Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi Sampai Mati

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Akal Sehat Tergerus, Ancaman Nyata Demokrasi

8 Agustus 2024   15:48 Diperbarui: 14 Agustus 2024   08:11 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tercerabut, ilustrasi (Dok. https://id.pngtree.com)

IRONIS, ini menjadi kata pembuka dalam tulisan saya kali ini. Kenapa tidak, karena saking banyaknya realitas sosial yang kita lihat mengalami kontraksi, dan kontradiksi. Ada disparitas. Terjadi pertengkaran yang rumit untuk diurai. Padahal, jika pemimpin kita punya komitmen semua problem sosial dapat diatasi.

Bisa disimplifikasi. Karena tak ada problematika di dunia ini yang terkunci jalan keluarnya. Rasionalitas publik kini terkikis, bahkan tercerabut. Terjungkal dari posisi yang semestinya. Terjatuh ke titik nadir. Keberanian menegakan kebenaran dan keadilan dipupus dengan teror dan intimidasi.

Bila pemimpin kita juga sportif, membuka diri, dan mau menerima pendapat publik, tanpa baper atau anti kritik. Maka, ragam masalah di republik Indonesia ini akan terselesaikan. Tugas utama yang perlu kita benahi bersama adalah merekonstruksi cara pandang pemimpin.

Agar tidak menjadikan teror dan intimidasi sebagai cara menutupi kelemahannya dalam menyelesaikan problem bangsa. Ini bukan lagi rahasia, dimana kebanyakan manusia yang tidak menerima bahwa dirinya punya kekurangan. Padahal secara manusiawi pemimpin tak luput dari salah dan kekurangan.

Ketika pemimpin anti terhadap pendapat publik ini tanda ancaman. Apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversive dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata, lawan. Sudah pasti semangat itu bertentangan dengan demokrasi yang egaliter. Kemajuan demokrasi sukar terlahir jika pemimpin masih berfikir tertutup, kolot, dan timpang seperti itu.

Di era ini pemimpin yang berfikir primitif, bertindak dengan cara-cara yang kuno sudah tidak relevan lagi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kekinian. Publik membutuhkan pemimpin yang dinamis. Yang punya komitmen dan keberpihakan membela hak-hak rakyat. Secara suka rela meminta saran publik.

Kita masyarakat yang masih memiliki akal sehat dan waras, pasti merasa miris melihat kepemimpinan bangsa ini yang kian meredupkan nilai-nilai kebanaran, keadilan, dan juga kebaikan. Elit pemimpin kita sibuk dengan kepentingan politiknya. Mengamankan keluarga untuk menjaga kelanggengan kekuasaan.

Mereka tak mau ambil pusing atas penderitaan dan keluh kesah rakyat. Di benak para elit masyarakat akan terhibur, senang, jika pemerintah memberikan paket bantuan. Mereka juga tak masyarakat tidak punya kemampuan melawan, karena takut dikriminalisasi. Atas situasi demikian, masyarakat mudah dikendalikan.

Semakin tergerus akal sehat pimpin, hal itu berpengaruh efektif pada kesadaran kolektif masyarakat. Walau begitu di era yang perpolitikan yang bar-bar ini masih ada pihak, aktor yang berani tampil karena moral call. Kita berharap jangan ada orang baik yang berbuat jahat. Biarkan pemimpin lalim terbunuh dengan sikapnya sendiri.

Masih ada pemimpin yang memberantakkan demokrasi. Begitu menyedihkannya. Rasanya masyarakat kita pernah melewati proses salah memilih pemimpinnya. Sembari memperkuat politik dinasti, pemimpin kita melakukan soft power. Dimana sang pemimpin melakukan kontrol melalui cara ekonomi, politik, moral, dan budaya.

Pembusukan terjadi dimana-mana. Termasuk merajai sendi-sendi dan jantung demokrasi. Sehingga demikian demokrasi tidak dapat kita andalkan lagi sekarang, di era ini khususnya. Political decay (pembusukan politik) terjadi dari kepala, dan perilaku elit itu terduplikasi hingga ke daerah.

Tubuh demokrasi kita semakin mengidap penyakit yang kronis disekujur. Bermacam aspirasi tersumbat, sengaja disumbat, demokrasi neo Orba mencengkeram. Bahkan rasa-rasanya hukum terus jadi alat politik. Masyarakat atau kelas menengah yang vokal bicara mendapat terpaan teror.

Kebebasan berpendapat mulai dikebiri. Tercabik karena dampak dari arogansi kekuasaan yang tak mau menerima kritik pedas. Jenis kritik yang ringan, tidak substansial yang memiliki relasi pada aib dan skandal penguasa pasti tidak mendapat jeratan tekanan. Berbeda. Ketika kritik pada jantung kekuasaan dilakukan, pasti dibungkam.

Selanjutnya, semakin kuatnya trah politik dibangun. Akibatnya, tidak sedikit kader ideologis, kader tulen partai politik tumbang, menjadi tumbal dan korban. Demi mewujudkan keserakahan para politisi pemburu kekuasaan berusaha mati-matian memperjuangkan keluarga, kerabatnya untuk melanjutkan kepemimpinan.

Padahal kita di era demokrasi, mesti dari hulu proses demokrasi tidak diikat atau dikanalisasi dan dibelokkan. Sekarang malah kanalisasi atau pengkondisian demokrasi dilakukan elit pemerintah yang berkoalisi, bersekongkol dengan elit partai untuk memuluskan agenda politiknya. Disinilah ruang distorsi akal sehat semakin melebar. Yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan.

Disinilah pemicu dan motivasinya para politisi saling mengunci. Tidak bisa dinafikkan bahwa pimpinan parpol secara fulgar mulai rapuh iman politiknya dengan berbagai iming-iming, bujuk rayu, dan godaan politik kekuasaan yang menggiurkan. Untuk meraih kekuasaan segala intensi dilakukan politisi.

Posisi masyarakat dengan kemewahan dan keunggulannya menjadi tidak dimuliakan atau diperhitungkan politisi pemburu kekuasaan ini. Di atas pentas politik rasionalitas tercerabut. Keberanian menjadi tidak konstan, para politisi berubah-ubah sikap. Sulit kita menemukan politisi di era ini yang konsisten dengan omongannya untuk direalisasikan dalam tindakan konkret.

Ketika kita membaca konstelasi politik dan dinamika demokrasi yang telah lalu, terdapat banyak residu. Komunikasi politik panggung belakang maupun sandiwara di panggung depan sangat terjadi pertentangan. Sisi edukasi terhadap publik masih jauh dari ekspektasi.

Distingsi demi distingsi terjadi yang memantik adanya kegaduhan. Pemerintah harus memberi solusi, mengendalikan situasi. Bukan terkesan ikut menyulut emosi publik agar pertikaian semakin meluas. Publik kita yang kebingungan jangan diberikan pembiaran. Perilaku menyimpang mesti diluruskan, jangan menutup mata atas semua itu.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun