Tubuh demokrasi kita semakin mengidap penyakit yang kronis disekujur. Bermacam aspirasi tersumbat, sengaja disumbat, demokrasi neo Orba mencengkeram. Bahkan rasa-rasanya hukum terus jadi alat politik. Masyarakat atau kelas menengah yang vokal bicara mendapat terpaan teror.
Kebebasan berpendapat mulai dikebiri. Tercabik karena dampak dari arogansi kekuasaan yang tak mau menerima kritik pedas. Jenis kritik yang ringan, tidak substansial yang memiliki relasi pada aib dan skandal penguasa pasti tidak mendapat jeratan tekanan. Berbeda. Ketika kritik pada jantung kekuasaan dilakukan, pasti dibungkam.
Selanjutnya, semakin kuatnya trah politik dibangun. Akibatnya, tidak sedikit kader ideologis, kader tulen partai politik tumbang, menjadi tumbal dan korban. Demi mewujudkan keserakahan para politisi pemburu kekuasaan berusaha mati-matian memperjuangkan keluarga, kerabatnya untuk melanjutkan kepemimpinan.
Padahal kita di era demokrasi, mesti dari hulu proses demokrasi tidak diikat atau dikanalisasi dan dibelokkan. Sekarang malah kanalisasi atau pengkondisian demokrasi dilakukan elit pemerintah yang berkoalisi, bersekongkol dengan elit partai untuk memuluskan agenda politiknya. Disinilah ruang distorsi akal sehat semakin melebar. Yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan.
Disinilah pemicu dan motivasinya para politisi saling mengunci. Tidak bisa dinafikkan bahwa pimpinan parpol secara fulgar mulai rapuh iman politiknya dengan berbagai iming-iming, bujuk rayu, dan godaan politik kekuasaan yang menggiurkan. Untuk meraih kekuasaan segala intensi dilakukan politisi.
Posisi masyarakat dengan kemewahan dan keunggulannya menjadi tidak dimuliakan atau diperhitungkan politisi pemburu kekuasaan ini. Di atas pentas politik rasionalitas tercerabut. Keberanian menjadi tidak konstan, para politisi berubah-ubah sikap. Sulit kita menemukan politisi di era ini yang konsisten dengan omongannya untuk direalisasikan dalam tindakan konkret.
Ketika kita membaca konstelasi politik dan dinamika demokrasi yang telah lalu, terdapat banyak residu. Komunikasi politik panggung belakang maupun sandiwara di panggung depan sangat terjadi pertentangan. Sisi edukasi terhadap publik masih jauh dari ekspektasi.
Distingsi demi distingsi terjadi yang memantik adanya kegaduhan. Pemerintah harus memberi solusi, mengendalikan situasi. Bukan terkesan ikut menyulut emosi publik agar pertikaian semakin meluas. Publik kita yang kebingungan jangan diberikan pembiaran. Perilaku menyimpang mesti diluruskan, jangan menutup mata atas semua itu. Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H