ADA ungkapan bijak dalam Bahasa Latin yang menyebutkan ad maiora natus sum ''kita terlahir untuk hal-hal yang besar''. Spirit ini juga rasanya mengiringi langkah kita semua untuk peduli ambil tanggung jawab untuk mengabdi pada kepentingan banyak orang. Termasuk para politisi yang menjadi kandidat Kepala Daerah di Pilkada Serentak 2024.
Bukan buzzer atau peternek media sosial yang memilih kandidat Kepala Daerah. Yang memilih pada Rabu, 27 November 2024 adalah masyarakat, sebagian besar tidak teredukasi atau bukan pemain media sosial. Ya, bukan buzzer yang hanya bertugas mempromusi dirinya atau seseorang melalui platform digital.Â
Pemain sosial media seperti Facebook, Instagram, Twitter, TikTok dan yang lainnya, biasanya mengiklankan atau mempromosikan sesuatu untuk kepentingan tertentu.Â
Ada yang bersifat edukasi, dan juga bisnis. Mereka yang menjadi agen sosial media umumnya bekerja profesional karena dibayar. Orientasinya adalah untuk profit, mengejar keuntungan atau modal.
Mereka tak peduli manfaat atau kemaslahatan bagi masyarakat. Kerusakan, keretakan, kekacauan, dan kehancuran di tengah-tengah masyarakat tidak dipikirkan para pemain media sosial (buzzer). Yang penting bagi mereka adalah dibayar. Itu sebabnya, jangan sampai masyarakat dibodohi dengan propaganda para buzzer.
Watak buzzer selain bekerja untuk dibayar, mereka menggunakan akun palsu (fake). Tidak tampil dengan jati dirinya, bekerja karena disewa, maka mindset mereka tidak perlu menggunakan hati nurani. Yang penting order mereka jalan dan sesuai ekspektasi pemberi kerja (user). Menggunakan akun anonim, bicara atau memposting sesuatu informasi tanpa basis data yang kuat mereka lakukan.
Tak mau memikirkan panjang lebar atau jauh kedepan. Di pemilihan Gubernur Maluku Utara tahun 2024, para peternak media sosial tidak sedikit yang bergentayangan. Mereka sudah tentu dibayar untuk menciptakan opini. Mengajak, mempengaruhi, menggiring masyarakat agar mengikuti apa yang mereka harapkan melalui media sosial.
Kehadiran para buzzer rentan merusak persatuan. Para leluhur yang telah berjuang, menorehkan kemerdekaan dan berdarah-darah mengintegrasikan masyarakat boleh dirusak para buzzer dengan fitnah, informasi hoax, tuduhan yang masif, character assacination (pembunuhan karakter). Ketika kontrol tidak dilakukan instansi pemerintah dengan tegas, maka buzzer akan memporak-porandakan kedamaian di tengah masyarakat.
Sentanya yaitu agitasi propaganda. Mereka menyebar ilusi kebenaran. Kepalsuan dan kesalahan direkayasa, disulap menjadi kebenaran. Para peselancar atau pegiat media sosial menjalankan apa yang dianjurkan Paul Joseph Goebbels, seorang pendukung utama Hitler yang mengajarkan bahwa sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran.
Sementara itu, kemakmuran yang menjadi variabel penting dalam merubah kehidupan masyarakat dan dicita-citakan semua orang dalam konteks tertentu menajdi dagelan (lelucon) bagi calon Kepala Daerah serta para pendukungnya. Hal substansial diperdagangkan secara politik. Para politisi lebih doyan mengikuti apa yang menjadi selera konstituen. Kepentingan elektoral yang mereka kejar.
Demi simpati masyarakat, para politisi bersaing untuk menciptakan gimik. Rebutan membuat kemasan atau pencitraan yang unik dan mudah diingat masyarakat. Persaingannya bukan pada ranah yang esensial. Padahal seharusnya yang disajikan ke jantung kebutuhan masyarakat yaitu tema peningkatan kesejahteraan, penegakan hukum tanpa tebang pilih, pemerintahan yang anti KKN, kemanusiaan, dan keadilan.