Demokrasi antara voice (suara) dan noise (kebisingan) tentu akan memberi pengaruh pada konstituen. Pada situasi ini kita semua diuji. Akal sehat kita harus difungsikan, diaktifkan. Jangan jadi orang yang merasa bersalah kelak karena salah memilih pemimpin.
SEMAKIN dekatnya hajatan demokrasi pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024, eskalasi politik juga semakin meningkat.Pilihlah Capres dan Cawapres secara cermat dan bebas. Tanpa paksaan, iming-iming, dan uang. Kita harus menjadi pemilih cerdas yang tercerahkan pikirannya. Suara nurani masyarakat begitu berharga kita ikuti itu. Tidak boleh hak demokrasi kita dikompensasikan dengan materi apapun. Kita tak boleh menjadi bagian dari kebisingan.
Selain itu, momentum pemilihan Presiden (Capres), pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR, DPD RI, dan DPRD) harus kita kawal. Jangan sampai dicurangi. Masyarakat komit melawan kejahatan demokrasi.
Dalam bagian yang lain, hentikan tudingan tentang suara kritis masyarakat, yang direndahkan dan dianggap sebagai sekadar noise. Rasanya seluruh anak bangsa punya kepentingan yang sama yakni menjaga kedaulatan rakyat agar tidak direkayasa. Merawat demokrasi untuk tetap berkualitas.
Indonesia dalam bahaya darurat demokrasi yang akut, jika pembiaran terhadap kecurangan terjadi. Bila KPU dan Bawaslu curang, maka sudah pasti masyarakat bereaksi. Ketika aduan publik tidak ditindaklanjuti, atau dianggap formalitas lalu dicuekin, tentu hal itu memicu kemarahan publik.
Proses aksi reaksi dalam berdemokrasi memang selalu ada. Kita saksikan sendiri pihak kampus mahasiswa, Guru Besar, pimpinan ormas, aktivis NGO, kalangan yang pro demokrasi, kaum profesional sudah angkat bicara. Mereka mendesak Presiden Jokowi agar tidak cawe-cawe. Bersikap netral.
Karena Pemilu 2024 adalah penentuan nasib bangsa. Bukan hanya siklusi, rutinitas tahunan, atau hanya kegiatan seremonial yang tanpa makna. Berbagai pihak berkompeten harus bekerja dengan benar dan penuh tanggungjawab atas amanah yang diberikan. Jika mereka apatis, maka badai politik akan datang.
Suara kebenaran tidak bisa dibungkam. Publik hadir, ketuakan massa akan berdatangan jika demokrasi dikebiri. Saat ini kita lihat sendiri, dimana pressure dari masyarakat datangnya tak henti-hentinya. Harapannya jangan ada unsur korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sekali saja stakeholder terkait melakukan kecurangan Pemilu, trust publik akan terdegradasi. Agar tidak terjadi problem berkelanjangan, maka seluruh aparat pemerintah tidak boleh berpihak. Jangan ada sikap partisan dalam politik praktis yang dikompromikan. Karena mereka digaji dari uang masyarakat.
Juga tidak boleh atas alasan kelancaran Pemilu, lalu segelintir orang menghalalkan segala cara untuk menang Pemilu. Fenomena penolakan masyarakat tentu ada alasannya. Diantaranya sebagai wujud protes publik terhadap sikap Presiden Joko Widodo, mahasiswa melakukan aksi pemakzulan Jokowi.
Aksi yang dilakukan mahasiswa, di kompleks Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu 7 Februari 2024 sebagai pengingat agar pemerintah fokus melayani masyarakat. Pada tanggal 8 Februari 2024, dilaksanakannya acara Democracy Fest, di Jakarta. Secara garis besar arah acaranya meminta pemerintah menjaga etika.
Acara ini dihadiri aktivis 98, jurnalis, komika, dan masyarakat yang peduli pada proses demokrasi. Mereka yang tak mau pemimpin yang anti demokrasi memimpin Indonesia. Pemilu yang dilaksanakan 14 Februari 2024 harus berjalan bersih dan bebas dari kecurangan. Civil society tentu tidak rela demokrasi diobok-obok.
Kemudian, tanggal 9 Februari 2024, 33 organisasi masyarakat sipil menggelar Konferensi Pers untuk mensomasi Presiden Joko Widodo. Mereka membeberkan fakta dan data tentang ketidaknetralan pemimpin di negara ini dalam konteks elektoral. Yang akhirnya marwah demokrasi dihancurkan.
Somasi tersebut berisi protes atas sejumlah kecurangan, pelanggaran yang dilakukan kepala negara sebagai pemegang otoritas moral dan otoritas etik bangsa. Malah memperlihatkan etika politik dan etika kepemimpinan yang gagal meninggalkan legacy pada masyarakat.
Presiden Jokowi dianggap tidak untuk memberi contoh yang baik dalam soal etika dan moralitas, sehingga para aktivis mendorong untuk mengembalikan marwah demokrasi. Adanya intimidasi dalam proses Pemilu 2024 juga diungkap dalam konferensi pers kali ini.
Berikut. Ditayangkannya Film Dirty Vote, dokumenter yang disampaikan tiga ahli hukum tata negara yang membintangi film tersebut. Dokumenter ini dipublikasikan tanggal 11 Februari 2024. Mereka yang terlibat adalah adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Ketiganya mengungkap berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi. Penggunaan infrastruktur kekuasaan yang kuat, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang di demi mempertahankan status quo.
Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara. Serta masih banyak problem lain yang belum ter-capture dalam tulisan ini. Ironisnya, para Guru Besar yang menjaga kewarasan menyampaikan keresahan dan mengingatkan pemerintah malah dituduh partisan dan ikut memprovokasi situasi. Luar biasa.
 Fragmentasi Demokrasi
Terjadi fragmentasi demokrasi akibat praktek politik yang penuh dengan ketidakadilan. Nilai-nilai etika dan moralitas diabaikan. Konstitusi dikangkangi, regulasi yang dianggap menghalangi diubah dalam waktu cepat. Nyaris keteladanan pemimpin di negara ini hilang. Pada siapa lagi masyarakat berharap?.
Pemilu jangan sampai digiring dalam pemaknaan seperti berjudi dengan nasib. Yang dalam konteks tertentu membuat masyarakat sebagai objek dan korban. Jika demikian dilakukan, otomatis dengan mudah memunculkan polarisasi di tengah-tengah masyarakat. Â
Cukuplah kabar yang kita dengar bahwa terjadi kerenggangan hubungan di internal Kabinet Indonesia Maju. Elit pemerintah semestinya menunjukkan sikap kenegarawanan, akur, rukun, harmonis, penuh dengan guyub. Hal itu menjadi modal serta indikator penting dalam kita mewujudkan Pemilu yang damai.
Jangan diabaikan bahwa dalam proses perubahan peradaban selalu saja ada yang menuliskannya. Publik punya kesadaran sejarah. Ketika pemimpin dan elit politik hari ini menunjukkan perilaku barbar terhadap demokrasi, pasti akan dicatat. Akan dikenal sebagai preseden buruk yang memalukan kelak.
Demokrasi kita akan mudah rapuh, terfragmentasi dengan kepentingan sesaat dari para politisi yang hanya memikirkan dirinya, keluarganya, dan keberlanjutan oligarki. Kalau kita zooming, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang berharap pada pemimpinnya agar nasib mereka bisa berubah lebih baik.
Bahan pokok murah dan terjangkau. Pendidikan gratis dan berkualitas, tarif dasar listrik murah. Pajak tidak membebani mereka, serta pemimpin yang adil pada seluruh rakyat. Misalnya pemimpin saat ini dinilai belum berhasil memberikan itu, setidaknya pemimpin yang akan datang harus bisa melakukan itu.
Di hadapan kita, challenge bagi demokrasi dalam Pemilu tahun 2024 kian kompleks. Mulai dari preferensi pemilih yang beragam kemudian kerap dibentur-benturkan, tanpa terasa mulai menihilkan persatuan nasional. Masyarakat disodorkan isu-isu yang negatif untuk saling berkonflik karena perkara politik.
Ekspektasi kita semua, sekiranya ada Capres yang punya master mind (pikiran utama) mendamaikan masyarakat. Membayar luas, memberikan pelayanan secara tulus ikhlas. Pemilu bukan melahirkan paradoks, melainkan menghadirkan solusi komprehensif bagi masyarakat yang gelisah. Jangan biarkan demokrasi tercerabut dari akar-akarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H