Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi progresif

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Buzzer, Kemakmuran Jadi Dagelan Politik

21 November 2024   12:40 Diperbarui: 21 November 2024   17:41 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Amas (Sumber: Dokumen pribadi)

ADA ungkapan bijak dalam Bahasa Latin yang menyebutkan ad maiora natus sum ''kita terlahir untuk hal-hal yang besar''. Spirit ini juga mengilhami dan ikut mengiringi langkah kita semua untuk peduli ambil tanggung jawab mengabdi, berdedikasi pada kepentingan banyak orang. Termasuk para politisi yang menjadi kandidat Kepala Daerah di Pilkada Serentak 2024.

Potensi positif itu dalam pentas politik kerap menemui obstacle. Ada saja penyakit yang menggerogoti niat baik manusia melakukan kebaikan. Contoh nyata di era kekinian adalah lahirnya buzzer. Kehadiran buzzer bermain pada level dunia digital.

Para buzzer atau peternak media sosial, tidak semuanya menjadi pemilih saat Pilkada. Yang memilih pada Rabu, 27 November 2024 adalah masyarakat. Sebagian besar masyarakat tidak teredukasi tentang buzzer (bukan pemain media sosial). Buzzer bertugas mempromosi dirinya atau seseorang melalui platform digital dengan agenda tertentu. Caranya beragam.

Pemain sosial media seperti Facebook, Instagram, Twitter, TikTok dan yang lainnya, biasanya mengiklankan atau mempromosikan sesuatu untuk kepentingan kelompoknya. Itu sebabnya, jangan mau menjadi korban dari provokasi buzzer. Kian masif buzzer hadir memproduksi kebohongan.

Ada yang bersifat edukasi, dan juga bisnis. Mereka yang menjadi agen sosial media umumnya bekerja profesional karena dibayar. Orientasinya adalah untuk profit, mengejar keuntungan atau modal. Fenomena itu mulai terlihat dalam kontestasi Pilkada di Maluku Utara saat ini. Itu sebabnya, masyarakat harus selektif jangan ikut skenario buzzer yang menyesatkan itu.

Mereka tak peduli manfaat atau kemaslahatan bagi masyarakat. Kerusakan, keretakan, kekacauan, dan kehancuran di tengah-tengah masyarakat tidak dipikirkan para pemain media sosial (buzzer). Yang penting bagi mereka adalah dibayar. Itu sebabnya, jangan sampai masyarakat dibodohi dengan propaganda para buzzer.

Watak buzzer selain bekerja untuk dibayar, mereka menggunakan akun palsu (fake). Tidak tampil dengan jati dirinya, bekerja karena disewa, maka mindset mereka tidak perlu menggunakan hati nurani. Yang penting order mereka jalan dan sesuai ekspektasi pemberi kerja (user). Menggunakan akun anonim, bicara atau memposting sesuatu informasi tanpa basis data yang kuat mereka lakukan.

Tak mau memikirkan panjang lebar atau jauh kedepan. Di pemilihan Gubernur Maluku Utara tahun 2024, para peternak media sosial tidak sedikit yang bergentayangan. Mereka sudah tentu dibayar untuk menciptakan opini. Mengajak, mempengaruhi, menggiring masyarakat agar mengikuti apa yang mereka harapkan melalui media sosial.

Kehadiran para buzzer rentan merusak persatuan. Para leluhur yang telah berjuang, menorehkan kemerdekaan dan berdarah-darah mengintegrasikan masyarakat boleh dirusak para buzzer dengan fitnah, informasi hoax, tuduhan yang masif, character assacination (pembunuhan karakter). Ketika kontrol tidak dilakukan instansi pemerintah dengan tegas, maka buzzer akan memporak-porandakan kedamaian di tengah masyarakat.

Sentanya yaitu agitasi propaganda. Mereka menyebar ilusi kebenaran. Kepalsuan dan kesalahan direkayasa, disulap menjadi kebenaran. Para peselancar atau pegiat media sosial menjalankan apa yang dianjurkan Paul Joseph Goebbels, seorang pendukung utama Hitler yang mengajarkan bahwa sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran.

Sementara itu, kemakmuran yang menjadi variabel penting dalam merubah kehidupan masyarakat dan dicita-citakan semua orang dalam konteks tertentu menjadi dagelan (lelucon) bagi calon Kepala Daerah serta para pendukungnya. Hal substansial diperdagangkan secara politik. Para politisi lebih doyan mengikuti apa yang menjadi selera konstituen. Kepentingan elektoral yang mereka kejar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun