurnalis juga harus mampu membawa diri. Memiliki kontrol diri yang kuat, sehingga tidak gagal menjalankan tugas. Pantang menjual idealisme dan menutup mata pada kondisi objektif. Bisa membuat tergelincirnya jurnalis pada kubangan kehancuran, manakala jurnalis keluar dari cara kerja dan kekurangan wawasan. Lambat laun, jurnalis akan runtuh ketika tidak pandai menjaga keseimbangan. Ia melupakan cover both side, membuat berita mengikuti selera dan emosi. Gawatnya lagi, bila jurnalis ikut-ikutan memproduksi berita hoax. Perlu jurnalis menjadi telaten, gunakan nurani ditengah gemuruh konflik sosial.[*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H