Indonesia. Fakta kelainan demokrasi atau penyimpangan (deviasi) yaitu adanya pemaksaan pandangan tentang ditiadakannya oposisi. Sungguh sebuah kerancuan yang kontradiktif dengan semangat demokrasi. Kenapa?, karena terjadi kerancuan dan anomali. Di satu sisi kita kerap membanggakan demokrasi, tapi bertindak anti demokrasi.
Berbagai penyimpangan kerap kita temukan dalam praktek berdemokrasi diOposisi hadir untuk mengontrol pemerintah. Dari oposisi, maka lahirlah balance of power. Tak hanya itu, oposisi mengukuhkan dan menjadi simbol dari sebetul-betulnya demokrasi di terapkan. Karena oposisi itu ''kemerdekaan'', kebebasan, dan kemajemukan. Demokrasi tanpa keberagaman, perbedaan, kebebasan pasti tak bernilai apa-apa.
Di era Presiden Prabowo Subianto, tentu oposisi diperlukan. Terutama kekuatan oposisi datang dari Parlemen (DPR RI dan DPD RI). Begitu pula dengan udara segar oposisi dari rakyat. Semua itu tidak boleh dikekang. Kita berharap tidak ada lagi peristiwa kriminalisasi pada rakyat yang sedang mengekspresikan kebebaran berpendapat, memprotes kebijakan yang merugikan mereka.
Spirit berdemokrasi harus dipahami secara menyeluruh. Dari posisi tersebut pemerintah dapat dinilai taat dan konsisten mengimplementasi nilai-niai demokrasi. Semua komponen rakyat harus mengevaluasi keberadaannya dalam merespon perbedaan pikiran. Begitu pula dengan perbedaan sikap politik, tidak boleh atas nama perbedaan ada rakyat yang dikriminalisasi.
Kesehatan demokrasi perlu dijaga. Cara menjaganya yakni melalui memuliakan, tidak tersinggung dengan kritik dan perbedaan pandangan. Yakinlah, dengan kedewasaan sikap kenegarawanan seperti itu maka demokrasi kita semakin berkembang maju. Semakin berkualitas, pemerintah akan mendapatkan simpati dan dukungan luas dari rakyatnya.
Lalu manfaat lain yang lebih dirasakan nantinya oleh rakyat adalah terdistribusinya kesejahteraan yang merata. Pemimpin juga tidak boleh mempertahankan mental pendendam. Itu salah satu penyakit kronis membahayakan pembangunan jika pemimpin kita masih terpenjara penyakit dendam. Buang jauh sakit hati yang ditemukan disaat kampanye.
Manakala seorang pemimpin terpilih, ia harus berfikir beberapa level di atas rakyatnya. Dari segi pengelolaan emosi, kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual, kecerdasan ganda, dan pemimpin harus memiliki kecerdasan majemuk. Semua modal itu bukan sekadar dijadikan alat pencitraan. Termasuk integritas, kearifan pemimpin perlu diletakkan beberapa oktaf di atas rakyat.
Jangan sekali-kali pemimpin negara melarang adanya oposisi. Sebab larangan tersebut sama artinya sang pemimpin mau secara berlahan mematikan demokrasi. Biarkan bahkan diberi support agar oposisi tetap tumbuh dengan kritik tajamnya. Kita semua perlu clear memahami bahwa kritik beda dengan fitnah, kebencian, dan caci maki terhadap individu tertentu.
Beri ruang kepada oposisi agar terdidik, dan profesional memberikan kritik-kritiknya. Arahkan oposisi bisa tumbuh pada tempatnya, bukan dibungkam atau dimatikan. Dengan kekuatan oposisi kancah politik serta perjalanan pemerintah lebih bernuansa. Ya, lebih demokratis. Rumusnya seperti itu, bila oposisi mati, berarti demokrasi juga mati.
Tidak pantas kita berfikir pincang, picik, atau standar ganda. Dimana dalam situasi tertentu, pada posisi yang berbeda kita begitu mendorong oposisi tumbuh, namun dalam posisi yang berbeda lagi, kita malah antipati terhadap oposisi. Itu namanya tidak adil. Berfikirlah jangka panjang, jangan berfikir dua tiga langkah.
Berfikir jauh kedepan (think far ahead). Negara akan terus ada, meski manusia-manusianya berlahan satu persatu ''punah'' meninggalkan dunia, lalu diganti dengan manusia-manusia yang lain. Ingat legacy, trust, dan kehidupan sejarah mendatang. Kalau mau nama kita jelek, anak cucu kita malu mendengar cerita buruk tetang kita karena gagal merawat demokrasi, silahkan berbuat sesukanya.