TRANSPARANSI dalam praktek demokrasi di Indonesia menjadi persoalan tersendiri. Hal itu dapat kita saksikan di depan mata. Dimana para politisi yang berkontestasi tidak dibuka secara terang-benderang dan jujur aliran dana kampanyenya diperoleh. Ini bukan perkara mudah, kita perlu serius keluar dari kepalsuan berdemokrasi. Kita dijebak dalam frame keterbukaan parsial.Â
Padahal dalam dokumen Perundang-undangan, khususnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 18 Tahun 2023 tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum, telah diatur. Implementasinya masih kacau-balau. Perlu pembenahan. Jangan demokrasi kita seret mundur. Ya, lagi-lagi kita diajarkan untuk berpura-pura (feign) terbuka.
Seperti dilansir dari JPNN.com, Senin, 30 September 2024, dalam berita berjudul ''KPU DKI Jakarta Rilis Dana Kampanye 3 Paslon, RK Paling Besar, Dharma Terkecil''. Berdasarkan Laporan Awal dana kampanye pasangan Cagub DKI Jakarta, rupanya terdapat kejanggalan. Ada anomali yang perlu kita bongkar.
https://m.jpnn.com/news/kpu-dki-jakarta-rilis-dana-kampanye-3-paslon-rk-paling-besar-dharma-terkecil
Dapat kita lihat dana kampanye untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2024 dipublikasikan pasangan calon Ridwan Kamil-Suswono sebesar Rp 1 miliar. Sementara itu, untuk Pramono Anung dan Rano Karno adalah sebesar Rp 100 juta. Ini bentuk lain dari kamuflase dalam bentuk dana kampanye ini cukup membahayakan demokrasi.
Tak hanya itu, pasangan calon Gubernur Dharma Pongrekun dan Kun Wardhana memiliki dana kampanye awal paling kecil, yakni Rp 5 juta. Walaupun isyaratnya jelas, akan ada penyampaian dana kampanye lagi. Tapi, laporan awal dana kampanye itu rasanya tidak terlalu dipercaya publik.
Banyak rakyat yang ragu-ragu. Bahkan, mencibir adanya laporan keuangan (dana kampanye) ke KPUD DKI Jakarta tersebut. Masih ada problem serius dengan keterbukaan dalam proses berdemokrasi kita. Masih banyak politisi kita yang cenderung tertutup. Takut dengan keterbukaan informasi publik.
Bukan hanya di Pilkada DKI Jakarta. Di daerah-daerah lain juga fenomenanya hampir sama. Yaitu ketidakterbukaan para calon Kepala Daerah untuk menyampaikan keuangannya. Karena sangat kontras kalau kita komparasikan antara Dana Kampanye dengan atribut kampanye calon Kepala Daerah, serta konsolidasi (sosialiasi) yang dilakukan.
Mobilisasi massa yang banyak tentu tidak gratis. Sudah menjadi rahasia umum bagi kita rakyat Indonesia, sosialiasi calon Kepala Daerah atau politisi dalam tiap momentum politik selalu melibatkan finansial. Istilahnya, tak ada makan siang gratis. Rakyat juga telah terbiasa dibayar untuk kepentingan politik.Â
Sebagai rakyat kecil, kita mendorong penyelenggara Pemilu dan penegak hukum menjalankan tugasnya secara benar. Mendorong keterbukaan informasi publik, menerapkan kejujuran dan profesionalitas. Agar calon Kepala Daerah bisa secara sadar melaporkan Dana Kampanye dan penggunaannya benar.
Tak memunculkan ketimpangan. Karena kalau dirinci, laporan Dana Kampanye dengan penyerapan atau penggunaan dana dari calon Kepala Daerah rasanya tidak berimbang. Lebih besar pasak daripada tiang. Kenyataan di lapangan lebih banyak dana yang dipakai, ketimbang Dana Kampanye yang resmi dilaporkan ke KPU.
Kalau situasi kesenjangan itu tidak dijawab penyelenggara Pemilu, wajar rakyat curiga. Jangan-jangan KPU dan Bawaslu sudah bermain mata, bersekongkol, atau berkompromi dengan para calon Kepala Daerah tersebut?. Tak boleh rakyat dijebak dalam kepalsuan. Dibiarkan dalam ketidakpastian penerapan aturan.
Idealnya, laporan Dana Kampanye jika dikalkulasi dengan atribut kampanye (spanduk, baliho, dan kontrak kerja sama dengan media massa) harus sebanding. Bukan melahirkan tanda tanya. Dana yang dilaporkan kecil, tapi penggunaan dana melampaui itu. Ini pembohongan dan pembodohan namanya.
Lalu, darimana dana yang dikeluarkan di lapangan itu diambil?. Hal ini harusnya dijawab penyelenggara Pemilu. Jangan dianggap rakyat tidak tau. Kita harusnya sama-sama mengedukasi rakyat agar berdemokrasi secara konstruktif. Jangan penyelenggara Pemilu malah menyesatkan rakyat dalam hal-hal yang salah.
Ayo kita jernih melihat praktek Pilkada Serentak, terlebih dalam hal laporan Dana Kampanye. Ini baru satu aspek saja yang kita kuliti. Belum juga ditelanjangi secara maksimal. Ada sejumlah tabir dan praktek buram berdemokrasi lainnya seperti pemberian sanksi dan apresiasi yang tidak serius diberikan pihak-pihak berwajib.
Konsolidasi para calon Kepala Daerah dari satu wilayah ke wilayah lainnya tidak mungkin gratis. Semua operasionalisasi memakan anggaran. Baik uang BBM untuk transportasi, uang makan, hingga kompensasi bagi para relawan atau tim sukses di lapangan. Sudahlah, kita sama-sama sudah mengerti situasi seperti ini.
Ketimpangan Dana Kampanye tidak bisa kita tutup-tutupi lagi. Walau judulnya bermacam-macam, baik ''Dana Awal Kampanye'', dan seterusnya, dan seterusnya. Jika kita periksa sampai hari H pencoblosan suara adanya serangan fajar (politik uang) ini menjadi kacau-balau. Kita semakin bertanya-tanya apa tugas penyelenggara Pemilu. Mereka digaji untuk apa?.
Harusnya sumber Dana Kampanye, yang meliputi bentuk sumber Dana Kampanye, pembatasan Dana Kampanye, dan rekening Khusus Dana Kampanye tidak sekadar menjadi formalitas dan bagian dari menggugurkan kewajiban dari pihak-pihak berkepentingan. Lebih dari itu harus ada kesadaran ideologis untuk menjalankannya.
Merujuk pada Undang-undang Nompr 7 tahun 2017 tentang Pemilu, mewajibkan setiap partai politik untuk melaporkan dana kampanye. Salah satunya adalah Laporan Awal Dana Kampanye (LADK). Seperti diatur dalam PKPU 18/2023 tentang Dana Kampanye yang mengatur soal kewajiban partai politik dalam menyampaikan LADK pada 7 Januari 2023 atau 14 hari sebelum rapat umum. Ini harus benar-benar kita awasi dengan ketat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H