Maluku Utara telah menjadi pelupa tidak belajar dari sejarah seperti yang diingatkan Hegel?. Lantas durhaka, bersikap tak sopan. Mempersoalkan pesan leluhur. Nilai keteladanan dianggap teror, negatif, dan lelucon.Â
KATA Georg Wilhelm Friedrich Hegel, bahwa perlakuan paling konyol yang sering diterima sejarah adalah manusia tak pernah mau belajar darinya. Apakah kita generasiHingga didiskreditkan sejarah itu. Ya, karena birahi dan hasrat politik telah merasuki mereka. Lalu menggila, tafsir sesuka hati terhadap kata-kata pesan moral para leluhur. Menggugat ungkapan kemanusiaan dari para pendahulu, bagi saya itu biadab. Generasi yang berfikir dangkal terkait sejarah. Ingatannya rapuh. Ungkapan yang memantik persatuan dianggapnya provokasi pecah-belah. Konyol.
Mereka menunjukkan kebodohan. Ketidaksukaan pada pesan leluhur dengan mempermasalahkan Sultan Tidore, Haji Husain Alting Sjah, calon Gubernur Maluku Utara yang mengutip pesan Sultan Nuku dalam Debat belum lama ini. Suatu kegilaan yang riskan.
Perilaku dan mentalitas penindas ala kolonial ditunjukkan dengan mempermasalahkan kebebasan berfikir. Ini buka era Orde baru (Orba) yang otoriter dan anti kritik. Jangan bawa reformasi menjadi downgrade. Orba ditumbangkan karena otoritarian, rakus, dominan, menindas, dan memberangus kebebasan. Itu yang perlu diketahui. Cara represi seharusnya tidak berlaku lagi.Â
Sekarang kita telah merdeka. Jangan gunakan cara dari para penjajah yang bajingan untuk menekan Sultan Tidore. Pendekatan yang tidak presisi dibangun sekelompok orang untuk "memangkas" alur sejarah.
Bila leluhur kita masih hidup, mereka akan menangis. Melihat satu dua generasi yang menggugat ucapan Sultan Nuku. Kalian pasti dikutuk sejarah. Yakinlah, sikap tak menghormati sejarah itu akan berdampak buruk. Pesan yang disampaikan Sultan Tidore ke-37 harusnya diapresiasi dan dihormati.
Jangan gunakan sikap barbar ''banga-banga''. Kurang ajar ''tingkai'', yang sok jagoan dengan melaporkan figur yang punya keistimewaan sejarah seperti Sultan. Ini menjadi bukti kalian melukai banyak orang seperti melecehkan. Tidak selamanya hukum di negara ini dapat kalian kendalikan karena uang (harta).
Tak boleh bermental inlander. Namun bukan harus menjadi kolonial. Jangan menjadi penjajah baru bagi anak negeri sendiri. Jangan jumawa, arogan, dan bersikap melampaui batas karena politik. Alam raya akan bekerja menghabisi kalian yang arogan itu. Pilgub Malut tahun 2024, bisa menjadi titik balik (the turning point) bagi kita semua karena keretakan sosial akibat politik uang.
Rata-rata, mereka yang berwatak haus kuasa merasa punya backing dan backup yang disupport penegak hukum. Dalam banyak kasus pola ini dimainkan para pengusaha. Mereka yang diasuh oligarki, para pemilik modal. Yang sesukanya mengakali aturan di negara ini.
Kita bisa tengok. Era pasca Soeharto yang ditandai dengan tumbangnya rezim diktator otoriter 21 Mei 1998, membuat masyarakat bebas mengekspresikan pendapatnya. Seperti diatur dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28E, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia.
Yaitu kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Kemudian, menjamin dan melindungi kebebasan berpendapat, termasuk hak mogok. Artinya yang namanya pikiran, tidak boleh dipidanakan atau diadili secara hukum. Tidak boleh menjadi dungu, reaksioner dengan memproses hukum lawan debat atau lawan bicara.