Siklus pergantian kekuasaan yang tidak lazim pernah kita lewati, yaitu melalui kudeta atau penggulingan pemimpin secara paksa telah pernah tercatat dalam sejarah kita bernegara. Watak aparat negara harusnya lebih inklusif melayani, dan mengayomi. Bukan melakukan pressure, intimidasi, dan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan politik praktis.
Ya, harus diakui masih ada diantara kita yang alergi dengan perbedaan pendapat atau demonstrasi (unjuk rasa). Pada anti perbedaan pikiran itu sikap anti demokrasi. Perbedaan pikiran idealnya tidak bisa dilawan dengan hukum. Kalau melawan pikiran orang lain, silahkan dengan pikiran bukan menggunakan hukum.
Jangan kita mau menjadi orang bodoh yang bertengkar dengan perbedaan. Agar tidak salah jalan, seseorang yang sering tersinggung, merasa didzalimi harus mendidik pikiran, dan mendidik hatinya. Tanpa mendidik hati adalah bukan pendidikan sama sekali. Tidak sedikit pertengkaran, keributan, pertentangan terjadi penyebabnya karena pikiran dan hati kita tidak dididik dengan baik.
Masuk ke bagian krusial yang jadi tujuan utama tulisan kecil ini dibuat. Saya memberi perhatian pada konteks kutipan Sultan Tidore, Haji Husain Alting Sjah, yang dipersoalkan. Ya, bisa jadi mereka pihak yang tak mengerti sejarah Malut. Akar dan kedalaman pemahaman sejarahnya dangkal. Sang Sultan dalam Debat calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara menyampaikan terkait Ifa no cou lada, lada ngone mancia ua (jangan pernah engkau bersekutu dengan kejahatan), itu untuk menumbuhkan semangat persatuan lokalitas kita.
Bukan seperti yang kalian tuduhkan tentang ''ujaran kebencian''. Janganlah menjadi generasi yang reaksioner. Bayangkan saja sikap dungu dan kegilaan menggugat segala pesan-pesan moral juga pesan kemanusiaan para leluhur di negeri yang kalian lakukan ketika ditirukan generasi mendatang. Apa jadinya?. Itu sebabnya, tak boleh berfikir sejengkal, dua jengkal.
Dari banyaknya materi Debat yang disampaikan, kelian mencari cela untuk mempersoalkan ungkapan tersebut. Kutipan Ifa no cou lada, lada ngone mancia ua tidak parsial. Tolol bukan?. Bagi saya ini sikap konyol. Melaporkan Sultan ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) terkait hal tersebut merupakan tindakan dungu.Â
Kalian berdalih ''ujaran kebencian'' bernuansa sentimen Suku Agama Rasa dan Antar golongan (SARA). Bagi kita yang waras dan benar-benar warga pribumi, asli Maluku Utara pasti senang dengan ungkapan bijak para leluhur. Bukan mencibir apalagi mempermasalahkannya.Â
Mereka mementaskan paradigma lama ala kolonial. Cara kolonial ini pernah dipraktikkan rezim Orba, sungguh tak relevan lagi digunakan. Menyikapi dinamika Pilkada Serentak 2024 di Provinsi Maluku Utara, saya menganggap ada yang pikun sejarah, bahkan mereka buta sejarah. Ada kejanggalan, ada manuver politik yang masif dilakukan di Malut. Boleh jadi, karena kepanikan dan ketakutan tertentu.
Mulai dari pendaftaran pasangan calon Gubernur Malut. Tahapan kampanye, debat kandidat, proses pencoblosan, hingga rekapitulasi suara terjadi gonjang-ganjing. Berbagai peristiwa politik yang muncul bukan dadakan atau bersifat kebetulan. Melainkan itu merupakan by design. Ada order politik dan request tertentu. Akibatkan nasib masyarakat akan dilanda prahara.
Lagi ramai, dikit-dikit proses hukum. Terbaru, dalam berita online Detik.com, Selasa, 26 November 2024 memuat berita dengan judul ''Cagub Malut Husain Sjah Dilaporkan ke Bawaslu Soal Nuansa SARA Saat Debat''. Husain Alting Sjah yang juga Sultan Tidore dituduh melakukan ujaran kebencian berbau SARA.
Hanya karena menyampaikan kutipan pesan kemanusiaan dari Sultan Nuku yakni ''Ifa no cou lada, lada ngone mancia ua'', Sultan Tidore dilaporkan Tim Hukum paslon Gubernur Nomor Urut 4 Sherly-Sabrin. Juga dipermasalahkan gerombolan orang yang menyebut namanya Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) ke Bawaslu Provinsi Malut.